Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan kata yang tak sempat diucapkan/ kayu kepada api yang menjadikannya abu/ aku ingin mencintaimu dengan sederhana/ dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/ awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Saya membaca puisi itu di lembar undangan nikah. Di sebelah puisi itu ada foto dua pasangan yang bahagia. Pria yang saya percaya tak suka baca puisi. Dan seorang gadis yang mungkin merasa terpesona dengan puisi. Saya tersenyum karena puisi itu menerbangkan ingatan saya, terbang ke masa lalu. Saat menjadi mahasiswa yang sedang jatuh cinta. Puisi itu yang meruntuhkan hati seorang gadis yang kelak memberi saya banyak nyali. Ikut dalam protes anti Orde Baru hingga tidak melamar jadi pegawai negeri.

Puisinya tidak provokatif tapi meyentuh dengan lembut. Waktu mahasiswa jika sedang sendiri saya kerap membuka lembar puisinya. Rasanya seperti mendapat santapan rohani. Baitnya seperti pegangan tangan seorang sahabat: hangat dan akrab. Yang fana adalah waktu. Kita abadi/ memungut detik demi detik, merangkai seperti bunga/ sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa/ ‘Tapi yang fana adalah waktu, bukan? Tanyamu/ kita abadi. Entah mengapa puisi itu seperti membuat saya tidak merasa kesepian.

Di masa lalu saya tidak akrab dengan puisi. Hanya sajak Charil Anwar yang saya ingat. Itupun karena jadi bahan ujian di sekolah. Kedatangan puisi Sapardi mengubah segalanya. Buku Hujan bulan Juni itu saya temukan di kios buku di pojok pasar buah. Seorang pedagang buku memperkenalkanya. Katanya ini buku puisi yang indah. Saya semula tak berminat tapi pedagang buku itu memberikan diskon besar untuk buku Sapardi. Katanya: kamu pasti suka.

Saya membawa buku itu pulang. Di kost saya letakkan buku itu diantara buku politik, hukum dan filsafat. Saya tak punya koleksi buku puisi sama sekali. Persis ketika saya hendak mudik, buku itu saya bawa. Rencananya untuk bacaan di bus yang biasanya sesak di akhir pekan. Begitulah saya membaca pertama kalinya puisi Sapardi: di tengah jepitan penumpang yang bau dan pengap. Saya seperti terbang. Tersihir saya, hingga sekarang kalau membaca puisi hujan bulan juni:

Tak ada yang lebih tabah/ dari hujan bulan Juni/ dirahasiakanya rintik rindunya/ kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak/ dari hujan bulan Juni/ dihapuskanya jejak-jejak kakinya/ yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif/ dari hujan bulan Juni/ dibiarkanya yang tak terucapkan/ diserap akar pohon bunga itu

Saya dulu biasa mengucapkan puisi itu dalam hati. Menghapalnya dengan fasih. Membacakan kemana-mana. Bahkan seperti doa saya diam-diam melafalkanya. Puisi itu seperti tersimpan rapat di hati saya. Dibuka oleh suasana dan didendangkan dengan hati bahagia. Saya jujur terseret oleh puisi karena bait pada Hujan Bulan Juni. Kelak saya mengaggumi puisi Zawawi Imron karena ada kesamaan ritme: menyeret perasaan saya untuk masuk dalam dunia alam yang sangat memikat.

Saya merasa puisi itu seperti menuangkan kesadaran baru. Saya mulai melihat pesona. Bukan pada kata-katanya tapi ajakanya. Pada hujan, pada rindu, pada keraguan, pada akar pohon bunga. Semua itu seperti membuat saya terbangun atas jalan hidup selama ini. Terlampau percaya dengan status, berambisi menaklukkan segalanya bahkan ingin mengubah semuanya. Idealisme heroik itu seperti melupakan saya pada kenyataan yang ada di hari ini. Saya mulai menikmati apa yang dituangkan dalam puisi Sapardi. Bagi saya puisinya seperti mukjizat: mengubah pandangan mata saya untuk terbuka pada banyak hal yang membuat saya buta.

Sejak itu saya memburu banyak karyanya. Nyaris saya selalu berusaha menghapal puisinya. Saya baca perlahan seperti mengucapkan mantera. Perjamuan puisi itu membuat saya melihat hari depan tidak lagi sama. Kuliah fakultas hukum yang menciptakan orang jadi pengacara atau jaksa saya buang jauh-jauh. Tak ingin saya menghabiskan waktu hanya mempelajari aturan dan konstitusi. Saya malu telah menyia-nyiakan masa muda untuk kuliah yang menciutkan mimpi. Saya waktu itu ingin hidup sebagaimana bunyi puisi Sapardi:

Hatiku selembar daun/ melayang jatuh di rumput/ Nanti dulu/ biarkan aku sejenak terbaring di sini/ ada yang masih ingin kupandang/ yang selama ini senantiasa luput/ sesaat adalah abadi/ sebelum kausapu tamanmu setiap pagi

Itulah puisi yang mengantarkan saya memilih jadi aktivis. Melupakan sejenak rutinitas kuliah. Mengabaikan apa yang selama ini diburu dengan luar biasa: nilai, gelar hingga profesi. Bagi saya itu semua tak membuat hati saya melayang. Malah saya kehilangan hati. Sejak itu saya mulai percaya pada idealisme yang disusun dengan indah seperti bait puisi Sapardi. Diam-diam puisinya membuat saya menjalani hidup dengan cara baru. Tidak bergegas, tidak berambisi dan tidak berburu. Puisinya membuat saya terpaku pada gemerisik daun dan berusaha menikmati senja.

Membaca puisinya tidak hanya diantarkan dalam keheningan tapi suasana religi. Mungkin itu yang kemudian membuat saya membeli Qur’an terjemahan Abdullah Yusuf Ali. Qur’an yang disisipi banyak bait puisi. Yang memikat puisi itu diterjemahkan oleh Sapardi. Tidak saja membawa renungan tapi juga suasana yang kontemplatif. Dihantarkan oleh puisi firman Allah itu seperti kilatan cahaya yang menimpa pembaca dari berbagai sisi. Tak lagi agama hanya berujud perintah tapi ajakan untuk menikmati kebaikan dengan sentuhan lembut.

Hanya doaku yang bergetar malam ini/ Dan tak pernah kaulihat siapa aku/ tapi yakin aku ada dalam dirimu

Bait itu menggigit kesadaran saya begitu lama. Itu pulalah yang mengantar saya untuk beranjak menuju altar pengalaman baru. Kalau puisi Wiji Thukul membuat saya menjadi kiri dan selalu menggenggam api maka puisi Sapardi membuat saya merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Terutama saat-saat seperti ini: puisi Sapardi seperti membuat kita berani menerima kenyataan. Apapun kenyataan itu! Bahkan ketika berita kematianya menyengat kesadaran saya. Bukan hanya saya terkejut tapi saya merasa seperti bunyi puisinya:

Pada suatu hari nanti/ jasadku tak akan ada lagi/ tapi dalam bait-bait sajak ini/ Kau takkan kurelakan sendiri

Kini saya tak lagi semuda dulu. Saat puisi Hujan Bulan Juni meyentuh dengan romantis. Benar puisi itu mengubah banyak diri saya tapi puisi itu pulalah yang pernah membuat saya putus asa. Ingatan atas puisi Sapardi bercampur baur: romantik, meyentuh tapi juga membuka luka. Itulah puisi yang bagi saya orang awam telah mengubah diri saya sendiri. Bait puisi itu membuat hidup bukan diukur dari sehat dan sakit, tak lagi dihitung dari kaya atau miskin bahkan tidak pula ditakar dari sedikit banyaknya follower. Puisi Sapardi membuat saya merasa hidup itu pantas disyukuri, dinikmati dengan hati yang gelisah sembari percaya bahwa hal-hal simpel bisa membuat kita terperangah:

Dalam diriku mengalir sungai panjang/ Darah namanya/ Dalam diriku menggenang telaga darah/ Sukma namanya/ Dalam diriku meriak gelombang sukma/ Hidup namanya!/ Dan karena hidup itu indah/ Aku menangis sepuas-puasnya

Selamat jalan pak Sapardi….Tuhan pasti memberimu tempat terbaik…Amiiin (EP)

Komentar ditutup.

WordPress › Galat

Ada eror serius pada situs web Anda.

Pelajari lebih lanjut tentang pemecahan masalah di WordPress.