Oleh Ceos Arendt[Ketua Forum Sekolah Bersama]

***

Retorika. Mungkin ini yang biasa kita saksikan akhir-akhir ini kalau sedang melihat perdebatan seorang Rocky Gerung (RG). Sebagaimana kita semua ketahui, pengalamannya telah menuntun RG untuk bermain dengan bahasa sebagai retorikanya, sekaligus memukul lawan-lawan debatnya. Retorika atau Rhetoric, menurut Aristoteles ialah kemampuan untuk memilih dan menggunakan bahasa dalam situasi tertentu secara efektif untuk mempersuasi orang lain. Hampir serupa dengan RG, menurut Gorys Keraf retorika merujuk pada teknik pemakaian bahasa sebagai seni yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik sehingga timbul kemampuan berbicara yang lancar, singkat, jelas, padat. Dan orang yang melihat serta mendengarnya bisa memberikan kesan yang luruh dan seolah benar adanya. Termasuk saat memukul balik lawan debat seperti yang dilakukan RG pada setiap sesi diskusi atau debatnya di berbagai media.

Berbicara RG dan retorika-retorikanya dalam setiap perdebatan hari ini, memang cukup manarik, apalagi dalam situasi atau konstalasi politik yang sedang ‘konak’ menjelang pemilihan presiden 2019. RG sendiri mempunyai perhatian khusus untuk detail-detail dan merasa senang kalau dapat mengembangkan argumentasi-argumentasi yang terperinci. Apalagi dalam pandangan RG, argumentasi menjadi faktor penentu dalam sebuah discourse. Seperti RG menggunakan bahasa sebagai retorikanya untuk menggambarkan suatu keadaan faktual dalam realitas. Dan bisa kita saksikan betapa romantiknya kemudian saat RG menghajar lawan-lawan debatnya dengan bahasa yang retorik dan cenderung susah dimengerti. Bahwa kitab suci itu fiksi, sebagai contoh, atau kata-kata seperti dungu dan sebagainya yang kerap dilontarkan oleh RG.

Berkutatnya RG dalam bahasa yang sering dipakai dalam perdebatan, seolah ingin menunjukkan bahwa dalam menyelesaikan suatu persoalan tidak harus masuk dan terlibat dalam suatu persoalan tersebut, akan tetapi cukup melihat dan mendengarkan apa yang sedang terjadi. Lalu kemudian tarik hal tersebut ke dalam retorika bahasa yang tepat sebagai penjelasannya. Dengan bahasa yang tepat, maka orang akan memaklumi bahkan menganggap hal tersebut sudah benar adanya. Dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa RG sedang mempraktekkan analisis Bahasa. Analisis yang dimaksud ialah tidak lain daripada menjelaskan suatu pikiran, mengeksplisitasikan semua hal yang tersimpul di dalamnya, merumuskan dengan kata lain, memecahkan suatu persoalan ke dalam detail-detail kecil dari Bahasa. Mendengar itu barangkali kita menarik kesimpulan bahwa usaha RG dalam menyelasikan suatu persoalan memang terkesan sederhana sekali. Akan tetapi kalau dicermati lagi, bukan berarti dengan penggunaan bahasa yang baik serta menarik yang diucapkan RG itu selalu bisa jadi pembenaran. Bahkan terkadang bisa jadi ada sesat pikir disana yang secara tidak langsung kurang kita sadari.

Pertanyaannya adalah ketika data, informasi dan pengalaman, dirangkum menjadi Bahasa, dimanakah letak kebenaran individu satu dengan lainnya ketika hal tersebut di generalisirkan? Misalnya, Jams dan Anna adalah petani yang terkena dampak penggusuran lahan mega proyek pembangunan. Sementara Jhon adalah seorang Gubernur yang melegalkan penggusuran itu lewat produk hukum “demi kepentingan umum”. Jams dan Anna kehilangan tanah sebagai sumber penghidupan, sedangkan John mendapatkan keuntungan daripada pembangunan tersebut melalui kekuasaan. Dalam satu perkara ini, kenyataan dari kepentingan petani dan Gubernur adalah dua hal yang berbeda: Petani menaruh harapan pada tanah sebagai penghidupan dan Gubernur menaruh itu sebagai syarat melanggengkan kekuasaan. Berbeda lagi ketika ini disimpulkan dalam pandangan RG, akan menjadi; Petani dan Gubernur adalah dua hal yang sama dalam kehidupan bernegara, yakni sama-sama mempertahankan hidup, sama-sama menaruh harapan yang sama. Cara penyelesaian yang akan diambil RG adalah, tidak perlu masuk dan terlibat dalam persoalan petani, cukup melihat dan mendengarkan persoalan tersebut dan menyimpulkannya secara umum (data, informasi, dan pengalaman yang di rangkum dalam bahasa). Sedangkan dalam Bahasa sehari-hari tidak menggambarkan suatu realitas yang berada pada hakekatnya (tidak dilebih-lebihkan dan dikurang-kurangkan), begitupun dengan data indrawi yang didapatkan melalui informasi. Dapat disimpulkan bahwa RG tidak mempedulikan kebenaran, melainkan memusatkan perhatian pada bahasa yang diucapkan atau dilontarkannya saja.

Dengan seperti itu, kemudian kita bisa berpikir bahwa sebagai pembelajar, kita harus lebih cermat melihat gestur-gestur bahasa yang sering dipakai dalam banyak perdebatan hari ini. Karena bisa saja hal yang kita anggap benar seperti yang dikatakan seseorang (tanpa terkeculai RG), justru berkebalikan dari yang sesungguhnya. Karena sesungguhnya persoalan itu ialah yang berada di tengah masyarakat dan yang sedang dialaminya langsung. Dan solusinya ialah dengan melihat secara langsung persoalan yang terjadi, bukan hanya dengan bahasa-bahasa yang indah yang sering diucapkan banyak kalangan yang “senang nongkrong” di depan televisi. Disinilah persoalan kita hari ini: suka terbuai dengan bahasa yang menarik tapi lupa pada realitanya.

Bukankah Pram mengajarkan pada kita bahwa “seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan”. Seharusnya itu yang harus kita lakukan. Berhenti menipu dengan retorika bahasa.

 

Komentar ditutup.

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.