“Tidak semua yang bisa dihitung itu berharga, dan tidak semua yang berharga itu bisa dihitung” (William Bruce Cameron)
Salah satu kawan bercerita. Saat bagi nasi bungkus pada tukang becak mereka bilang: “suasana makin susah ketika keramaian ditiadakan dan tiap orang diminta kerja dari rumah.” Sebagai tukang becak, andalanya adalah keramaian dan pendapatanya diperoleh harian. Corona telah memukul profesinya dan bukan hanya dirinya. Pegawai hotel dirumahkan karena tak ada tamu serta penjaga angkringan mulai kehilangan pembeli. Corona membuat orang miskin terbanting lebih keras bahkan terancam kehilangan segalanya.
Kawan ini memutuskan jadi relawan. Tiap saat bekerja membagi nasi. Bahkan, kini SMI dengan organ lainnya mendirikan dapur bersama. Mandatnya adalah menjadi ‘bantal sosial’. Terutama pada pekerja informal yang terkena pukul Corona. Dapur itu dikelola oleh relawan yang tiap hari beroperasi memasak harian. Dibantu oleh banyak mahasiswa yang punya tujuan mulia: menahan efek Corona pada mereka yang penghasilanya harian. Tapi semua mengerti hal itu hanya bisa dilakukan terbatas pada wilayah tertentu dengan jangka waktu terbatas. Corona gilanya tak memiliki batas itu sementara ini.
Ada prediksi Corona akan berjalan lama. Kalangan pakar di Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB menghitung puncak wabah Covid 19 di Indonesia bisa terjadi pada pertengahan April mendatang. Sampai akhir Mei, diperkirakan ada 60.000 kasus positif Corona dengan 2000 kasus baru muncul setiap hari. Tak ada jalan lain sementara ini untuk mengatasinya kecuali memerintahkan warga untuk tak melakukan aktivitas di luar rumah. Kebijakan ini membatasi arus penyebaran tapi memukul warga miskin yang menggantungkan pendapatan hariannya pada aktivitas di luar.
Terutama para pekerja informal yang sifat pekerjaannya subsisten. Golongan ini berada dalam situasi yang ekstrem: tak memiliki cukup uang untuk dibelanjakan dan tak cukup persediaan makanan. Malah sebagian di antara mereka tak mempunyai perlindungan sosial dan jaminan kesehatan yang memadai. Kelompok inilah yang bisa jadi nekat untuk tetap mengais rezeki untuk menghidupi diri dan keluarganya. Jika menilik data jumlah pekerja informal ini sangat besar: 70,49 juta (55,72%). Padahal, sebagian di antara mereka sebenarnya memberi sumbangan ekonomi signifikan. Terutama yang bergerak dalam payung UMKM.
Lapisan ini menempati peran penting dalam struktur ekonomi Indonesia. Mereka semua bergerak dalam usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Bagi usaha mikro dan pekerjanya hidup adalah dari hari ke hari dengan mengandalkan pendapatan omzet dan pendapatan harian. Jika berhitung lewat data, ternyata entitas produksi Indonesia didominasi oleh UMKM; 99,99 persen dari total jumlah unit usaha yang ada. Sumbangan UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 63%. Khusus untuk usaha mikro kontribusi nilai tambah sekitar 34 persen PDB (Kompas 21/3/2020).
Lebih detail lagi, omzet usaha mikro per tahun rata-rata sekitar 76 juta, berarti sekitar 6 juta sebulan dan Rp 200.000 per hari. Mereka sebagian adalah pedagang di pasar Beringhardjo, Kotagede maupun pasar Gede Solo. Rantai ekonomi mereka memanjang hingga ke tukang becak, angkringan, kuli gendong, hingga tukang parkir. Intervensi untuk mereka tak ada lain kecuali merangsang daya beli masyarakat ketimbang memberi banyak insentif atau keringanan kredit. Sebab, bagi mereka lebih baik ada yang membeli produk ketimbang harus dibantu uang atau paket sembako. Menjaga daya beli itu yang sulit karena pembelinya dihantam oleh Corona.
Sebut saja industri yang paling banyak serap tenaga kerja yakni pusat perbelanjaan. Rantai pusat belanja ini panjang mulai dari pemasok, industri terkait hingga karyawan yang terlibat. Di bawah puncak piramida pusat belanja itu ada banyak orang bekerja. Terutama pekerja dengan upah minimum dengan pekerja harian. Situasinya sekarang ini: okupasi pusat perbelanjaan menurun drastis: 10-20 persen saja. Jumlah mall yang akan tutup sementara ada 10 dan itu akan mengalami kenaikan seiring dengan meluasnya Corona. Efek pengangguran akibat itu semua akan menambah populasi orang miskin. Mereka yang kehilangan daya beli.
Khusus di Yogyakarta adalah sektor pariwisata. Okupasi dan tingkat hunian hotel terus merosot. Berdasar data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) tingkat okupasi hotel pada 1-14 Maret 2020 hanya 20-50 persen dari total kapasitas. Rantai ekonomi sektor ini juga memanjang: mulai dari karyawan, pemandu wisata, restoran hingga sopir bus. Corona yang berbahaya adalah memangkas rantai ekonomi yang selama ini memang mengandalkan pada mobilitas orang dan menjadikan orang siapapun saja sebagai duta virusnya. Potensi korban terus bertambah terutama ketika wisata yang unsurnya mobilitas dihentikan begitu saja. Terus terang corona memukul ketahanan manusia sebagai makhluk sosial. Cara yang ditempuh banyak negara untuk mengatasinya adalah meningkatkan kemampuan pemerintah.
Solusi yang ditempuh pemerintah tak lain memberi bantuan. Alokasi bantuan pemerintah sementara ini ada Rp 10 triliun yang digunakan untuk kartu Prakerja. Rencananya bersama BPJS sedang melakukan pendataan pekerja yang di-PHK gara gara Corona. Tapi semua percaya jumlah ini tak cukup untuk menopang 70,49 juta orang. Sri Mulyani sebagai Menkeu sendiri merasa dana APBN tak cukup untuk penanganan Corona ini. Dibanding Australia yang mengalokasikan 10% PDB untuk warga yang terdampak langsung Corona, Inggris 4% PDB untuk stimulus fiskal berupa bantuan tunai, pengurangan pajak dan subsidi, Kanada menganggarkan 3,6% dari PDB dan Indonesia hanya mengalokasikan Rp 11,83 triliun-121,3 triliun, kurang dari 1 persen PDB.
Pilihan pragmatis pemerintah hanya berhutang dan bahkan kini dengan tanpa malu lagi membuka rekening khusus bagi masyarakat yang ingin berdonasi. Rencananya BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) sebagai gugus tugas yang akan mengelola rekening tersebut. Dompet pemerintah melalui APBN tak lagi mampu menangani ancaman Corona. Terlebih banyak ahli kesehatan dunia meramalkan Indonesia bisa menjadi episentrum baru pandemis corona. Mengingat Indonesia memiliki ‘kekurangan yang signifikan terkait tempat tidur, rumah sakit, fasilitas medis, dan fasilitas perawatan intensif’ Artinya kita harus bersiap dengan skenario buruk di masa-masa mendatang.
Bayangan buruk Corona akan merata karena pekerja informal pulang kampung. Yang terdata pekerja informal, seperti pedagang kaki lima Jabodetabek akan mulai mudik karena pendapatan berkurang sejak perusahaan memberlakukan bekerja dari rumah. Harusnya mereka ditahan agar tak pulang kampung tapi pemerintah tak punya solusi untuk mengganti penghasilan yang hilang. Di Jawa Tengah rembesan pemudik sudah mulai berlangsung dan sayangnya tak ada antisipasi. Efek polarisasi politik membuat antar kepala daerah tak mudah menjalin komunikasi apalagi kerja sama. Corona yang menuntut kolaborasi antar institusi kini jadi bola liar yang menggelinding ke mana-mana.
Membaca semua uraian ini tak ada jalan keluar yang mulus. Daya kekuatan pemerintah yang memang lamban dan lambat kian memupus munculnya akhir kisah yang bahagia. Kini semuanya mengandalkan peran masyarakat yang diharapkan saling membantu satu sama lain. Tentu itu sudah dilakukan dengan energi yang luar biasa: donasi dari berbagai kalangan, munculnya relawan untuk membantu bahan makan bagi pekerja informal hingga bantuan untuk para petugas medis. Namun, tanpa koordinasi yang rapi sekaligus dukungan maksimal pemerintah pastilah semua inisiatif publik itu akan berjalan sporadis dan tak mampu menjawab persoalan yang kian meluas.
Terlanjur lama negara membiarkan kehidupan diserahkan pada mekanisme pasar. Corona virus yang secara mahir membiarkan dirinya berkembang pada seseorang untuk menularkanya pada orang lain. Obat mujarabnya bukan pada kekuatan individu tapi ketahanan sosial yang dirawat dengan kekuatan penuh negara. Keberhasilan China mengatasi Corona tidak hanya dalam kepatuhan warganya melainkan pemerintahanya yang terbuka untuk memberitahu virus itu mampir ke mana saja, pemerintahnya yang menyediakan bantuan apa saja untuk memelihara hidup warganya dan hukuman untuk pejabat publiknya yang menganggap remeh virus itu.
Para pejabat China yang bertanggung jawab pada urusan kesehatan hingga kepala daerah yang abai dipecat. China menunjukkan keseriusan pada warganya dengan menghukum para pejabat yang tak mampu menjadi pelayan rakyat. Ketegasan itu berefek pada ketaatan warga untuk memenuhi semua anjuran pemerintah. Mereka diberitahu bahwa keadilan itu jadi landasan untuk melakukan kebijakan apa saja. Bukan hanya urusan virus China keras dengan pejabatnya tapi juga urusan korupsi segala. Artinya: hanya keadilan yang mampu memusnahkan virus itu. Keadilan yang menjaga tali kepercayaan antara pemerintah dan rakyatnya. Sialnya—hari-hari ini—dalam soal keadilan kita tak punya pengalaman menegakkannya. Satu satunya yang kita miliki sekarang ini hanyalah harapan. Kita hanya punya harapan: tidak menjadi warga yang hanya antri untuk dihukum mati oleh corona. (EP)
Pingback: miel de Dubai