“Ubi dubium ibi libertas (Di mana ada keraguan, ada kebebasan)” -Pribahasa Latin
“Tidak ada sains nasional, seperti juga tidak ada tabel perkalian nasional” -Anton Chekov
“Kebebasan berfikir adalah satu-satunya jaminan melawan infeksi bangsa-bangsa oleh mitos massal, yang, di tangan para munafik dan demagog penuh khianat dapat menjadi kediktatoran berlumur darah -Andrei Sakharov
Saya pulang umroh. Sepekan lebih berada di dua kota suci: Madinah dan Mekkah. Menyaksikan bagaimana Iman ditandaskan. Menyaksikan ribuan orang mengelilingi Kabah. Menapak jalan Siti Hajar saat mencari minum untuk anaknya Ismail. Ikut berdoa di Raudah lalu Hijir Ismail serta tempat suci lainnya. Hari itu saya percaya Iman menambat hati banyak orang.
Pertanda Iman itu adalah perbuatan. Selalu sabar, berbuat baik, dan mudah menolong sesama. Saya merasa orang akan diubah oleh Iman. Yakin saya kalau pulang dari umroh orang akan berbuat baik.
Tebakan saya ternyata meleset. Persis ketika pulang umroh saya naik pesawat Turkish Airline. Bersama dengan jamaah umroh lainnya. Tak saya sangka di pesawat ada dua orang jamaah berkelahi.
Entah berebut apa atau soal apa. Tapi pramugari terkejut lalu mencoba memisah keduanya. Saya terkejut dan kemudian termenung. Iman itu kenapa tak berbekas sama sekali: tak hasilkan perbuatan bajik, tak membuat orang bersabar, dan bisa membuat orang menerima segala situasi. Iman itu bukan sebuah ‘barang jadi’ yang ketika dipakai orang dapat berubah seketika. Iman itu memang berbeda dengan sains.
Carl Sagan pasti tertawa mendengar keluhan saya. Ia beriman pada sains yang selalu punya mekanisme koreksi. Baginya sains bisa menjelaskan secara sempurna semua yang terjadi. Memang tak semua itu dapat dipahami dengan benar karena sains berangkat dari keraguan. Perintah terbesar sains ‘jangan percayai pemegang otoritas’. Karena sudah banyak argumen pemegang otoritas yang kemudian terbukti salah.
Kenapa sains musti harus dipercaya? Carl Sagan jawab dengan pasti: sains memberi hasil. Produk sains memang bisa buat celaka jika berada di tangan politisi atau industrialis: bisa hasilkan senjata pemusnah massal yang mengancam lingkungan dan manusia itu sendiri. Hal ini sangat berbeda dengan agama. Carl Sagan dengan pongah membuat pertanyaan yang menggoda.
Pikirkan berapa banyak orang yang mengandalkan nubuat, meski tak jelas, meski tak terpenuhi, untuk menopang atau menyangga Iman. Namun pernahkah ada agama dengan prakiraan akurat dan andal seperti sains? Tidak ada agama di planet ini yang tidak menghendaki kemampuan setara untuk meramalkan kejadian -kejadian masa depan- dengan persis dan dibuktikan berulang-ulang di hadapan mereka yang ragu.
Kritik jadi roh sains. Tiap ada temuan selalu dicoba dikuliti celanya. Sebut saja hukum gerak dan hukum gravitasi kuadrat yang ditemukan Isaac Newton. Temuan yang membuat kita bisa meluncurkan pesawat roket lalu mendarat pada titik orbit planet yang kita kehendaki. Hanya saja dalam kecepatan tinggi dan gravitasi yang kuat temuan Albert Einstein lebih berguna.
Artinya secara sederhana kebenaran sains tak pernah mutlak. Gerak gravitasi yang bisa diukur tak selalu sempurna dan karenanya secara rendah hati sains tak pernah mengakui sebuah kebenaran itu mutlak. Di bentangan alam semesta, sains hanya bisa menebak sesuatu secara akurat tapi itu tak sepenuhnya mengandung kebenaran yang total.
Itu sebabnya bahasa sains selalu hati-hati, bersahaja, dan rendah hati. Carl Sagan dengan meyakinkan mengutip makalah Albert Einstein yang diterbitkan tahun 1905 yang judulnya Mengenai Elektrodinamika Benda-Benda Bergerak. Bagi saya memahami pengantar makalah itu agak rumit tapi nyatanya inilah makalah besar yang memberikan pengumuman luar biasa: soal kesetaraan massa dan energi serta mengkikis kesombongan kita pada kepercayaan bahwa bumi itu adalah ‘kerangka acuan utama’.
Secara antusias Carl Sagan promosikan bahwasanya Sains sangat bermanfaat: menyumbangkan pendapatan ekonomi nasional, dapat mengingatkan akan bahaya akibat penggunaan teknologi, memberitahukan pada kita tentang asal usul maupun nasib alam semesta. Sains menjawab soal yang ingin diketahui manusia.
Tapi benarkah sains digdaya dalam menjawab semua soal? Mungkin iya tapi juga mungkin melahirkan pseudo-sains, pasangan gelap sains. Di semua pengetahuan itu selalu muncul: ahli zoologi menghadapi dinosaurus yang masih ada, ahli biologi evolusioner yang menghadapi penafsir harfiah Alkitab, dan astronomi hadapi astrologi. Contoh yang diungkap dengan nyiyir adalah kepercayaan palsu soal UFO dan Piring Terbang. Carl Sagan meyakini kalau kepalsuan itu disebabkan hilangnya rasa skeptis, yang jadi ciri sains.
Hanya saja sains tak selamanya ampuh dalam menahan ketololan. Sains malah bisa dianggap bahaya: kebebasan berfikir membuat pandangan konyol bisa berlaga. Itulah yang memperantarai tuduhan pada Saddam Hussein -yang semula sekutu Amerika- menjadi musuh terbesarnya. Kebohongan lawan dari sains bisa berjaya karena kekuasaan merasa berbahaya kalau penduduknya menganut keyakinan skeptis.
Keyakinan skeptis akan selalu mempertanyakan dan meragukan kebijakan. Maka kemajuan sains selalu diiringi dengan sikap demokratis. Sikap yang menuntut orang untuk lebih terbuka, kritis, dan pragmatis. Carl Sagan menguraikan pribadi-pribadi yang menjadi pendukung demokrasi sekaligus seorang saintis. Di antaranya Thomas Jefferson yang rumahnya selain berisi buku-buku juga berbagai perangkat tekhnologi hasil temuanya sendiri dan yang juga ikut dibelinya.
Jefferson adalah penyebar nilai demokrasi. Ia pernah menulis, “Cahaya sains telah menunjukkan bahwa umat manusia tidak terlahir dengan pelana di punggung dan tak ada segelintir orang terpilih yang lahir mengenakan sepatu bot dan taji.” Ia sebagaimana seorang saintis percaya bahwa manusia harus diberi kebebasan, diberi kesempatan yang sama, dan haknya tidak bisa dicabut begitu saja.
Deklrasi Jefferson menarik. “Saya berjanji mempertanyakan sesuatu yang para pemimpin sampaikan kepada saya.” Secara lantang ia berkata, “Saya berjanji menggunakan kemampuan saya berfikir kritis. Saya berjanji mengembangkan kemerdekaan berfikir saya. Saya berjanji mendidik diri saya sendiri agar membuat penilaian sendiri.”
Saya membaca buku ini seolah melihat Carl Sagan yang patriotik. Ia meyakini hanya demokrasi yang dapat melahirkan sains. Berkaca dengan Amerika, Sagan percaya agama Kristen karena lingkungan liberalnya jadi tumbuh lebih humanis dan moderat, lebih liberal seiring dengan pertumbuhan optimisme dan rasionalisme. Ia sampai pada kesimpulan yang tegas: agama musti dipisahkan dengan negara.
Dalam bahasa yang lebih sederhana: agama tak bisa bercampur baur dengan wewenang politik. Tapi apa benar itu semua menjamin kedaulatan akal sehat? Kalau melihat sekarang ini situasinya malah terbalik: propaganda agama telah menggantikan akal sehat dan kerumunan massa mudah sekali dimobilisasi dengan berita bohong. Mengapa itu terjadi?
Carl Sagan menjawab secara umum: standar pendidikan menurun, kompetensi intelektual yang merosot, hilangnya semangat berdebat secara subtantif, dan sanksi sosial terhadap skeptisme. Dalam bahasa Jefferson, Waktu untuk menetapkan dasar hukum bagi setiap hak yang essensial adalah sewaktu penguasa-penguasa kita jujur, dan kita sendiri bersatu.”
Buku ini menantang untuk dibaca. Seperti menguliti keyakinan kita hari ini: pada agama yang cenderung merasa benar sendiri, pada spiritualitas yang kian kering dengan petualangan pengetahuan, dan pada patriotisme palsu yang hanya sibuk didengungkan begitu rupa. Sains benar mengajar orang untuk bisa berendah hati.
Carl Sagan tak memusuhi agama. Dalam besutan film Contact yang berasal dari novel yang ditulis bersama istrinya, ia mewarisi keyakinan akan firdaus. Tempat manusia terhubung dengan masa lalu. Tempat yang lebih memilih sikap untuk berendah hati, tak harus mengandalkan akal, dan percaya akan kebaikan itu ada di tiap diri manusia.
Sains adalah keyakinan Carl Sagan. Ia yang mencintai ilmu astronomi, hobby melakukan pengamatan kehidupan di planet dan pendukung pencarian kehidupan cerdas luar angkasa. Ia membuktikan pada dirinya sendiri dan orang lain: sains bisa menjadi keyakinan universal karena melaluinya manusia dapat menggunakan akalnya serta selalu merendah dengan kemampuanya. Sains memerintahkan orang untuk bisa memahami yang berbeda dan meragukan dengan meyakinkan apa saja yang dinyatakan oleh orang lain.
Tapi dalam suasana palsu seperti hari-hari ini apa untungnya membaca buku tebal ini? Saya usai baca buku ini hanya merasa tertantang untuk mempertanyakan segala yang kita yakini dan tak mudah saya percaya begitu saja apa yang dikatakan otoritas. Saya merasa buku ini menambah keberanian kita untuk tidak mudah percaya dan meyakini kalau kebebasan berpendapat adalah landasan semuanya.
Buku ini membuat Iman kita terasa punya energi dan menyalakan api akal yang sudah jadi anugerah Tuhan. Beruntung jika Anda membaca buku ini dan bersedia untuk membuka diri. Terimakasih.(*)
Pingback: Apartheid