‘’Hidup dan mati sudah kehendak Tuhan. Tapi, jika harus mati, setidaknya kita mati setelah melakukan perlawanan berarti.’’ – Irma Devita
“Lawan!” Satu term yang menjadi mantra paling mujarab dalam setiap menyatakan ketidaksepakatan kepada kezaliman dan kesewenang-wenangan. Lawan, melawan, perlawanan (hanya ada satu kata, LAWAN!) Term ini menjadi ikon abadi dalam setiap gerakan perjuangan. Kalimat ini abadi seperti nama orang yang kemudian mempopulerkannya, Wiji Thukul.
Belakangan ini ada anggapan bahwa term ini tak dapat dipisahkan dengan golongan yang mengklaim diri sebagai golongan kiri. Seolah-olah ada legitimasi tidak tertulis sebagai simbol perlawanan yang selalu identik dengan kiri. “Sebagai bentuk perlawanan, mari kita kepalkan tangan kiri”, kalimat ini misalnya. Anggapan bahwa Istilah kiri lebih dekat dengan karakter revolusioner, kebebasan, persamaan derajat, pembelaan hak, perjuangan sosial dan lain-lain yang sangat identik dengan perlawanan tengah menjadi hal yang sangat lumrah. Sementara istilah kanan justru sebaliknya, ia mendapat justifikasi dekat dengan kemapanan, kepatuhan, hierarki, konservatif serta hal-hal lain yang tidak seprogresif kiri. Dalam dunia Pergerakan, kiri dipuja sementara kanan dikritik dan disalah pahami. Tapi apakah benar demikian, bahwa kiri adalah simbol perlawanan yang identik dengan karakter revolusioner, sementara kanan diidentikkan dengan status quo dan kontra revolusi? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita kembali melihat akar historis.
Terminologi golongan kiri dan golongan kanan merupakan hasil dari adopsi pengaturan tempat duduk parlemen pada Revolusi Prancis. Parlemen yang menentang sistem Aristokrat dibawa kepemimpinan Dinasti Valois dan Bourbon yang dikenal dengan rezim Ancien pada waktu duduk pada sebelah kiri. Sementara parlemen yang sepakat dengan institusi tradisional Ancien Regime duduk pada sebelah kanan. Belakangan keterpisahan kiri dan kanan semakin mencolok, pada akhir abad ke-19 muncul istilah sayap kiri dan sayap kanan. Istilah ini kemudian merambah ke berbagai ruang. Istilah ini bukan lagi hanya sekadar tentang ketegasan sikap dan perseteruan ideologi politik, kiri-kanan bahkan lebih jauh berselancar dan menyusuri ruang-ruang agama dan. Dalam Islam misalnya, peristilahan Islam kiri dan kanan menjadi satu diskursus yang ramai. Tak jarang menjadi perseteruan yang alot.
Di Prancis golongan kiri berhasil menumbangkan kepemimpinan yang sangat monarki, dimana pemikiran Anarko memiliki andil besar. Karena keberhasilan itu lahir semboyan Liberte, Egalite dan Fratemite. Begitu juga di Rusia, golongan kiri berhasil mencetus Revolusi Bolshevik yang fenomenal sampai hari ini. Di Eropa kita mengenal tokoh golongan kiri yang tidak kala fenomenal, seperti Bakunin dengan gagasan Anarkisme, Marx dengan gagasan Komunisme.
Jejak Golongan Kanan Menjadi Motor Penggerak Perlawanan
Jika di Eropa kita mengenal aksi heroik golongan kiri dalam melawan dan menumbangkan rezim yang diktator. Jangan lupa kalau di beberapa tempat juga ada perlawanan heroik golongan kanan. Kalau di Rusia ada nama-nama tokoh kiri seperti Lenin dan Kollontai yang fenomenal, jangan lupakan nama besar Hasan Al Banna dari Mesir yang dianggap tokoh golongan kanan. Perlawanan Osama Bin Laden di Afganistan tidak boleh dilihat hanya dengan menggunakan kacamata Amerika.
Menafikan semangat perlawanan tokoh-tokoh golongan kanan yang kadang dianggap konservatif saya kira itu argumentasi orang-orang yang terlalu dimabuk ideologi. Penilaian kepada golongan kanan yang kontra revolusi dan tidak pernah menjadi motor penggerak dalam perlawanan-perlawanan besar. Adalah penilaian yang lahir dari orang-orang mabuk ke kiri-kirian. Untuk menguatkan argumentasi ini, saya mengajak sejenak mari berziarah ke Mesir, mengunjungi Hasan Al-Banna. Apakah kita akan menutup mata atas perlawanan dan semangat yang warisan tokoh Ikhwanul Muslimin ini untuk melawan kolonialisme Inggris di negeri piramida, yang taruhannya adalah nyawanya sendiri?
Jika nama Al-Banna belum cukup, mari kita melanjutkan ziarah ke Afghanistan. Kita silaturahmi dan napak tilas jejak perlawanan Osama Bin Laden. Meski kalah dan syahid, namanya melegenda dan pernah menjadi mimpi buruk Amerika Serikat. Terlepas dari hujatan dunia terhadapnya, Bin Laden telah menorehkan tinta emas perlawanan kepada orang-orang yang ingin menjajah Afganistan, orang-orang yang merampok sumber daya alam negaranya.
Terminologi Golongan Kiri dan Golongan Kanan pada Tafsir Al-Azhar Surah Al-Balad
Lalu, bagaimanakah kiprah golongan kanan di Indonesia? Sebelum menjawabnya, Mari kita melihat argumentasi lain tentang golongan kiri dan kanan. Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar menyebut nama Darwis Thaib, pemimpin partai Masyumi Sumatera Barat. Jika Soekarno mencetus konsep Marhaenisme, maka Darwis Thaib juga mengemukakan satu konsep yang ia sebut Marhamisme. Gagasan ini lahir dari kata marhamah, hasil kajian beliau dalam QS. Al-Balad.
Menurut beliau, ayat-ayat dari Surat Al-Balad ini adalah dasar yang teguh dari ajaran “Keadilan Sosial” yang bersumber dari wahyu. Orang dididik memperdalam iman dan sanggup menempuh jalan mendaki yang sukar (‘aqabah), mengeluarkan harta benda dan tenaga buat: (1) Memberantas segala macam perbudakan, pemerasan manusia atas sesama manusia, (2) Memberi makan pada saat orang sangat memerlukan makanan, baik terhadap anak-anak yatim karena ayah-ayahnya yang tewas sebagai korban perjuangan, atau orang-orang miskin dan melarat yang tidak mempunyai apa-apa. (3) Semuanya itu terlebih dahulu mesti timbul dari Iman dan keyakinan hidup sebagai Muslim, yang masyarakatnya dibentuk oleh jamaahnya sendiri, yaitu jamaah yang hidup dalam gotong-royong, hidup pesan-memesan kesabaran menderita dan pesan-memesan supaya selalu hidup dalam berkasih-sayang, bantu-membantu, tolong-menolong; itulah yang dinamai hidup dalam masyarakat MARHAMAH.
Dari tafsiran Darwis Thaib tentang surah Al-balad yang dikutip Hamka, kita melihat jika istilah kiri-kanan yang lahir sepanjang revolusi prancis bukan satu-satunya pembelahan golongan kiri dan kanan. Peristilahan ini ditegaskan Tuhan dalam surah Al-balad, Tuhan menyebutkan secara gamblang pada ayat 13-19. Mereka yang melepaskan perbudakan, memberi makan pada hari terjadi kelaparan kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Mereka yang melakukan itu mendapatkan klaim dari Tuhan sebagai orang-orang beriman yang saling berpesan, dan mereka adalah golongan kanan. Sementara golongan kiri adalah mereka yang kafir pada ayat-ayat Tuhan.
Kiprah Golongan Kanan di Indonesia
Peristiwa besar di Eropa yang dimotori oleh golongan kiri menjadi pelecut semangat tokoh-tokoh besar di Indonesia yang diklaim beraliran kiri untuk melawan penjajahan kolonialisme, betapa pemikiran Anarkisme Bakunin juga Komunisme Marx menjadi rujukan utama mereka. Dan harus diakui kalau pemikiran kedua tokoh seteru abadi ini memiliki andil besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan, juga melawan kezaliman setelah kemerdekaan, sampai hari ini.
Tapi apakah ini lantas mengeliminasi peran golongan kanan yang sering mendapat justifikasi kontra revolusi? Menurut saya tidak sama sekali. Sebab sejarah mencatat, begitu banyak peran golongan yang di cap kanan dalam mewarnai pergolakan bangsa ini, sebelum Indonesia merdeka sampai Indonesia merdeka, bahkan hingga hari ini, sumbangsih yang mereka berikan tidak bisa terhapus, tinta emas sejarah menulisnya dalam keabadian.
Bagaimana mungkin kita bisa menghapus jejak Cut Nyak Dien yang melawan penjajah dengan semangat Tauhid. Tidak boleh karena perbedaan pandangan dengan Kartosuwiryo lantas kita menghapus jasa-jasanya dalam perjuangan republik ini. Apakah karena sikap Kahar Muzakkar yang dianggap sebagai pemberontakan lantas melupakan jasa-jasanya. Atau karena H. Agus Salim berjenggot lantas kita harus mencabut gelar The Grand Old Man darinya. Jas merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah)
Kiri dan Kanan Hanyalah Oposisi Biner
Lalu bagaimana sebenarnya, apakah kiri atau kanan yang harus menjadi simbol perlawanan?
Tokoh filsuf strukturalis, Ferdinand De Saussure barangkali bisa membantu memberi pencerahan. Menurutnya konstruksi pemikiran manusia selalu terbentuk dalam dua oposisi biner yang menjadi mainstream dan saling berhadap-hadapan.
Kiri harus selalu dihadapkan dengan kanan, begitupun sebaliknya. Kiri memberikan sebuah identitas yang harus berbeda dengan kanan. Kanan memberikan identitas yang harus berbeda dengan kiri. Perbedaan itu diawali dengan perbedaan asumsi ontologis dalam mengkonstruksi realitas, yang pada akhirnya berimplikasi pada genealogi epistemologi pembentukan pemikiran. Jadi, kiri sebagai simbol perlawanan sedangkan kanan dekat dengan kemapanan adalah pola oposisi biner, Kanan dijustifikasi konservatif, sementara kiri lebih progresif juga pola oposisi biner. Sayangnya konsepsi ini sudah terlanjur melembaga dan mapan dalam ruang kesadaran.
Golongan Kiri diasosiasikan dengan karakter revolusioner, kebebasan, perjuangan sosial, pembelaan hak. Argumentasi ini hanya pemberian identitas untuk menjadi pembeda dengan istilah golongan kanan, yang diasosiasikan dengan hirarki keteraturan, konservatif dan kepatuhan. Dan ini adalah pola oposisi biner yang membentuk pola berpikir yang sangat dikotomis, yang menganggap setiap yang berbeda harus dianggap sebagai lawan.
Kiri dan Kanan Sibuk Berseteru, Oligarki Melenggang Bebas
Hari ini masing-masing dari kita sibuk berseteru, mengklaim diri paling kiri, paling progresif, paling revolusioner, yang paling melawan, paling anti kemapanan, paling Marx, dan paling-paling yang lain. Sehingga memupuk jarak dengan mereka yang kita klaim kanan, yang kontra revolusioner, yang dekat dengan kemapanan, yang konservatif, yang reaksioner, yang tidak membaca buku Marx dan paling-paling yang lain.
Pada akhirnya kiri hanya menjadi simbol gagah-gagahan yang tidak filosofis lagi. Kiri tidak lagi menjadi simbol perlawanan. Kiri menjadi satu kelas sendiri yang sudah tidak sibuk mengorganisir perlawanan, yang berjarak dengan masyarakat, yang sibuk mengoleksi kaos-kaos tokoh revolusioner daripada mengikuti jejak yang mereka tinggalkan. Golongan kiri sibuk menghakimi kalangan yang dianggap oportunis karena memilih dekat dengan kekuasaan. Pada akhirnya masing-masing sibuk untuk mendapatkan pengakuan golongan paling kiri, dan mati-matian menghukumi golongan yang dianggap kanan yang konservatif. Menggunakan kaos Che Guevara diklaim lebih kiri dari mereka yang menggunakan kemeja polos. Orang yang menggunakan topi dengan gambar bintang merah dianggap paling kiri dari mereka yang menggunakan kopiah. Perkelahian simbol lebih menyita perhatian daripada mengkonsolidasikan gerakan yang besar.
Perdebatan simbolik ini pada akhirnya menyita energi, menyita perhatian, Perlawanan hanya menjadi teriakan tak bermakna, hanya menjadi penghias beranda-beranda sosial media. Pada akhirnya kiri-kanan bukan lagi tentang perlawanan. Kondisi inilah yang pada akhirnya menjadi sebab yang sebenarnya oligarki melenggang bebas terbahak-bahak.
Penulis: Achmad Faisal Dinejad
Ilustrator: Hisam