Hey Kamu, Adil-lah Sejak Dalam Pikiran dan Perbuatan Kalau Hobi Nonton Korea

 

Sinta Novratilova – [Pegiat Social Movement Institute]

***

Berat memang menjadi Kpopers saat ini. Maka itu biarlah aku saja. Karena syarat menjadi seorang Kpopers adalah harus tahan banting dan tahan sindiran. Harus tahan dikatakan alay, lebay dan sebagainya.

Dikatakan Kpopers adalah karena prilaku yang hobi dan suka dengan sesuatu yang berasal dari negeri gingseng, Korea. Mulai dari lagu, musik, artis, penyanyi, drama hingga film-film yang sekarang ini marak dan menjadi perbincangan.

Apalagi dengan menjamurnya produk Korea seperti sekarang ini, tentunya beragam tuduhan lainnya menyeruak, tampil bahkan terkesan mengejek. Sebut saja misalnya para Kpopers dianggap tidak nasionalis. Hal itu karena Kpopers dianggap kurang mencintai produk dalam negeri sendiri. Atau ada juga yang mengatakan para Kpopers mencintai manusia-manusia plastik seperti operasi plastik yang biasa dilakukan di Korea.

Padahal belum tentu para Kpopers ini tidak mencintai produk Indonesia. Karena tidak semua Kpopers bahkan mampu membeli segala hal yang berbau Korea tersebut.

Selain itu, menjadi tidak fair bila menimpakan keburukan pada hal-hal tertentu yang tidak jelas ukurannya. Masa karena suka dan hobi dengan film Korea atawa produk Korea, lalu hal tersebut dikatakan miskin jiwa nasionalismenya. Kalau seperti itu, sebenarnya siapa yang sesungguhnya memperpanjang barisan pembodohan di negeri ini. Karena sedikit-sedikit menilai orang dengan buruk hanya karena penampilannya. Ini harus kita waspadai. Bahaya laten penghasutan dan pencemaran nama baik kalau seperti ini. Termasuk bagi mereka yang suka mencela seseorang hanya karena ia menyukai drama atau film-film besutan Korea.

Karena ternyata tidak selamanya film Korea itu tidak bermakna. Bahkan banyak yang bermakna lebih daripada yang dibayangkan.

Kalau kita mau sedikit lebih jeli dan objektif, baik film atau drama Korea, terkadang banyak yang sarat pesan atau kritik sosial, mengedukasi dan menyibak realita jaman sekarang. Misalnya film Miracle In Cell No. 7.  Mungkin bagi penggemar film Korea, setuju bahwa film ini layak di apresiasi. Film yang mengangkat realitas sosial dimana terkadang hukum suka ‘buta’ apalagi ketika berhadapan dengan yang punya kuasa atau kekayaan.

Seperti diceritakan bahwa seorang yang mengalami keterbelakangan mental terpaksa harus menjalani hukuman karena dituduh membunuh seorang anak kecil. Apalagi yang meninggal tersebut adalah anak seseorang yang punya kekuasaan di wilayah tersebut. Sang tertuduh pun sebenarnya juga punya anak yang seusia dengan korban. Lucu dan menggemaskan.

Karena pengadilan sudah memutuskan tertuduh bersalah, maka ia akhirnya harus menjalani hukuman tersebut. Meskipun faktanya bahwa korban meninggal karena kecelakaan sendiri yang dilakukannya. Tertuduh hanya kebetulan berada disana bahkan mencoba memberikan pertolongan, akan tetapi dianggap melakukan pembunuhan disertai pemerkosaan. Hal itu karena saat kejadian ada orang yang melihat dan salah menyangka apa yang dilakukan tertuduh.

Di pengadilan tertuduh dipaksa mengakui kejahatan yang tidak diperbuatnya tersebut. Bahkan setelah dia mampu membuktikan bahwa dia tidak bersalah pun dia harus menerima kenyataan bahwa kasusnya harus tetap dilakukan. Sang penguasa tetap ingin dia menerima hukumannya yaitu mati.

Seperti judulnya, kemudian film ini pindah setting tempat di penjara. Semasa dipenjara inilah sutradara ingin menunjukkan bahwa keterbelakangan mental juga layak diapresiasi, tidak melulu dipandang negatif hanya karena ia berkekurangan.

Di dalam sel penjara, tertuduh selalu berusaha ntuk ceria. Walaupun ia tahu sebenatar lagi ia akan di eksekusi mati. Dan yang menggemaskan, bahwa anaknya yang masih lucu dan imut, selalu punya cara untuk berada bersama ayahnya meskipun dengan cara yang ilegal. Kadang dibantu oleh sesama tahanan lainnya agar si anak bisa tinggal di penjara tersebut.

Ini seperti film korea kebanyakan, sutradara tetap ingin menampilkan sesuatu yang kocak dibalik sesuatu yang miris. Makanya banyak adeganknyol terjadi seperti tipu menipu dengan sipir penjara agar kelakuan sang anak ini tidak diketahui petugas. Lalu ada juga adegan dimana tahanan yang notabenenya penjahat dan penipu, harus bertekuk lutut menghadapi kekonyolan serta kepolosan anak kecil tersebut. Bahkan petugas penjara punpada akhirnya mengetahui hal tersebut dan kemudian bersimpati dari apa yang dilakukan. Hal itu juga yang membuatnya untuk melihat kembali kasus yang telah terjadi sebelumnya ini. Dan mengajukan peninjauan kembali untuk upaya pembebasan sang tertuduh. Karena memang faktanya sang tertuduh tersebut tidak bersalah. Tapi kekuasaan tetap kekeuh.

Endingnya, tibalah saatnya sang tertuduh harus menjalani eksekusi. Derai air mata tentu tak bisa di bendung. Ini bukan saja karena ada seorang anak manusia yang akan mati hari ini. Tapi tentang seorang ayah yang berketerbelakangan mental, penyayang, rela berbuat apa saja demi anaknya dan baik kepada sesama tapi menjadi korban salah tangkap dan salah tuduh yang kemudian harus berujung dengan kematian.

Sutradara disini seakan hendak menyampaikan pesan bahwa keadilan sudah ikut terkubur bersama sang tertuduh. Dan kitalah yang membunuh keadilan tersebut dengan meminjam tangan-tangan kekuasaan. Kitalah yang menciptakan privilese pada kekuasaan. Karena itu kita menjadi lebih bejat dan hina karena diam dan membiarkan kebejatan itu terjadi. Kita menjadi kotor karena bungkam melihat ketidakadilan itu terus saja berlangsung. Bahkan sampai merenggut nyawa seseorang yang tidak bersalah.

Akhir cerita, setelah puluhan tahun berlalu, fakta dan kenyataan akan kasus ini baru mulai terkuak. Bahwa pernah ada orang yang tidak bersalah tapi harus menanggungkan beban karena peradilan yang sepihak. Tapi seperti itulah keadilan, selalu datang terlambat saat sudah memakan korban.

Hal-hal seperti ini tentu saja tidak terjadi di Korea semata. Bukan tidak mungkin juga terjadi di banyak negara di dunia ini. Termasuk Indonesia.

Seperti yang saya saksikan langsung pada kasus Sragen. Dimana para buruh menuntut PT DMST agar memberikan hak yang sewajarnya. Tapi kenyataannya, malah berkebalikan. Buruh malah dikriminalisasi, dituding menciptakan kegaduhan dan instabilitas. Sehingga akhirnya mereka harus berujung pada penangkapan dan penjara setelah diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi, diinjak-injak badannya, di pukul, ditendang perutnya, kepalanya, mukanya dan seluruh badannya, digeret-geret seperti penangkapan pelaku kriminal, dan dijebloskan dalam sel.

Sungguh ini tuduhan yang tidak masuk akal, konyol, serta memuakkan. Dan dipersidangan mereka dinyatakan bersalah pula.

Membandingkan itu, saya seperti melihat drama yang sama seperti di film ini. Kesannya, kuasa atas hukum dan keadilan itu linier dengan kuasa modal. Siapa yang punya uang banyak, maka ia bisa membeli keadilan. karena instrumen keadilan tersebut adalah subjek yang telah menjadi komoditi bisnis sejak lama. Sehingga wajar yang salah bisa menjadi tidak bersalah, sementara yang tidak bersalah bisa jadi bersalah.

Kemiskinan, kekurangan, ketidakberdayaan sepertinya dianggap tidak layak bersaing di dunia ini. Alih-alih hidup berdampingan dengan mereka yang menggenggam sumber penghidupan. Karena kemiskinan, kekurangan serta ketidakberdayaan pada faktanya selalu jadi korban.

Itulah drama. Maka itulah film ini penting untuk ditonton.

 

Tinggalkan Komentar

Scroll to Top