Belajar Mencintai Perbedaan Dari ‘Kambing Dan Hujan’

Oleh ; Luna Febriani – [Pegiat Social Movement Institute]

***

Kegelisahan selalu melanda Miftah ketika mendekati akhir Ramadhan, tepatnya ketika kepastian tentang 1 Syawal tak kunjung datang. Kegelisahan ini akan semakin menjadi-jadi jika pengumuman tentang ketetapan hari raya Idul Fitri terdapat perbedaan bagi masyarakat Selatan dan Utara Desa Centong. Perbedaan penetapan Idul Fitri ini dirasakan Miftah dapat semakin memperlebar jurang pemisah kisah percintaan sepasang kekasih yang menganut paham keagaaman yang berbeda, seperti yang diceritakan dalam roman Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan.

Kambing dan Hujan yang menjadi pemenang sayembara Novel DKJ 2014 ini menceritakan tentang bagaimana perjuangan dan kegigihan sepasang kekasih dari desa Centong antara Miftahul Abrar (Miftah) dan Nurul Fauziah (Fauziah) dalam menyatukan perbedaan dalam ikatan cinta kasih. Perbedaan yang di hadapi pasangan kekasih ini bukanlah perbedaan yang sepele, melainkan perbedaan menyangkut hal paling dasar dari kehidupan manusia, yakni perbedaan dalam meyakini dan menerapkan nilai dan praktik keagamaan.

Alkisah, dulunya Desa Centong tempat dimana pasangan ini lahir dan dibesarkan  merupakan desa dengan masyarakat yang sederhana dan solidaritas serta integrasi yang tinggi. Sehari-harinya, anak-anak desa Centong bekerja sebagai gembala kambing dan sebagian membantu orang tua di sawah. Namun, kemudian fenomena ini bertolak belakang dengan desa Centong saat ini, dimana desa Centong sekarang mengalami diferensiasi yang disebabkan oleh adanya cara pandang keagamaan yang berbeda, seperti mesjid yang berbeda, madrasah yang berbeda hingga fikih yang juga berbeda. Masyarakat di Desa Centong bagian Utara (tempat Miftah tinggal) dikenal sebagai masyarakat dengan golongan keagamaan Muhammadiyah. Sementara, masyarakat Desa Centong bagian selatan dimana Fauziah tinggal merupakan golongan masyarakat yang menganut paham Nahdlatul Ulama.

Miftah dan Fauziah merupakan muda mudi yang lahir dan tumbuh di Desa Centong yang kemudian terlibat dalam kisah cinta yang sangat rumit. Kisah cinta muda-mudi ini mendapat pertentangan yang cukup besar dari pihak keluarga maupun masyarakat tempat mereka tinggal. Selain persoalan ideologi keagamaan, pertentangan ini juga disebabkan oleh hal lainnya, seperti pengalaman masa lalu kedua orang tua mereka dan gengsi. Tidak dapat dipungkiri, kedua orang tua mereka Pak Iskandar (orang tua Miftah) dan Fauzan (orang tua Fauzia) dulunya merupakan sahabat karib, namun karena sesuatu dan lain hal menyebabkan dua sahabat karib ini tidak saling bertegur sapa hingga saat ini. Ketidaksepahaman keluarga dalam menyatukan hubungan sepasang kekasih ini menjadikan Fauziah putus asa, bahkan Fauziah menawarkan solusi kawin lari agar sepasang kekasih ini bersatu dalam ikatan penikahan.

Namun, hal itu ditolak Miftah. Dalam hal meyakinkan dan mendapatkan restu dari orang tuanya terkait hubungan mereka, Miftah selalu menggunakan pendekatan persuasif. Hal ini dilakukan agar selain mendapatkan restu, hubungan antara Pak Iskandar dan Pak Fauzan yang selama ini bertikai dan terlibat perang dingin dapat dicairkan. Beragam cara yang dilakukan pasangan ini, salah satunya adalah menggali sejarah masa lalu untuk mencari tahu akar permasalahan pertikaian ini dan meminta bantuan keluarga lainnya (terutama yang dianggap senior) untuk melekatkan kembali hubungan orang tua mereka yang renggang ini.

Dari negosisasi hingga mediasi dilakukan oleh kedua keluarga ini untuk menggugurkan gengsi dan konflik serta mengeratkan kembali hubungan antara Pak Iskandar dan Pak Fauzan. Hingga akhirnya, setelah mengalami penolakan bertubi-tubi, pejuangan sepasang kekasih ini membuahkan hasil yang manis dan membahagiakan. Hubungan muda mudi ini kemudian mendapat restu dari kedua belah pihak dan akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya yakni pernikahan.

Meskipun mendapat restu, dalam penyelenggaraan resepsi pernikahan nantinya banyak syarat yang ditawarkan oleh kedua belah pihak, terutama terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan yang berkenaan dengan persoalaan keagamaan. Hal itu seperti permintaan dari keluarga Miftah yang tidak memperkenankan adanya hiburan wayang selama resepsi pernikahan berlangsung.

Selain pernikahan, hal yang membahagiakan dari perjuangan kisah cintah Miftah dan Fauziah ini adalah kembali menyatunya hubungan sahabat karib yang berseteru selama berpuluh-puluh tahun lalu.

Kisah ini menunjukkan bahwa persoalan agama merupakan persoalan kompleks dalam kehidupan masyarakat. Agama merupakan suatu entitas yang berwajah ganda, dimana di satu sisi agama memberikan kebahagian, peradaban, cinta kasih dan  mempersatukan orang-orang dalam ikatan kelompok.

Namun di sisi lain agama juga dapat menimbulkan perpecahan, dimana agama acapkali menjadi sumber konflik dan penegas perbedaan dari satu kelompok dengan kelompok lainnya. Terkait kompleksnya persoalan yang ditimbulkan oleh agama, ada benang merah yang dapat ditarik dari roman Kambing dan Hujan perihal solusi yang ditawarkan terkait persoalan perbedaan yang banyak dilahirkan dari agama, yakni cinta dan kasih. Roman Kambing dan Hujan menunjukkan kepada kita bahwa persoalan agama tidak dapat diselesaikan dengan nyinyiran dan kekerasan semata tapi justru dengan cara persuasif atau kelembutan.

Kisah cinta Miftah dan Fauzia yang didasari atas perbedaan ini mengingatkan kita bahwa perlu dilakukan pendekatan dari hati ke hati, negosiasi dan mediasi terkait perbedaan yang ditimbulkan oleh agama, sehingga prasangka, diskriminasi bahkan konflik dan kekerasan atas nama agama dapat diminimalisir dan mungkin juga dihilangkan. Oleh karena itu, pentingnya memupuk kembali rasa cinta dan kasih serta kelembutan antar semua umat yang sudah semakin menipis stoknya sekarang ini.

Nah, kalau masih bingung bagaimana caranya menumbuh-kembangkan kembali rasa cinta dan kasih itu, maka bacalah cerita Kambing dan Hujan ini. Sambil sesekali dengar lagu seperti Sabyan Gambus ‘Deen Assalam (Agama Perdamaian) mungkin layak dicoba. Mari bersatu dan serukan perdamaian dalam agama!

Scroll to Top