“Kecemasan mengeringkan kekuatan benak sehingga cepat atau lambat akan melukai jiwa” -Yogi Raman
“Kebaikan hati sejati untuk masa depan berisi hal-hal yang kita berikan pada masa kini” -Albert Camus
Belakangan ini ada kekuatiran pemerintah terhadap geliat gerakan mahasiswa di sejumlah kampus. Terutama setelah viral sebuah acara yang mana mahasiswa menyatakan kesetiaan pada Khilafah.
Rasanya kampus kemudian jadi benteng pikiran yang melawan ideologi Pancasila. Terutama ketika salah satu kampus disambangi Densus 88. Lengkap sudah tuduhan kampus menjadi sarang teroris, perongrong ideologi Pancasila, dan dikuatirkan melahirkan benih pemberontak.
Muncullah kemudian Permenristekdikti No 55/2018 tentang pembinaan ideologi bangsa. Aturan pendek yang memuat lima pasal ini meletakkan konsensus dasar sebagai landasan pembinaan organisasi mahasiswa.
Muatan konsensus itu di antaranya Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Guna memenuhi harapan itu kampus dapat membentuk organisasi kemahasiswaan yang secara khusus memiliki fungsi sebagai wadah pembinaan ideologi Pancasila.
Tentu peraturan ini menyulut perdebatan pro dan kontra. Pihak yang pro menganggap bahwa ketentuan ini akan menjamin gerakan mahasiswa untuk tidak menyimpang dari koridor konsensus kebangsaan.
Sedangkan bagi yang kontra menganggap ini kooptasi dan melemahkan kesadaran kritis mahasiswa. Keributan ini memang perlu untuk memastikan bahwa aturan ini merupakan jawaban persoalan kampus selama ini.
Apa yang sebenarnya menjadi persoalan di kampus kita hari-hari ini? Benarkah kemunculan ideologi radikal yang tumbuh secara meluas dan meraih pengikut yang luar biasa? Indikator apa yang kita pakai untuk memastikan bahwa ideologi radikal itu telah mempengaruhi banyak mahasiswa dan membawa ancaman yang berbahaya?
Jika boleh disederhanakan apa memang kita sedang menghadapi lapisan mahasiswa yang secara aktif akan berusaha mengganti ideologi Pancasila?
Sampai hari ini belum ada riset ilmiah yang membuktikan itu semua. Kalau pun muncul peryataan ancaman itu, pasti hadir dari institusi resmi negara atau aparat keamanan.
Sungguh konyol menilai Institusi Pendidikan Tinggi hanya melalui peryataan yang tak berdasar ‘metodologi, data, dan riset’ yang komprehensif. Mustahil kita mengupas lingkungan akademik hanya dari tindakan sejumlah orang yang diberitakan berulang-ulang dan terjadi pada satu dua kampus yang kebetulan terkenal.
Seluruh pertanyaan yang unsurnya ‘keamanan’ ini patut dikatakan karena kita tak ingin kampus dihantui oleh persoalan yang belum jelas indikasinya dan belum pasti dampaknya. Temuan bom tidak lebih mengejutkan ketimbang temuan banyaknya pejabat korup yang berasal dari kampus ternama.
Bahkan viral upacara kesetiaan khilafah itu sama bahayanya dengan kemudahan kampus memberi gelar honoris causa pada pejabat publik yang tak terbukti punya temuan pengetahuan. Kita harus menyadari kalau kampus sudah banyak melompat jauh dari tradisi pengetahuan.
Disadari atau tidak, sesungguhnya kampus telah banyak berubah. Bukan lagi tempat interaksi pengetahuan berlangsung, tapi juga tukar-menukar kepentingan politik terbangun. Tak lagi kawasan yang mengembangkan gagasan produktif, tapi juga lingkungan tempat transaksi ekonomi bekerja.
Bahkan, kian menyempit unsur kebebasan akademik karena lebih mengutamakan stabilitas dan keharmonisan yang jadi landasanya. Singkatnya, kampus bukan lagi tempat yang steril dari pertarungan politik dan ekonomi.
Mengapa itu berlangsung? Saya curiga itu semua karena kampus telah memilih ideologi ‘kapitalisme’ sebagai landasanya. Ideologi yang membaptis semua hal di lingkungan kampus sebagai komoditas.
Saksikan saja bagaimana proses elitisasi melanda kampus dalam berbagai bentuk mutakhirnya: seleksi berdasar kelas sosial, fakultas memberi petunjuk tentang kelas sosial mahasiswa, dan lingkungan infrastruktur kampus memperlihatkan upaya untuk meletakkan posisi sosialnya.
Merujuk pada Slavoj Zizek, sebuah keyakinan dikatakan sebagai ideologi kalau sudah diinstitusionalkan, telah menjadi semacam belief, bahkan muncul melalui rumusan tindakan.
Pancasila belum meyentuh sisi itu karena masih banyak menjadi doktrin. Sedangkan kapitalisme telah diamalkan begitu rupa: institusi kampus menjadi komersial, keyakinan kalau pengetahuan itu komoditas, dan tindakan warga kampus yang tak menyangsikan itu semua.
Kalau begitu, maka efek yang pasti muncul dalam suasana kapitalistik adalah eksploitasi dan alienasi. Karl Marx telah meramalkannya jauh-jauh hari. Kita bisa membuktikannya dengan mudah.
Eksploitasi itu diperankan melalui pemanfaatan pengetahuan untuk tujuan praktis modal dan kekuasaan. Betapa banyak kita menyaksikan keputusan kotor pembangunan didasarkan atas legitimasi pengetahuan.
Misalnya pendirian pabrik didasarkan pada Amdal sebuah perguruan tinggi yang membawa konsekuensi pada kerusakan lingkungan. Bahkan keputusan politik kerap kali ditambang dari ide-ide yang mekar dalam pikiran kaum akademisi.
Resiko destruktif yang muncul adalah kesenjangan. Pilihan fakultas hingga perolehan prestasi sangat ditentukan dari posisi kelas sosial mahasiswa. Bahkan kita bisa menyaksikan bagaimana lingkungan kampus memperlebar kesenjangan itu dengan meluaskan ide-ide wirausaha yang dipasarkan begitu rupa.
Sehingga mahasiswa lebih banyak diajari praktek menjadi ‘sales’ ketimbang hidup sebagai seorang ilmuwan. Kualitas kehidupan akademik kian merosot karena keyakinan buta lebih mudah dipasarkan ketimbang kesadaran kritis. Kompetisi jauh lebih sering digiatkan ketimbang kerja sama dan kolaborasi.
Mahasiswa mengalami apa yang dinamai dengan alienasi. Proses keterasingan dari pengetahuan yang dipelajari dengan praktek kehidupan yang menjauh dari prinsip etis. Mahasiswa mulai hilang kepercayaan pada proses pengetahuan karena menyaksikan ‘pengetahuan’ yang tidak mampu berperan dalam perbaikan sosial.
Hampir di setiap diskusi kampus, saya merasakan kekecewaan etis mahasiswa atas membusuknya peradaban di lingkungan kampus. Kecemasan mereka atas dominannya budaya pragmatis, individualistik, dan hedonistik tak pernah mampu dijawab dengan lugas.
Malah kampus melalui perantaraan aturan ini mulai berupaya ‘mengawasi’ mahasiswanya. Kecurigaan mahasiswa gerakan mau menyulut ide yang bahaya, berkeinginan mengganti ideologi Pancasila, hingga dikuatirkan akan menegakkan negara alternatif adalah ‘kutukan’ Orde Baru.
Rezim yang kerap kali tidak mempercayai anak muda yang kritis, membela mereka yang lemah, dan mengkritik penguasa. Padahal sistem demokrasi itu tegak saat ini tak lain karena ‘pengorbanan dan kegigihan’ lapisan mahasiswa. Kisah heroik ini sayangnya tak pernah menjadi bagian dari cerita utama kampus-kampus kita.
Gerakan mahasiswa bukan hanya mitos. Kekuatan gerakan mahasiswa terbukti dalam sejarah dan tak hanya terjadi di sini. Bahkan tak hanya terjadi saat ini.
Merunut sejarah, kita dapat menyaksikan kebijakan etis yang melahirkan para sarjana yang progresif. Salah satu tokoh populer adalah Tjipto Mangunkusumo, Soewardi Soerjaningrat, dan Soetomo. Tokoh tokoh yang kelak menjadi guru bangsa serta mempengaruhi figur seperti Soekarno, Hatta, hingga Sjahrir.
Figur terpelajar yang nantinya melahirkan ideologi Pancasila. Singkatnya, Pancasila muncul dari kegelisahan, keberanian, dan dianugerakannya kebebasan. Sungguh hampir mustahil kita ingin menjaga Pancasila tapi tak memberi ruang ‘kebebasan’ untuk kaum terpelajarnya!
Pingback: เศษผ้า