Kesetiaan seorang aktivis adalah kemampuannya dalam mendengarkan masyarakat..
Eko Prasetyo
Oleh: Sabri Khatami Tjan
Di alun-alun pikiran, kata “aktivis” menjadi nyanyian yang mengalun dalam harmoni perbincangan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan mereka menciptakan sentuhan magis ditengah rutinitas keseharian. Tetapi, mengapa begitu memikat, dan mengapa tidak semua orang bisa menjadi aktivis? Saya mengajak Anda untuk mengikuti jejak perjalanan kata-kata ini, merayap lebih dalam ke dalam esensi aktivisme.
Aktivis, sering kali diselimuti oleh aura pahlawan, sejatinya adalah individu yang merasakan denyut hati ketika menyaksikan ketidakadilan menjamur. Mereka tidak tinggal diam, melainkan berdiri tegak di persimpangan kiri jalan untuk membela yang terpinggirkan: rakyat miskin, buruh, petani, nelayan, dan segenap elemen yang sering terlupakan. Aktivis, dalam segala keberaniannya, menempatkan diri di garda terdepan, mengawal mereka yang menjadi korban kebijakan pemerintah yang seringkali dianggap merugikan.
Namun, keistimewaan sesungguhnya yang dimiliki aktivis tidak hanya terletak pada derap langkah melawan ketidakadilan, tetapi pada kemampuannya untuk menantang kemapanan. Mereka menolak menganggap kemewahan sebagai penghalang menuju tujuan mulia: dunia tanpa penderitaan dan penindasan. Uang, bagaimanapun, tidak dijadikan sebagai pemutus jalan, melainkan sebagai alat untuk mencapai cita-cita tersebut.
Tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para aktivis menjadi episentrum romantisasi. Ancaman teror, upaya pembungkaman, bahkan risiko dipenjara atau tindakan lebih ganas, semuanya tidak menjadi halangan. Bagi mereka, itu bentuk tanda alarm bahwa keberanian mereka dianggap sebagai ancaman nyata oleh penguasa. Sejarah mencatat bahwa masa-masa sulit seperti era 70-90an di Indonesia memunculkan para aktivis yang bersama-sama dengan rakyat dan mahasiswa berhasil menggulingkan rezim Soeharto.
Aktivis bukan hanya sekadar sorotan di perbincangan sehari-hari, melainkan juga seniman dalam dunia pengorganisasian. Keberhasilan mereka tidak hanya terletak pada langkah-langkah pemberontakan, tetapi pada kemampuan membimbing masyarakat menuju pemahaman bersama tentang realitas dan tantangan yang dihadapi. Dalam dunia aktivisme, keberhasilan bukanlah tujuan akhir, tetapi proses panjang yang memungkinkan masyarakat memiliki pandangan yang lebih jernih tentang dunia di sekeliling mereka.
Kemampuan untuk memahami situasi menjadi kunci utama bagi aktivis dalam merancang strategi kontra-hegemoni. Melalui pendidikan politik dan penyadaran, mereka mendorong upaya masyarakat untuk melepaskan diri dari genggaman penguasa. Dengan demikian, aktivisme bukan hanya tentang melawan, melainkan juga tentang konsisten dalam merawat pikiran masyarakat.
Dalam merentangkan kata-kata ini, kita mendapati bahwa aktivisme adalah cermin perubahan. Bukan hanya perubahan dalam realitas sosial dan politik, tetapi juga perubahan dalam sikap dan persepsi kita terhadap kehidupan. Aktivis adalah pemberani yang menolak untuk terjebak dalam kemapanan, merangkul tantangan dengan hati terbuka, dan merayakan kebebasan dengan semangat tanpa batas.
Fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa banyak dari kalangan borjuis tergoda oleh kekuasaan. Demokrasi terancam diperkosa, dan hukum digunakan untuk membungkam setiap orang yang bersuara. Di hadapan pilihan tersebut, kita semua diminta untuk memilih: menjadi penindas yang adaptif pada situasi atau menjadi pelopor yang teguh, militan, penuh dedikasi, dan siap berkorban. Pilihan ini, sebagaimana diilustrasikan oleh para aktivis, tidak hanya menentukan masa kini, tetapi membentuk bayang-bayang penindasan atau pembebasan bagi generasi mendatang.
Melalui perjalanan kata-kata ini, mari kita bukan hanya menyimak, tetapi juga merenungi peran kita masing-masing dalam mewarnai kanvas perubahan. Sebab, seperti yang dikatakan oleh seorang aktivis, “Bantal dan guling boleh terpisah, tapi semangat kita harus tetap sama: progresif dan melawan”.
Ilustrasi: A Nutshell