Membaca Kebajikan Kuntowijoyo

 

Melki AS – [Penggiat Social Movement Institute]

 ***

Nama Kuntowijoyo mungkin tidak asing lagi di jagad sastra tanah air. Beberapa karya telah dilahirkannya meskipun secara akademik berlatar belakang ilmu sejarah. Bahkan karya-karya tersebut tak jarang menyabet berbagai penghargaan, baik ditingkat lokal maupun nasional. Dan kumpulan cerita-cerita pendeknya (cerpen) yang dibukukan dalam ‘Persekongkolan Ahli Makrifat’ kali ini bisa  menjadi satu karya terbaik lainnya yang bisa kita simak secara langsung.

Memang pada dasarnya buku ini memuat berbagai cerpen yang pernah dibuatnya beberapa waktu lalu. Kuntowijoyo sendiri menamainya sebagai sastra profetik. Yaitu sastra yang berangkat dari realitas langsung yang dihadapi penulis. Sastra yang tidak saja menyerap, mengekpresikan, tapi memberi arah realitas. Bahkan turut melakukan penilaian dan kritik sosial-budaya secara beradab dan terlibat dalam sejarah kemanusiaan. Membaca buku ini kita seakan diajak bertamasya dengan pengalaman dan pergulatan makna yang pernah dialami oleh Kuntowijoyo saat berada di beberapa lokasi; Indonesia dan Belanda.

Dengan penuturan yang cerdas, Kuntowijoyo seakan ingin pembaca menarik sendiri kesimpulan yang ada dalam setiap ceritanya. Karena memang ia tidak ingin menyimpulkan sendiri secara subjektif pesan yang ingin disampaikan. Akan tetapi dengan membaca cerita-ceritanya tersebut, kita jadi paham sebenarnya maksud dan tujuan yang ingin disampaikannya. Berbekal pengalaman dan pengetahuan, ia ingin kita membuka cakrawala berpikir secara lebih luas lagi, lebih terbuka  dalam memahami persoalan-persoalan realitas sosial yang terjadi dan berkembang.

Lihatlah misalnya pada cerita ‘Ada Pencuri di Dalam Rumah’. Seakan penulis ingin mengatakan bahwa masalah tersebut bukan saja masalah mengambil sesuatu milik orang lain. Tapi bisa jadi itu adalah pertanda atau isyarat pada kita tentang kewajiban yang semestinya kita jalankan. Dan pencuri itu kemudian bertranspormasi maknanya menjadi suatu kebajikan yang memberi kita pelajaran. Di cerita lainnya ‘Mata’, penulis ingin mendedahkan suatu kisah dimana terkadang realitas dengan fakta itu kadang sering berkebalikan. Dibuka dengan premis apa gunanya punya pengilatan kalau sesungguhnya kita sendri tidak tahu yang kita lihat itu apa. Atau dalam bahasa awamnya, penulis ingin katakan bahwa buta secara fisik itu berbeda dengan orang yang buta secara batin. Buta batin adalah kebutaan yang parah yang seringkali dihadapi oleh kebanyakan orang. Dan ini tentu lebih berbahaya dari buta secara fisik.

Hal-hal seperti itu hampir kita dijumpai dalam setiap kisah yang dituturkan penulis di buku ini. Penulis selalu mengetengahkan dua sisi yang kontradiktif, yang kemudian dengan sendirinya kita akan diarahkan pada simpulan yang dimaksudkannya. Biasanya penulis mengawali kisah dengan sederet pertentangan. Pertentangan itulah yang kemudian menjadi diskursus-diskursus sosial dalam banyak cerita di buku ini.

Hal itu bisa dilihat pada beberapa cerita seperti ‘Hati yang Damai Kembalilah pada Tuhan’, ‘Kuda Itu Seperti Manusia Juga’, ‘Ada Pencuri di Dalam Rumah’, ‘Hampir Sebuah Subversi’, ‘Mata’, ‘Da’i’, ‘Persekongkolan Ahli Makrifat’, ‘Bebek Berbulu Hitam, Bebek Berbulu putih’, ‘Ada Api di Atas Atap’, ‘Rumah’, ‘Mata Anak Turki’, ‘Badhuis’, ‘Hagi Musthapha’, ‘Jejak Nabi Nuh’ dan ‘Abu Jenazah Meneer van den Berg’. Semua mengetengahkan pertentangan antar dua sisi yang berbeda. Dan ini yang kemudian menjadikan karya ini menarik untuk dibaca dan disimak. Karya yang kaya akan pengalaman dan pemahaman. Karya makrifat yang mencoba mengajarkan pada kita bahwa selalu ada positif dalam tumpukan kelam yang sering kita klaimkan sebagai keburukan tersebut.

 

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0