Lagi-lagi Soal Pendidikan di Era Digital

Ilustrasi | Colossal

“Tanpa kesahajaan intelektual, seseorang takkan dapat belajar” -Lazlo Bock, bagian Rekrutmen Google

“Pada masa dahulu yang didahulukan adalah manusia. Di masa depan sistemlah yang harus didahulukan” -Taylor

“Kita membentuk peralatan kita, dan sesudah itu alat membentuk kita” -John Culkin

Saya dilapori kasus tentang anak sekolah yang tingkahnya bawa cemas gurunya. Usianya masih Sekolah Dasar tapi perangainya seperti anak dewasa. Ia tertarik dengan lawan jenis lewat cara tak sopan. Mengacungkan bibir seperti mau mencium serta menggoyangkan anggota tubuh. Gurunya memanggil orang tuanya yang tampak malu dan takut. Malu karena tindakan anaknya dan takut dengan sanksi yang mungkin diberikan oleh sekolah.

Guru itu bercerita pada kami tentang sebab musabab tingkah anak itu. Katanya kecanduan game pangkalnya. Kemudian orang tua yang tak peduli. Disusul oleh lingkungan yang membiarkan semua terjadi. Seolah cerita guru itu menegaskan kalau sekolah tak bertanggung jawab. Kasus anak itu istimewa karena sekolah bertindak sebagai pemecah masalah. Asumsinya selalu sama sekolah itu mustahil melahirkan anak bermasalah.

Padahal sekolah dalam perjalanan sejarahnya telah memberi efek luar biasa. Melalui sekolah anak mengenal bukan hanya produk pengetahuan tapi metodologi untuk mendapatkanya. Disana anak akan mengenal metode menghapal hingga berlomba untuk duduk sebagai juara. Sekolah menciptakan siklus dimana seorang anak belajar bukan untuk memahami dirinya tapi meyakini pengetahuan yang dibawakan oleh guru-gurunya.

Guru sampai kini punya peran utama dalam pembelajaran. Melalui berbagai metode guru menyampaikan pengetahuan dengan cara apa saja: mengajak untuk berpetualang hingga ceramah di depan siswa. Beban guru yang luar biasa itulah yang kemudian membawa kebijakan tentang kenaikan gaji guru hingga peningkatan kualitasnya. Hanya kali ini guru mendapat pesaing yang serius dan berusaha untuk menyamai peranya.

Itulah tekhnologi yang kini jadi roh kehidupan modern. Jejak sejarah kemajuan itu sebenarnya dicetak dalam babak waktu yang panjang: penemuan mesin uap, penggunaan listrik untuk produksi massal dan kini kekuatan elektronik dan tekhnologi informasi. Kecepatan kemajuan ini luar biasa karena penggunaan gawai-terutama telpon pintar-yang kini jadi identitas yang dibawa kemana-mana.

Gawai itu jadi perangkat personal: menjadi sekretaris pribadi, bisa mengatur kesehatan, menasehati soal keuangan, asisten pembeli makanan dan bahkan sumber mengerjakan PR. Inilah yang populer dinamai dengan revolusi keempat yang sesungguhnya merupakan landasan untuk kemajuan industri. Peta jalan Making Indonesia 4.0 menyatakan ada lima sektor yang memakai tekhnologi: makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia dan elektronik.

Orientasi penguatan industri yang jadi perhatian utama pemerintah. Menurut pemerintah kemajuan tekhnologi semustinya mampu memacu pertumbuhan ekonomi. Kalau eksosistem digital yang merupakan ciri 4.0 dikembangkan maka impianya bangsa akan alami kemajuan yang sulit untuk dikejar. Slogan yang terus didengungkan industri 4.0 akan mengangkat sektor ekonomi rakyat dan memacu pertumbuhan ekspor.

Tapi bagaimana dengan pendidikan? Kisah guru diatas menunjukkan gawai telah jadi sumber pembelajaran. Tak hanya mengikat kehidupan harian tapi jadi sumber acuan apa saja. Gawai menciptakan ritual harian yang baru untuk banyak orang: memamerkan apa yang dikerjakan, mengomentari status seseorang hingga menyebarkan cuplikan tulisan. Gawai membentuk kultur untuk memusatkan perhatian yang berlebihan pada diri sendiri. Apa yang menjadi kepentingan diri lebih diutamakan bahkan yang bahaya adalah menganggap diri sendiri itu paling benar. Padahal itulah yang dimusuhi oleh pendidikan: merasa diri paling benar dan meyakini pendapatnya sendiri.

Narcissus adalah fenomena pendidikan hari ini: sekolah mempromosikan diri sendiri sebagai paling baik, menyatakan pandangan paling benar dan mengklaim mampu mengatur semua urusan. Lihatlah iklan sekolah belakangan ini: lebih banyak menyedikan ‘layanan bukan pendidikan’, ‘menyerupai paket liburan selama beberapa tahun ketimbang kontrak belajar antara institusi dengan mahasiswa’ dan lebih menyerupai pelatihan ketimbang belajar. Pada sisi inilah pendidikan dihantam oleh revolusi tekhnologi yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri.

Apa yang butuh disesuaikan? Pikiran yang cepat dan adaptif. Revolusi kali ini hanya mempertahankan spesies yang mampu beradaptasi dan dapat mengambil tindakan cepat. Kata yang tepat ‘lebih cepat lebih baik’. Seorang pemikir mengatakan: ‘jalur pikiran linear kita yang tenang, fokus, tak terganggu sedang disingkirkan oleh jenis pikiran baru yang ingin dan butuh untuk menggunakan dan menyebarkan informasi pendek, tak terkait dan saling tumpang tindih’

Itulah yang belakangan marak dalam dunia pendidikan: ditanggalkan budaya baca, diskusi dan refleksi untuk diubah jadi pikiran pragmatis, praktis dan dogmatis. Pedoman belajar bukan bertanya, menganalisa dan mengambil kesimpulan: melainkan tahu, hapalkan dan praktekkan. Melalui tradisi link yang jadi alat navigasi, pengetahuan jadi sesuatu yang dipilih dan yang terpilih biasanya yang ‘manis-pendek dan yang sedikit’

Sebuah penelitian UCL mengatakan bahwa pengguna Internet ‘tidak membaca seperti pengertian ‘membaca’ pada umumnya: nyatanya, ada tanda-tanda bahwa bentuk ‘baru’ membaca muncul seiring penggunaan internet ‘membaca sekilas’ secara horizontal sepanjang judul, halaman, isi, abstrak dengan cepat’ sehingga ‘membaca dan melihat sekilas telah jadi norma untuk semua orang

Proses ini bukan hanya mempengaruhi pikiran tapi emosi. Kita jadi tak sabaran karena digital memberikan kita kebiasaan untuk ‘cepat, buru-buru dan pasti’. Mudah saja kita memposting apapun tanpa pertimbangan karena semua berusaha untuk lebih dahulu dan mendahului. Begitu pula dengan gampang pendidikan mengubah-ubah kurikulum, mendaur ulang metodologi bahkan menanam perangkat apa saja untuk apa yang dinamai kemajuan.

Karena itu perburuan pada yang ‘baru’ selalu jadi orientasinya. Sekolah berlomba-lomba membangun hal ‘baru’ apa saja: bangunan utamanya, fasilitas yang meyertainya dan produksi gelar baru sebanyak-banyaknya. Sekolah kehilangan kemampuan untuk memberikan siswa bekal untuk memahami hal baru, mengerti kenapa itu menjadi baru dan memprosesnya dengan kesabaran. Situasi yang dilukiskan oleh ilmuwan Levy:

‘hari ini, semakin banyak informasi, tersedia untuk kita dibandingkan sebelumnya, tetapi waktu untuk menggunakan semakin sedikit, khususnya untuk menggunakanya dengan pemikiran mendalam’

Yang dijual oleh pendidikan bukan pengalaman berpikir tapi ijazah yang kelak berguna di pasaran kerja. Itu sebabnya pendidikan musti bayar mahal dan itu semua digunakan untuk memanjakan mahasiswanya. Pendidikan tinggi bahkan memperlakukan mahasiswa serupa dengan anak kecil, yang muncul kemudian perasaan menjadi lebih penting ketimbang rasionalitas atau fakta.

Maka soal yang muncul kadang remeh temeh, kebiasaan membesarkan hal-hal kecil bahkan dengan mudah termakan oleh hoax. Pendidikan tinggi kehilangan alur petualangan dan pendidikan menciutkan pikiran mendalam untuk diganti dengan emosi yang liar. Sehingga guru kemudian menjadi pelayan ketimbang pendidik untuk pelajarnya. Saya sering dengar keluhan dosen yang capek karena sulit untuk mengajak mahasiswa diskusi, baca buku bahkan bertanya sekalipun.

Efeknya pengajar memberi banyak kelonggaran dan kemurahan pada mahasiswanya. Sebuah riset menyatakan hasil yang kontroversial:

Penelitian terhadap dua ratus perguruan tinggi dan universitas sampai 2009 menemukan bahwa A adalah nilai yang paling sering diberikan. Dengan kata lain, ada peningkatan hampir 30% daripada yang terjadi pada 1960, dan 10% lebih daripada yang terjadi pada 1998. Sementara untuk nilai di semua mata kuliah secara keseluruhan, 80 persen lebih berada di rentang A dan B. (Tim Nichols, Matinya Kepakaran, KPG 2018)

Pendidikan bisa meluncur pada kegiatan santai yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa. Itu sebabnya kasus yang marak di lingkungan pendidikan malah bukan karena penemuan tapi sikap antar mahasiswa, sikap antar dosen atau rebutan posisi Rektor. Tentu ini bukan salah tekhnologi tapi imbas dari hilangnya budaya kritis ketika berhadapan dengan kemajuan. Kita memuja kemajuan tanpa mampu bersikap skeptis dan kritis.

Sederhananya pendidikan bukan terancam oleh tekhnologi melainkan pendidikan mulai kehilangan kekuatanya. Sebagai sebuah lembaga kini kedudukan sekolah mulai dipertanyakan: bukan sekedar formalitasnya tapi juga produknya. Pilihan untuk menjadikan tekhnologi sebagai kiblat membuat pendidikan tak ubahnya seperti resto makanan: menyajikan apa yang dibutuhkan saja dan melayani hanya pada yang membayar saja.

Melawan budaya populer yang kini banyak penganutnya bukan hal mudah. Ekosistem pendidikan memang musti dibenahi: menanam pikiran saintis dengan lebih mendahulukan keraguan, kesangsian dan pertanyaan jauh lebih utama ketimbang percaya begitu saja. Saintis membentuk dorongan untuk lebih hati-hati, tak merasa benar sendiri dan tiap pendapat diakui bukan hal yang mutlak. Saintis mendorong kesahajaan intelektual. Sikap yang didefinisikan sebagai:

Kumpulan kesadaran seseorang yang ditujukan kepada diri sendiri dalam mengakui bahwa pemikiranya mungkin salah mengingat bahwa pengetahuanya sesungguhnya tak sebanyak yang dipercayai, serta memahami bahwa kemampuan berpikirnya terbatas dan pendapatnya mungkin tak berimbang. (Iwan Pranoto, Sahaja Berpengetahuan, Kompas 16 Juli 2018)

Waktunya pendidikan kembali pada tujuan utamanya.(*)

Makalah ini disampaikan untuk diskusi Persma Poros Universitas Ahmad Dahlan, 22 Desember 2018 di kampus 4

1 komentar untuk “Lagi-lagi Soal Pendidikan di Era Digital”

  1. Pingback: 789 club

Komentar ditutup.

Scroll to Top