Ari Widjayanto [Pegiat Social Movement Institute & Rode]
***
Tulisan ini bersifat sederhana dalam pengertian hukum Islam yang praktis. Apakah praktis dilarang? Saya pribadi menjawab tidak, kepraktisan itu sendiri ditemukan dalam prinsip hukum Islam, yakni tidak memberatkan (‘adam al-kharaj). Ambil contoh seandainya kita tak dapat berwudhu dengan menggunakan air, maka dapat diganti dengan debu.
Jadi, di sinilah letak kepraktisan Islam. Oleh karenanya, meningkatkan ketakwaan melampaui yang praktis ialah baik. Tapi, hilangkan benak bahwa ketingggian pengetahuan atas agama menjadi legitimasi untuk mengerdilkan orang lain bahkan menghilankan nyawa saudara seiman.
Letak dimensi praktis hukum Islam berada pada tujuan (Al-maqashid al-ssyari’ah) pokok hukum Islam itu sendiri. Yaitu, kebutuhan yang harus dipenuhi (Dzaruriyat), di antaranya menjaga agama (Hifz al-din), jiwa (hifdz al-nafs), harta (Hifzh al-mal), akal (Hifz a-‘aql), serta keturunan (Hifz al-nasl).
Pada hari sabtu 14 Juli 2018 digemparkan dengan isu terorisme di Yogyakarta. Jika ditelisik melalui ilmu tarikh, cara berpikir para pelaku ialah berupaya menyamakan pemahaman dirinya atas agama, dan berusaha mentransfer utuh pengetahuannya ke diri yang liyan.
Padahal, seseorang selalu hidup di bawah jejaring sistem sosial bersifat kultural dan membumi. Dengan demikian, menghunus pedang atau meneror kaum seiman sudah tidak menampilkan intensi tujuan hukum Islam yang paling pokok, yakni Dzaruriyat.
Walisongo dahulu menyebarkan syariat dengan metode kultural yang membumi seperti berdakwah di alun-alun pada masa lampau. Sementara di Jawa bagian lain, tepatnya jauh dari pusat administratif kolonial, terdapat metode pengajaran pesantren yang memiliki akar pada tradisi Hindu.
Kita tidak dapat menampik bahwa ada yang bermetode puritan dan berusaha menerapkan apa yang terberikan di Libya, Arab Saudi, maupun Mesir. Bahkan kita yang menganggap diri sebagai plural, dengan perbedaan atas kultural, serta-merta turut ingin membumihanguskan mereka, tentu tidak bisa membabi-buta atas nama Pancasila Harga Mati.
Bukankah seorang nabi pernah berkata, “Jika tidak mampu mengubah dengan tangan, lakukanlah dengan lisan. Jika telah gagal kedua hal tadi, maka menggunakan hati. Jika pun itu tidak terjadi, sebaik-baiknya orang ialah yang telah berupaya.”
Dalam konteks rasul pada masa itu yang sering menjadi rujukan agar berjihad dengan menghunus pedang, perang memang sesuatu hal yang jamak ditemui dikarenakan perang adalah jalan terakhir, bukan yang utama.
Bagi pelaku teror yang terbawa arus pemikiran Ibn Taymiyyah, yang patut digarisbawahi, terdapat kemungkinan para pelaku belum memahami konteks lahirnya Ibn Taymiyah sebagai korban serangan kerajaan Mongol yang mana berimplikasi pada dentuman dalam pribadi Ibn Taymiyah dengan merancang doktrin yang dicap ‘radikal’. Maka dengan demikian, dalam bias ajarannya perang melawan yang dianggap kafir sebagai yang primer, sementara perang melawan nafsu adalah sekunder bahkan tersier.
Obat Penawar Ketidakteraturan Pikiran yang Laten
Lantas bagaimana obat penawar dari ketidakteraturan berpikir yang laten ini? Saya mengacu pada dua cendikiawan yang telah menafkahkan jiwa dan raganya untuk kepentingan umat, yang melampui persoalan surga dan neraka. Mereka adalah Kuntowijoyo dan Abdurahman Wahid atau yang kerap kali dipanggil Gus Dur.
Dalam konsep yang dikenalkan oleh Kuntowijoyo, objektivikasi, dapat dipergunakan oleh umat untuk memilah-memilah realitas objektif. Hasil dari pemilahan itu untuk melengkapi Islam agar selalu kekinian dan tanggap terhadap setiap isu-isu yang terjadi pada umat. Terutama, pada kaum Mustadah’fin, yang rentan diekstrasi oleh kaum Mustakbirin.
Sementara Gus Dur, di dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam kita, pada bagian awal mempertanyakan tentang eksistensi keberadaan sistem Islami. Dengan mengacu pada kalimat (udkulu fi al-silmi kaffah) yang bermakna, “Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh.”
Jika diterjemahkan secara formal, dapat berimplikasi pada keberadaan Islam yang formal. Jika dilonggarkan pada kata sifat, maka merujuk pada entitas yang universal, bahwa segala yang membawa kedamaian yaitu Islam. Dengan demikian, secara substansi, Islam tak mensyaratkan pengertian berdirinya seperti Kekaisaran Ottoman ataupun Kerajaan seperti di Arab Saudi.
Oleh karenanya, dalam beragama kita boleh saja bersantai ria atau sewaktu-waktu tersulut ketika saudara seiman diperalat oleh ‘kapitalisme perkoncoan’, alih-alih terjerumus pada persoalan banal seperti seiman atau kafir mengenai calon pemimpin di ranah elektoral.(*)
Pingback: วิเคราะห์บอล
Pingback: เครื่องคอริ่ง
Pingback: ข่าวบอล
Pingback: đánh bom liều chết
Pingback: pglike