Saya mula-mula kuatir dengan situasi politik hari ini. Suhunya panas bahkan sejak kampanye dimulai. Malah jadi makin panas ketika perhitungan suara berlangsung. Prabowo tak percaya dengan hitung cepat. Mengklaim dirinya menang dan tak percaya dengan panitia Pemilu. Didukung oleh barisan ulama ada tuntutan untuk membatalkan Jokowi sebagai calon. Disusul oleh adu pernyataan politik yang memanas hingga kita percaya sebentar lagi akan ada keributan. Para pengamat juga cemas dengan situasi hari ini. Tapi kita beruntung punya pengalaman serupa. Saat Prabowo tak percaya dengan hasil hitung cepat dan dirinya meyakini kalau memenangkan suara.
Semuanya bisa dibereskan melalui komunikasi. Para elite menyerukan agar Jokowi dan Prabowo bertemu. Tak lama kemudian kita melihat PAN disusul Demokrat, elitenya bertemu Jokowi. Bahkan salah satu penggagas Ganti Presiden mengharamkan kampanye itu. Beranggapan kalau kampanye politik itu sudah selesai. Keinginan mereka tampaknya sama, mempertahankan sistem demokrasi. Tak mungkin sistem ini dirampas melalui aksi massa atau tindakan berlebihan para pendukung. Saya juga percaya panasnya suhu politik itu bisa disiram dengan komunikasi. Pada sistem demokrasi tiap aktor diminta untuk mengendalikan diri dan tetap menjunjung sistem yang sudah disepakati.
Hanya kita masih punya sisa persoalan yang bahaya: mengapa politisi kita gampang sekali membawa agama dalam praktek dukung-mendukung? Bahkan mengapa mudah sekali mereka mengutuk demokrasi seakan sistem ini sudah tak layak pakai sama sekali? Ironinya, pertarungan politik membajak akal sehat bahkan melibatkan prasangka, fitnah, dan hoax. Seolah kompetisi politik sebagai usaha untuk merebut kekuasaan melalui cara apa saja dan melegalkan apapun. Sampai-sampai ada yang meyakini kepemimpinan otoriter yang dulu secara mengaggumkan dijalankan oleh Soeharto dianggap sebagai yang terbaik. Terbaik bahkan dibanding saat ini.
Itulah awal mula terbunuhnya Demokrasi. Adolf Hitler di tahun 1933 bangkit setelah Jerman dipukul oleh krisis ekonomi. Presiden Paul von Hidenburg yang dulu adalah pahlawan perang Dunia I berusaha memanfaatkan salah satu pasal konstitusi untuk menunjuk kanselir. Mandatnya bukan saja memerintah tapi berkuasa penuh. Itulah benih lahirnya Hitler. Kombinasi yang hari ini masih kerap dipakai: runtuhnya wibawa partai politik, krisis ekonomi, dan memuncaknya ketidak-puasan masyarakat. Resep yang sama yang membuat Hugo Chavez menang.
Bagaimana Demokrasi Mati karya Steve Levitsky dan Daniel Ziblatt ini memang menyorot Chavez sebagai perusak sistem demokrasi ketimbang pejuang sosialisme. Chavez muncul sesudah Caldera, presiden dari calon Independen, membuka peluang untuk bebas dari penjara kemudian mendukungnya dalam Pemilu.
Buku ini menyamakan tiga pemimpin dalam penilaian yang sama: pembunuh demokrasi. Hitler, Mussolini, dan Hugo Chavez. Mengapa mereka sama? Sebab mereka itu: menolak aturan main demokrasi dengan kata dan perbuatan. Lalu menyangkal legitimasi lawan. Juga mendorong kekerasan. Dan terakhir membatasi kebebasan. Tipe pemimpin semacam ini akan mudah saja untuk membredel pers, menawan para kritikus, hingga mendeligitimasi panitia pemilu. Sesungguhnya contoh yang tepat, kontemporer dan penting adalah Donald Trump. Buku ini secara piawai menyoroti kemunculan Donald Trump pertama kali menuju tahta. Ia yang sedari awal memang figur yang berusaha merusak kepercayaan publik pada sistem. Donald Trump mengawalinya dengan tuduhan keji.
Menyangsikan apa Obama itu memang warga negara AS yang terlahir di Amerika. Bahkan dengan ngawur menyerukan Obama, yang ketika itu menjadi presiden, untuk menunjukkan akte kelahirannya. Sialnya, Trump ini juga menjadi bintang media. Ucapan gila ini menyerang bukan hanya ruang gosip, tapi menyeret dukungan luar para simpatisan Republik. Mereka percaya bahwa 0bama tidak lahir di Amerika. Kalau keyakinan itu hanya meluas di publik tak soal. Namun keyakinan ini meyentuh elite partai Republik. Elite yang juga mendanai sebuah ormas fanatik yang bernama Tea Party. Kelompok politik yang selalu mempertanyakan hak Presiden Obama menjadi Presiden. Salah seorang elite partai Republik, Sarah Palin pesaing Obama dan calon wapres yang kalah, meminta agara Partai Republik ‘menyerap sebanyak mungkin Tea Party’ ke dalam partai.
Itulah masa saat pertarungan dua partai: Republik dan Demokrat jadi pertarungan habis-habisan. Keduanya tidak menyisakan ruang toleransi, tak mampu menahan diri, dan selalu berupaya untuk menaklukkan. Padahal sejarah kedua partai itu dulunya tidak terpolarisasi tajam. Hanya karena perang saudara yang menelan 600.000 nyawa politik mula-mula berjalan dengan keinginan saling mengenyahkan. Tapi keinginan dan momentum tindakan bersejarah untuk mengakhiri diskriminasi membuat tatanan demokrasi pulih melalui tindakan politisinya. Padahal sistem politik yang dibangun membuka peluang untuk tindakan otoriter. Paling tidak kekuasaan di Amerika terbagi dalam enam peyangga sistem: tiga tersedia untuk Presiden (perintah eksekutif, amnesti Presiden, dan penunjukan hakim), lalu tiga tersedia bagi Konggres (filibuster/berdebat panjang lebar untuk menunda pengesahan RUU), kekuasaan memberi nasehat dan persetujuan, serta pemakzulan.
Peluang yang ada tak lain besarnya kekuasaan Presiden. Sampai sampai Bruce Ackermen, ahli hukum, menjabarkan kepresidenan Amerika ‘alat pendobrak konstitusional’. Donald Trump tampaknya memanfaatkan kebesaran kekuasaan presiden untuk melakukan apa saja: mengecam media, mengutuk oposisi, dan tak peduli pada kritik apapun yang dihadapkan padanya. Jadi sistem yang memberi peluang tindakan otoriter ini hanya menyandarkan diri pada kepribadian yang luhur dan itu kebetulan dibuktikan oleh sejumlah negarawan saat itu. Seperti George Washington yang selalu hati-hati menggunakan kewenangannya agar tidak bercampur dengan mandat Konggres.
Hal yang sama dilakukan oleh Presiden Harry S. Truman yang patuh pada keputusan Mahkamah Agung yang menolak perintah eksekutifnya pada 1952 untuk menasionalisasi industri baja setelah terjadi pemogokan buruh. Hal yang sama juga kedudukan presiden untuk memecat Hakim Agung dan mengisinya dengan orang yang loyal kepada presiden. Tapi itu tak dilakukan oleh Presiden AS selama seabad lebih. Donald Trump merusak itu semua.
Trump memecat Comey, direktur FBI setelah tak mau menghentikan penyelidikannya terkait hubungan Trump dengan Rusia. Sepanjang sejarah FBI selama 82 tahun baru kali ini presiden memecat direktur biro khususnya. Juga Trump memecat Jaksa Agung AS, Bharara, ketika dirinya tak mau menghentikan penyelidikan pencucian uang yang melibatkan lingkaran dalam Trump. Singkatnya, Trump menyerang wasit. Itulah pola pembunuhan sistem demokrasi dengan menyerang otoritas penegak hukum. Dianggap berlaku diskriminatif, dituduh loyal pada rezim, dan ujungnya dianggap menjalankan kebijakan menguntungkan penguasa. Pola ini benihnya mulai ditebar pada Pemilu kali ini. Sejumlah kelompok menganggap KPU curang, menguntungkan penguasa, dan minta untuk hentikan penghitungan suara.
Salah satu pembunuh demokrasi yang paling ampuh adalah politisinya sendiri. Adalah politisi yang sengaja memicu polarisasi dengan menyerang secara tajam pihak lawan melalui isu-isu yang tak jelas kebenarannya. Politisi yang meniupkan kepanikan pada warga dengan menebar teror lewat hantu krisis. Krisis ekonomi dan krisis keamanan: dua soal yang diaduk-aduk begitu rupa sehingga membuat publik merasa penting lahirnya pemimpin diktator. Maka retorika yang biasanya diucapkan selalu bohong, bombastis, dan memancing emosi. Serangan yang paling menyolok pada media yang dianggap berpihak dan itu sebabnya terbunuhnya demokrasi ditandai dengan hancurnya media independen. Buku ini mencontohkan sikap permusuhan media selain Trump adalah Hugo Chavez dan Nicolas Maduro di Venezuela dan Rafael Correa di Ekuador.
Apa pentingnya buku ini? Buku ini memberi sajian yang sederhana, ringkas, dan urgen tentang matinya sistem demokrasi yang kini menjadi gejala di beberapa negara. Analisisnya mengenai kepemimpinan Donald Trump membuat kita risau dengan perkembangan di sini. Amerika saja yang tatanan demokrasinya mapan bisa melahirkan pemimpin semacam Trump, apalagi di sini. Sayangnya buku ini tak meluaskan bahasan pada apa yang sebenarnya terjadi di banyak negara yang mengalami krisis demokrasi. Benarkah karena memang munculnya pemimpin diktator atau diabaikannya nilai demokrasi oleh elite politik ataukah memang bangunan demokrasi sendiri mengandung cacat? Terutama untuk Venezuela yang mencoba mencangkokan ide sosialisme yang memang hari ini belum terbukti ampuh tapi cukup memberi pengaruh besar bagi Amerika Latin.
Itu sebabnya buku ini tetap memegang keyakinan normatif akan keutamaan demokrasi. Buku ini hanya mempertahankan dalil kalau demokrasi musti diselamatkan dari munculnya penguasa diktator, tanpa mencoba mengusut bukankah para penguasa diktator itu muncul karena keterbukaan sistem demokrasi? Mereka menang Pemilu, memegang mandat konstitusi, lalu melakukan praktek otoriter. Memang buku ini tak mencoba melangkah jauh tapi sebagai karya perdana tentang matinya demokrasi buku ini seperti memberitahu pada pembaca bahwa di sini situasinya bisa saja terjadi. Demokrasi dibunuh oleh para politisi yang dilahirkan oleh sistem demokrasi. Buku yang bisa membuat Anda waspada pada para diktator yang kini sudah bertebaran di negeri ini. Ibarat ramalan, buku ini memenuhi syarat sebagai buku ahli nujum yang sulit disangkal prediksinya. Jadi bacalah buku ini selekasnya.(*)
Komentar ditutup.