Belajar Bermimpi yang Rasional ala Ulid

Oleh: Nalar Naluri

Kita patut berterimakasih pada Ulid perihal “mimpi”. Ya, kata tunggal terakhir ini telah menjadi satu kata yang mahfum ada pada sebuah kehidupan. Kata itu telah menodong kita dengan bayang-bayangnya penuh ketidaktenangan, bahkan telah ada sejak kita masih kanak-kanak sampai tak mengenal umur.

Ulid telah menampar kita yang suka meletakkan mimpi (cita-cita) setinggi langit yang selalu disertai beban itu, kadangkala tak segan diikuti suara melengking jika menyebutnya, “Mau jadi Guru, Dokter, Astronot, Peneliti, Polisi, Tentara, Anggota Parlemen, Menteri hingga Presiden.” Saya sedang tidak ingin menertawai doktrin kusam dan cara orang-orang melemparkan referensi cita-cita yang telah disebut itu (terutama lima deret terakhir) dengan posisi terpingkal-pingkal. Saya hanya mampu tertegun lesu dan hampir pingsan. Karena betapa pun, telah menyempitkan pandangan manusia, seolah dunia ini mentok di tengah anugerah kesemestaan dalam hal menentukan jenis cita-cita tak berhingga.

Tapi apa yang ditawarkan Ulid soal bermimpi kiranya menjadi penting untuk kita renungkan. Sebab “mimpi” selalu menyertai, bergelayut kemana pun dan di mana pun kita berada. Di rumah di antara keluarga, di sekolah dalam pertanyaan guru-guru, di setiap lingkungan sosial mana saja dan dalam kesempatan apa saja―juga bersemayam dalam tiap-tiap pikiran. “Mimpi”, dapat dipastikan ada di sana, entah dalam bentuk pertanyaan atau berupa lelucon yang kadang menyedihkan jika disodorkan kepada siapa saja.

Karena begitu pentingnya mimpi, kadangkala kita dibingungkan memperlakukan waktu secara bijak. Apakah menerapkannya dengan cara Adam Smith, yang memandang setiap detak jarum adalah uang, sehingga tak ada yang tak diukur dengan bisnis, sekalipun itu menyangkut waktu beribadah pada Tuhan. Atau, mengikuti pepatah lama “Biarkan waktu yang menjawab,” yang secara eksplisit menyerahkan sepenuhnya pada waktu, tanpa ikhtiar, dan bersikap pasrah. Mimpi dan waktu ternyata dua hal tak bisa dipisahkan. Maka dari itu kita dituntut kritis padanya, menyelidikinya, baru setelah itu meraihnya. Kira-kira begitulah tahapan kurang lebih yang bisa dilakukan.    

Dalam kesempatan ini, saya hanya mau bilang, buku ini telah mengajarkan kita cara menghindari menelan mimpi bulat-bulat seperti buah bengkuang pahit dipaksa masuk ke tenggorokan. Atau lebih tepatnya, inilah sebuah panduan bermimpi masuk akal ala Ulid.

Semua umat manusia memang wajib memiliki mimpi. Karena hanya itulah yang mampu membuat kita bisa bernapas lebih panjang, mengevaluasi setiap usaha, menghormati (bukan menghargai) waktu, dan ganjarannya menyongsong sebuah hari indah. Namun bagi Ulid, yang utama dari persoalan bermimpi bukan hanya itu. Melainkan menempatkan irasionalitas dan rasionalitas pada skala kondisi struktural.

Irasional itu bisa dilihat dari seorang Tarmidi (Ayah Ulid) yang penuh harap, agar bisa menyekolahkan Ulid kuliah, menetap di desanya, berkumpul bersama keluarga dan menjadikan Ulid sebagai peneliti pemulia bengkuang. Tapi semua menjadi tak mungkin tercapai saat Tarmidi dirundung kesialan bukan karena sekadar nasib dari Tuhan, tetapi mereka sesungguhnya telah dimiskinkan oleh sistem pasar yang menyebabkan komoditi bengkuang dari Desa Lerok tak laku. Sekali pun kualitas dan rasa terjamin. Atau, penurunan produksi batu gamping yang bergantung pada bahan bakar ranting-ranting kayu dari hutan milik penguasa. Meski kita tahu, hutan diciptakan Tuhan bagi semua mahluk hidup.

Kegagalan Tarmidi dan pupusnya cita-cita Ulid diperhadapkan dengan kenyataan pahit. Mereka dan orang-orang Lerok, sebagaimana masyarakat agraris pada umumnya di seluruh pelosok tanah air. Adalah manusia-manusia yang paling rajin di garda depan, bermodalkan tenaga otot, tidak memiliki tanah yang memadai (kalau pun ada luasnya kurang dari 2 hektar), mereka tak memiliki alat teknologi pertanian canggih, dan akhirnya menjadi buruh tani. Mereka itulah petani-petani marginal, petani gurem, petani yang bahkan tak bisa menyediakan pangan untuk mereka sendiri. Atau dalam bahasanya Henry Bernstein, petani yang bukan lagi petani karena disebabkan oleh penindasan petani substitensi yang mengalami proses diferensiasi kelas.

Dengan masih mengandalkan alat tradisional (minim teknologi) dan energi tenaga otot, mereka menggarap sawah, membakar gamping, dan menggembalakan ternak dengan kondisi mengenaskan. Proses produksi mereka memang tetap ada tapi terbatas. Sekali pun berkualitas dan ada jaminan, semuanya menjadi tidak cukup untuk bisa diandalkan di tengah gempuran rezim pangan internasional, neoliberalisme dan dinamika kelas dalam perubahan agraria.

Tarmidi, adalah sosok ayah yang saleh, suka baca buku, guru madrasah yang tak diakui oleh negara, tetapi ia memiliki kesadaran kelas. Dia bukanlah seorang yang gandrung berpoligami. Dia tipikal setia, istrinya satu, Kaswati. Dalam pengertian kebudayaan setempat (bukan budaya barat) Kaswati masih memiliki kesetaraan yang sehat, sekali pun melakukan aktivitas kasur, dapur, sumur. Hal itu bisa disaksikan saat Tarmidi gagal di perantarauan (Malaysia) dan akhirnya kembali ke Lerok. Kaswati tak segan mengambil alih peran itu (menjadi TKI) dan gantian Tarmidi yang mengurus keluarga di desa (memasak, mencuci, mengurus anak).

Meski di akhir novel, Tarmidi kembali menjadi TKI menebus kegagalannya. Itu berarti Kaswati, Ulid dan Tarmidi bersama menjadi pekerja di Negeri Jiran sebagai tulang punggung keluarga. Sekali pun sama-sama berada di Malaysia, mereka tetap hidup berpisah karena lokasi dan majikan yang berbeda. Mereka harus mengambil cuti bersama jika ingin jumpa, biasanya baru benar-benar terasa saat tiba lebaran Cina. Kondisi keluarga mereka di Lerok tak jauh beda, pasangan Tarmidi dan Kaswati yang masih memiliki 3 anak selain Ulid juga tidak secara utuh bisa hidup bersama. Isnan, anak ke-2, baru saja diterima di SMP, memilih tinggal di rumah mereka. Imron, anak ke-3, masuk pesantren. Terakhir Nisa, masih balita, diasuh oleh kerabat mereka, bude Kartiyem. Mereka pun kehilangan waktu bersama untuk tumbuh di tengah-tengah keluarga lengkap. Masa depan dan kesejahteraan anak-anak itu buram.

Novel ini berlatar periode 80-90an. Sepintas keluarga Tarmidi adalah gambaran semiproletarianisasi karena masih memiliki tanah dan beberapa alat produksi. Namun, kekuasaan Soeharto bukan saja era di mana otorotitarianisme begitu kuat―melainkan kekuasaanya turut menjelma rezim tenaga kerja yang kejam, yang telah membuat Tarmidi dan keluarganya menjadi proletariat tulen. Sebutan “Pahlawan Devisa” disematkan kepada para TKI yang mengadu nasib di luar negeri sama ngerinya dengan sebutan “Pahlawan Kemanusiaan” untuk tenaga kesahatan yang kini menanggulangi pandemi. Kesejahteraan dan keselamatan menjadi barang langka yang mereka peroleh. Bagaimana mungkin kita percaya pada negara memperlakukan para “Pahlawan” jika dalam kenyataan tak ubahnya tumbal murah berupa angka-angka.

Setelah bereksperimen pada Dawuk dengan bualan Warto Kemplung, yang menceritakan kisah Mat Dawuk mirip seorang Macete dilokalkan, yang menghadirkan sosoknya misterius antara fakta-fiksi tetapi menyimpan kearifan yang tak umum bisa diterima khalayak, kemudian pada Kambing dan Hujan kita menjumpai sepasang kekasih berusaha menyatukan cinta di tengah kekolotan keluarga mereka yang bernaung dalam tradisi NU-Muhammaddiyah, maka sekali lagi, Mahfud Ikhwan, telah berhasil membingkai Ulid di dinding retak realitas cita-cita segenap anak bangsa dari kelas bawah.

Saya sepakat dengan Katrin Bandel, yang juga telah memberi pengantar baik pada buku ini. Ulid adalah perbedaan mencolok atas Laskar Pelangi dalam memotret perkembangan bocah-bocah miskin negeri ini. Bagi mereka pembaca dan pemuja keras Laskar Pelangi Andrea Hirata, sebaiknya kudu membaca buku ini, agar seimbang dalam hal menimbang imaji, menakar sebuah mimpi, optimisme, dan mengagumi pusat modernitas (Eropa) yang kerap kali disajikan penuh gembira dalam karya Pak Cik. Dengan Ulid, kita dituntut lebih dalam melihat detail demi detail potret mimpi keseluruhan orang-orang desa, yang tentu bukan cuma Lerok, tetapi barangkali setiap desa yang masih tersisa di Indonesia dengan lengkap.

Mahfud membangun Ulid menggunakan prespektif alternatif, jauh dari gaya popular. Bisa dimaklumi cetakan pertama tahun 2009 oleh Jogja Bangkit Publisher, buku ini tidak dilirik dan laku di pasaran. Tahun 2021, penerbit Shira Media mencetaknya untuk kali ketiga, semoga mendapat perhatian luas. Namun bagiku, Mahfud adalah salah satu penulis progresif dari sebuah pelosok desa yang berada di Pantai Utara Jawa―yang tak mudah lepas dari tradisi, ritual, dan spiritual. Dan dia, juga terus mencoba menghancurkan pelbagai stereotip buruk padanya. Terutama perihal selera musik dangdut, sandiwara radio dan film India yang kerap diasosiasikan ndeso, kampungan, tidak high art, dicurigai tak ada keagungan sublimitas, sebagaimana langgam seni yang diimani para borjuis pada umumnya. Bagi Mahfud, si anak ndeso itu, dangdut, sandiwara radio dan film India sama sakralnya sebagaimana ritual-ritual ibadah lainnya seperti: salat, mengaji, puasa, sedekah, bertani, berladang, hingga menjadi TKI yang mengadu nasib di Malaysia.

Untuk jenis ibadah yang terakhir disebutkan di atas, Mahfud memang seringkali menggambarkan perubahan sosial masyarakat pedesaan (Dawuk maupun Ulid) berbondong-bondong hijrah ke Malaysia karena himpitan ekonomi. Sulit menyangkal kebenarannya. Dua tahun saya pernah tinggal di Lamongan, tentu tak semuanya saya paham pola kebudayaan dan tradisi masyarakatnya. Tapi, di antaranya saya tahu, ada sebuah daerah di sana, dekat dengan bibir pantai, tempat banyak obyek wisata, juga menjadi kampung salahsatu terpidana mati kasus bom Bali―adalah kawasan mayoritas penduduknya merupakan Tenaga Kerja Indonesia yang hijrah ke Malaysia, bahkan telah ada sejak puluhan tahun hingga hari ini.

Buku ini menggambarkan Desa Lerok yang kaya tapi dimiskinkan. Tentang pergulatan jiwa seorang bocah yang beranjak remaja, resah dengan modernitas, menyaksikan laju perubahan sosial dan perubahan lingkungan cukup drastis―yang tak lepas dari determinasi ekonomi neoliberal. Ulid menjadi saksi atas petani yang meninggalkan tanahnya karena hasil panen ditikam oleh permainan pasar, peternak yang akhirnya menyembelih sendiri hewannya atau menjual habis ternaknya karena persoalan perut dan pendidikan, pembakar gamping yang menyerah karena bahan bakar kayu menipis akibat gundukan bukit/tebing kapur menyusut, dan peladang yang terpaksa angkat kaki karena ladangnya dikuasai penguasa atas nama negara. Pendeknya, bila ditafsirkan dalam problematika Ulid, dia seolah ingin mengatakan, “Marilah membangun mimpi dengan penuh sadar diri.”

Ya, mimpi harus dikejar, digapai, dan dipelihara. Tapi ternyata Ulid bukanlah Ikal (tokoh ‘aku’ dalam Laskar Pelangi) yang dengan riang bisa berdendang, “Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia” kemudian ia akan mudah “Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga.” Perkara Ulid pelik. Biasanya tak sedikit orang-orang akan mudah menuduh ini dengan sebutan pesimisme. Walau pun sebenarnya masih ada kata yang lebih pantas dan sopan untuk menyebutnya. Ialah realitas. Akan menjadi adil bila seorang pemimpi meletakkan mimpi bagai Ulid, senang memilikinya tapi juga musti rasional.

Jika membaca Ulid kemudian menganalisa kondisi ketimpangan sosial yang ada saat ini, rasa-rasanya, penderitaan Ulid bukan lagi penderitaan yang hanya akan dialami oleh dia seorang, melainkan nasib yang umum terjadi pada bocah-bocah miskin di Indonesia. Terlebih adanya pandemi yang mengirimi multi krisis seperti sekarang.

Bukan! Bukan mimpi yang gagal, melainkan kapitalisme. Karena dia telah gagal menjadi sebuah sistem yang dapat membikin mekar senyum seluruh rakyat. Dia gagal memberi kebebasan setiap orang yang punya mimpi agung. Dia gagal menghadang sebuah keluarga tercerai berai karena terpaksa menjadi TKI. Dia gagal mempertahankan desa dengan kearifan budaya dan sakralitas alamnya. Dan dia, memang gagal, menyejahterakan rakyat.

Komentar ditutup.

Scroll to Top