Tujuan negara bukanlah untuk menguasai manusia agar tetap hidup dalam ketakutan, melainkan membebaskan individu dari ketakutan itu, supaya ia sedapat mungkin hidup dalam rasa aman, menikmati hak alamiahnya tanpa merugikan dirinya sendiri maupun orang-orang lain (Spinoza)
Sejarah akan mengajari kita, di antara orang-orang yang telah menumbangkan kemerdekaan di Republik, banyak yang mengawali karier dengan memenuhi keinginan rakyat: awalnya jadi demagog dan akhirnya jadi tiran (Alexander Hamilton)
Juanz Linz seorang ilmuwan politik yang dibesarkan oleh perang saudara Spanyol. Sebagian besar karirnya digunakan untuk mencoba memahami dan mengerti bagaimana demokrasi itu dibunuh. Linz mencoba mengorek situasi apa yang membuat demokrasi bisa berantakan. Salah satu yang diamati olehnya adalah peran politisi. Bagaimana politisi melalui perilakunya dapat merusak demokrasi. Kelak upayanya dilanjutkan oleh dua ilmuwan yang bukunya kini jadi rujukan: How Democracies Die, karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Mereka memberi sumbangan berharga terutama dalam mengidentifikasi perilaku berbahaya politisi dalam menghancurkan demokrasi. Artikel ini mengutip banyak sumber dalam buku ini.
Seorang politikus bisa menjadi penghancur demokrasi ketika ia menolak aturan main demokrasi, baik itu melalui kata-kata maupun perbuatan. Lihat saja hari ini bagaimana para politisi menyusun aturan tanpa mematuhi semua kaidah prosedural. Bahkan dengan ringan mengatakan jika tidak setuju dengan isi UU gugat saja ke MK. MK bukan tempat sampah yang digunakan untuk menampung semua bahan busuk peraturan yang disusun dengan cara begundal. Tapi begitulah politisi yang bisa sesukanya membuat peraturan meski paham kalau proses dan kandunganya bermasalah. Ketidakpatuhan untuk mengikuti prosedur demokrasi adalah sinyal pertama hancurnya demokrasi.
Ketidakpatuhan itu diikuti oleh menyangkal legitimasi lawan. Oposisi keras atas RUU KPK hingga UU Cipta Kerja yang menuai demonstrasi besar-besaran diciutkan dengan isu anarki, kerusuhan bahkan kekerasan. Tuntutan demonstrasi tidak menjadi berita utama tapi ekses unjuk rasa jadi opini yang utama. Ribuan orang ditangkap bahkan sejumlah orang yang menyatakan pendapat diusut oleh kepolisian bahkan dikenai oleh pasal-pasal karet yang selayaknya tidak diterapkan di masa kemerdekaan. Belum lagi brutalitas aparat dalam menghadapi aksi demonstrasi yang memicu protes dari mana-mana. Malah seorang menteri dengan arogan bilang kalau hoaks kata pemerintah maka itu pasti hoaks. Ucapannya sudah serupa dengan para demagog yang tidak ingin ada pendapat yang berbeda dibanding pendapatnya sendiri.
Kalau sudah begitu maka kekerasan ditoleransi sebagai bagian dari penegakan hukum. Di mana-mana demonstrasi dihadapi oleh kekerasan bahkan muncul aksi-aksi preman yang sasarannya adalah demonstran. Kita seperti masuk dalam kehidupan purba ketika pernyataan dibalas dengan pukulan dan pendapat dilawan dengan fitnah. Begitulah yang terjadi pada perdebatan antara pro dan kontra UU yang kian lama tidak berdasar argumentasi yang bermutu tapi luapan emosi yang mengandung hawa kekerasan. Lihat saluran diskusi baik itu di ILC maupun Mata Najwa yang tidak berakhir dengan kesepakatan atau upaya untuk saling menerima masukan tapi pertarungan pendapat yang keras. Untungnya mereka tidak dibekali senjata dan sarung tinju selama diskusi. Meja diskusi seperti jadi medan laga.
Lama kelamaan terjadilah pembatasan kebebasan seperti tampak dari survei yang dilakukan oleh Kompas. Saat memperingati setahun pemerintahan Jakowi-Amin muncul hasil survei yang tidak terlalu mengejutkan: ketidakpercayaan pada pemerintah yang tinggi dan persoalan politik keamanan yang paling mendesak adalah kebebasan berpendapat (Kompas: 20/10/2020). Orang makin kuatir, takut bahkan cemas menyatakan pendapat bebasnya. Kalau orang yang menyatakan pendapatnya kemudian berbuah penjara dan mengekspresikan opininya lantas dihakimi dengan cara keji maka kehidupan demokrasi memang sudah bisa dipastikan masuk ke liang kubur. Itulah waktu di mana muncul kaum ekstremis yang membela habis-habisan keputusan politik dengan cara apa saja bahkan jika itu harus merusak martabat dan kebebasan individu. Lihat saja bagaimana sejumlah aktivis di-doxing dengan cara keji dan semua itu dikerjakan oleh para buzzer yang memang dapat dana luar biasa.
Situasi itulah yang bisa memunculkan para pemimpin fasistis yang percaya kalau omonganya adalah konstitusi. Para penguasa yang meremehkan hukum bukan dengan mengabaikannya tapi meminta semua orang untuk mematuhinya karena meyakini kalau hukum toh akan berpihak pada kepentingannya. Studi yang dilakukan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menemukan, sejak 2003 sampai 2019, tak sekalipun Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pembatalan undang-undang-betapapun proses penyusunan undang-undang terbukti melanggar prosedur. Bagaimana kita mempercayai Institusi Hukum jika dalam kiprahnya tidak pernah memberikan keadilan dan kepastian hukum. Padahal kalau konstitusi tak bisa lagi dipercaya maka satu-satunya yang pantas menjadi alat ukur adalah kehendak rakyat.
Kini kehendak itu muncul melalui opini yang mengatakan nada muram: ketidakpercayaan. Untungnya kita diselamatkan oleh publik yang masih bernalar, tidak mudah ditipu dan menyatakan pandangan dengan berani. Jakowi-Amin memang mendapat nilai buruk tapi kita kuatir penilaian itu malah menambah dosis tekanan yang luar biasa pada masyarakat sipil. Bukannya mencoba membuka diri malah menyangkal penilaian atau yang lebih parah lagi mempertanyakan kesahihan penilaian. Karena kekuatiran yang kini masih jadi pertanyaan utama adalah apa Jakowi-Amin masih mendengar pandangan yang berbeda atau memang keputusan politik yang selalu diambilnya sejalan dengan kepentingan para oligarki. Karena tampaknya rasa percaya diri pemimpin dengan keputusanya sekarang ini nyaris sulit untuk diubah. Penegasan Jakowi untuk tidak mengeluarkan Perppu atas UU Cipta Kerja menegaskan keyakinanya. Jakowi bisa mengulang nasib pemimpin dunia lainnya.
Para penguasa yang membunuh oposisi dengan caranya yang licin. Fujimori di Peru menciptakan suasana kediktatoran dengan dibantu oleh Vladimiro Montesionis, penguasa intelijen Peru yang membantu Fujimori mengonsolidasi kekuasaan. Vladimiro memegang kartu hakim agung bahkan hakim konstitusi sehingga loyalitas mereka pada rezim Fujimori selalu bisa diandalkan. Juan Peron, diktator Argentina melakukan persekutuan dengan parlemen untuk melumpuhkan semua institusi hukum Argentina termasuk para hakim-hakimnya. Sejak Peron berkuasa pengadilan jatuh dalam kekuasaanya dan semua hakim tunduk padanya. Singkatnya fasisme tidak hanya dimulai dengan tampilnya para demagog tapi juga dikuasainya para wasit pemain demokrasi untuk selalu memihak kepentingan pemerintah. Mussolini di Italia memerintah dengan cara fasis melalui peminggiran, pelumpuhan bahkan menyogok para pemain demokrasi. Memastikan semua institusi hukum untuk tunduk pada kepentingan kekuasaan adalah cara termudah untuk melapangkan fasisme.
Artinya para autokrat itu berkuasa tidak hanya dengan brutalitas melainkan legalitas. Jika brutalitas itu membutuhkan peran aparat keamanan yang nekat maka legalitas perlu peran hakim yang loyal –terutama-pada keinginan pemerintah. Apalagi jika ada ‘krisis’ yang terus menerus digemakan sehingga memunculkan kesimpulan sederhana kalau pemimpin yang ada patut dipercayai karena hanya dirinya yang bisa atasi krisis. Kombinasi semua unsur itulah yang bisa membuat fasisme itu berdiri, bertahan dan berkuasa. Tentu yang paling puncak dalam suasana fasis adalah tumbuhnya suasana sosial yang penuh polarisasi, fragmentasi dengan toleransi yang minim. Pada saat itulah kekuasaan akan dengan pongah bisa menyerang siapa saja, diikuti oleh para pendukungnya yang tak punya etika dan politik lalu kehilangan kemampuan santunya. Itulah saat dimana politik hanya mengenal kata ‘sepakat’ dan tidak menoleransi ‘ketidak-sepakatan’. Inikah era kita saat ini? Anda pasti yang bisa menjawabnya! (EP)
Komentar ditutup.