Aksi 11 April 2011 Tolak Uji Coba 7 Meriam
Konflik di Urutsewu tidak pernah reda lantaran klaim atas tanah yang digunakan sebagai lahan pertanian dan area uji senjata TNI-AD. Persoalan semakin rumit karena warga merasa memiliki lahan pertanian ini secara turun-temurun, selain itu mereka dapat membutikan kepemilikan dengan sertifikat Letter C dan Letter D. Sementara TNI-AD sampai hari ini belum bisa membuktikan kepemilikan atas tanah untuk latihan perang, klaim TNI-AD hanya mendasarkan pada RUTRK dan asumsi tanah negara yang telah digunakan sejak jaman Belanda.
Maka setiap TNI–AD berencana melakukan dan melaksanakan latihan mendatangkan protes dari warga masyarakat. Menurut warga setiap mereka latihan, pasti mengganggu dan merusak tanaman milik para petani, sementara akibat kerusakan itu tidak diberi ganti rugi. Warga Setrojenar sendiri menjadi trauma lantaran latihan dan uji senjata ini telah menimbulkan korban jiwa, baik untuk anak-anak maupun petani sendiri, “Ada 5 anak meninggal, dan 2 petani mengalami luka-luka dan cacat, semua tidak mendapat ganti rugi,” terang Kepala Desa Setrojenar, Surip Supangat. Berbagai upaya dilakukan masyarakat untuk menghadang jalan serta mencoba menggagalkan rencana uji coba senjata.
Seperti yang terjadi pada tanggal 11 April 2011, TNI-AD berencana mengadakan uji coba senjata jarak jauh berupa meriam buatan Korea. Senjata armed berupa 7 meriam buatan Korea ini perlu diuji dahulu sebelum dibeli. Sementara pada saat itu, para petani baru usai menanam tanamannya, mereka takut tanaman akan rusak. Malam itu pada 10 Apri 2011, mereka dengan wadah FPPKS berniat menggagalkan rencana uji coba senjata, masyarakat memblokade akses jalan menuju Dislitbang TNI-AD dengan batang pohon dan bambu.
Selanjutnya pada 11 April 2011, ribuan petani memblokir jalan utama kawan menolak rencana uji coba alat utama sistem persenjataan (alutists) TNI-AD. Warga membangun blokade dari bambu dan kayu, mereka juga menghalau truk TNI. 7 Meriam pun berhasil dikepung warga. Untuk meredam situasi Bupati Kebumen Buyar Winarso mengusulkan untuk mengevakuasi senjata dahulu, karena warga bersikukuh menolak latihan TNI, usul itu disepakati oleh Kapolda Jateng yang memahami situasinya.
Penarikan itu berlangsung menegangkan karena ribuan warga mengepung kawasan tersebut dan menghadang jalan-jalan menuju kompleks Dislitbang. Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Langgeng Sulistiyono dan Kapolda Jateng Irjen Edward Aritonang terjun ke lokasi untuk memimpin pengamanan dan evakuasi ketujuh meriam buatan Korea tersebut.
Untuk meredam situasi, malam itu juga digelar dialog antara warga dengan Pangdam IV Diponegoro, Kapolda Jateng. Dialog di Pendopo Kabupaten Kebumen difasilitasi oleh Bupati Kebumen untuk mencari titik temu dan meredam ketegangan yang terjadi.
Pada kesempatan itu pihak TNI-AD menyampaikan maksud hendak melakukan uji coba senjata baru jenis alteleri medan (armed) yang baru saja dibeli. Armed merupakan senjata berat yang digunakan untuk pertempuran jarak jauh. Dan latihan hanya akan dilakukan di lahan Dislitbang. Sementara perwakilan FPPKS, Seniman menyatakan seluruh warga Urutsewu menolak segala bentuk latihan dan akan terus berusaha menggagalkan rencana tersebut.
Pertemuan yang cukup alot ini tidak memperoleh kesepakatan, karena pihak TNI-AD menyatakan latihan tidak bisa ditunda lagi dan akan berlangsung di tanah milik TNI. Apalagi, konsultan alutsista TNI AD dari Korea juga telah datang di lokasi. Ketegangan memuncak karena utusan warga yang berunding keluar ruangan dan menutup pintu utama Dislitbang TNI, didukung ribuan warga yang telah berjaga-jaga sejak pagi di kawasan pantai selatan tersebut. “Kami ingin TNI hengkang. Jadikan Urutsewu jadi lahan pertanian dan agrowisata. Penyelesaian masalah ini butuh campur tangan pemerintah pusat,” kata Seniman.
Serangan Brutal Tentara pada Petani
Pascadialog situasi agak mereda, namun demikian warga tetap melakukan perlawanan dengan tetap memasang blokade dan sepanduk penolakan di berbagai titik jalan desa dan menuju lokasi masuk Dislitbang. Tulisan di spanduk tersebut adalah ‘Urutsewu Jadikan Kawasan Pertanian dan Pariwisata (Harga Mati)’ dan ‘Warga Bersatu Tolak Latihan TNI di Urut Sewu’.
Hari itu Sabtu, 16 April 2011, hari yang tak pernah dilupakan oleh masyarakat di kawasan Urutsewu, khususnya warga desa Setrojenar, kecamatan Buluspesantren. Peristiwa nggegirisi dan mencekam yang tak terlupakan. Diawali pada pagi sekitar pukul 09.30, sekitar 30 orang warga yang tergabung dalam FPPKS hendak mengadakan ziarah kubur ke makam 5 anak yang menjadi korban ledakan mortir pada tahun 1997. Lokasi dari makam ini terletak di desa Godi, Setrojenar, sekitar 400 meter dari kantor Dislitbang TNI-AD. Suasana ziarah berjalan dengan khidmat.
Pada pukul 12.00 WIB, pihak TNI membongkar blokade yang sudah seminggu ini dilakukan warga. Sementara pada waktu itu tentara sedang berlatih di Kecamatan Ambal, jaraknya sekitar 800 meter dari blokade yang dibuat oleh warga, juga berada di desa lain.
Pada pukul 12.30 WIB, warga mulai berkumpul, termasuk rombongan FPPKS yang selesai melakukan ziarah kubur. Mendengar blokade dibongkar, warga berpikir ini adalah provokasi yang dilakukan oleh pihak TNI-AD, lantaran mereka harusnya berlatih di Kecamatan Ambal, tetapi kenapa mereka malahan membongkar blokade di desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren. Akhirnya warga yang terdiri dari para petani yang pulang dari sawah membangun kembali blokade jalan di 4 titik jalan menuju kompleks TNI. Selanjutnya para petani bergerak ke selatan menuju gudang senjata. Di sana mereka merusak pagar tembok bangunan gudang peluru. Bangunan tersebut memang dikenal sebagai tempat menyimpan peluru, tetapi saat ini sudah tidak digunakan lagi untuk menyimpan peluru. Setelah pagar ambruk, warga membentangkan tali dadung, mencoba membuat ambruk bangunan dengan menarik atapnya dengan tali secara beramai-ramai. Tetapi para petani tidak kuat. Aksi para petani kembali berlanjut dengan mendobrak bangunan menara 3 lantai milik TNI-AD yang letaknya didekat Gudang peluru. Menara tersebut sebenarnya dibangun di atas tanah warga.
Pukul 14.00 WIB, hari itu, para petani kemudian balik ke arah utara, kembali menyusuri jalan menuju Kecamatan Buluspesantren. Ternyata di sisi utara TNI-AD sudah berbaris, dengan seragam dan senjata lengkap. Warga tetap tidak takut, dan menganggap TNI-AD tidak mungkin menyerang. Antara warga dengan TNI-AD saling berhadap-hadapan. Sebagian warga kemudian melakukan aksi diam dekat salah satu blokade di Jalan Daendels. Di luar dugaan, ternyata kemudian TNI-AD menyerbu ke arah warga dengan tembakan-tembakan. Warga yang panik kemudian tercerai berlari tunggang langgang.
Selanjutnya terjadi aksi-aksi pemukulan oleh para tentara terhadap petani. Tidak hanya sampai di situ, TNI-AD juga mengejar dan melakukan penyisiran (sweeping). Yang patut disayangkan pada saat kejadian terebut, tak tampak satu pun aparat kepolisian yang turun tangan untuk meredam situasi.
Penembakan terhadap petani ini dilanjutkan dengan beberapa penangkapan terhadap warga dan tokoh masyarakat. Adapun yang tertangkap adalah:
1. Nur Hidayat bin Muchdin (39 th) Warga Dukuh Kuang, Desa Setrojenar Ditangkap oleh tentara, sekitar jam 15.00 Wib. Dia sedang berada di warung milik Dario, sedang wedangan. Ditangkap bersama Paryono dan Muhajir. Nur Hidayat dipukul di pelipis kiri, kemudian ditendang di perut. Selanjutnya tangan diikat dengan tali tambang warna hijau. Baru setelah itu diserahkan ke Polisi
2. Muhajir bin Saia (30 th) Warga Dukuh Kepek, Desa Setrojenar Ditangkap oleh tentara sekitar jam 15.00 Wib. Ditangkap saat sedang ngobrol-ngobrol di warung milik Dario, bersama dengan Nur Hidayat dan Paryono. Dirinya tidak tahu menahu, tiba-tiba tentara memukuli dengan tongkat, kemudian memukul lagi. Tiba-tiba banyak tentara berdatangan, yang kemungkinan habis mengejar warga. Dirinya ditangkap kemudian tangan diikat dengan tali tambang hijau oleh tentara. Tanpa tahu apa-apa. Kemudian oleh tentara dirinya diserahkan ke Polisi.
3. Paryono bin Dullah Afandi (39 th) Warga Dukuh Kepek, Desa Setrojenar Sedang duduk-duduk ngobrol dengan Nur Hidayat dan Muhajir di warung milik Dario. Tidak tahu apa-apa langsung dipukul tentara. Bibir sobek. Tangan diikat dengan tali tambang hijau, kemudian diserahkan ke Polisi.
4. Solekhudin bin Sadir (19 th) Warga Desa Setrojenar Sedang di sawah, menyiram semangka di dekat rumah tingkat 3 milik TNI. Tiba-tiba datang banyak tentara. Dirinya dipukuli secara beramai-ramai. Tentara juga gunakan pentungan untuk memukul. Kepala ditendang dengan sepatu laras tentara. Motor ninja miliknya dirusak. Kemudian dirinya dibawa ke gedung Dislitbang TNI. Di sana kembali dipukuli dan diinterogasi dengan kata-kata kasar. Setiap menjawab tidak tahu, tentara langsung memukul. Salah satu pertanyaan yang diingat adalah – apakah kenal Nur Hidayat dan Imam? Tangan dan punggung lebam-lebam, seluruh badan sakit, kepala pusing. Belakang telinga ada luka kena tendangan tentara.
5. Marifun bin Jumain (31 th) Warga Desa Karangkembang Selama ini aktif mendampingi warga, dari elemen PMII. Langsung ditangkap dan diserahkan ke Polisi, tidak ada penganiayaan. Ditangkap jam 16.00 WIB bersama Imam Zuhdi.
6. Imam Zuhdi bin Muh Samidja (36 th) Warga Dk. Godi, Desa Setrojenar. Ditangkap dan langsung diserahkan ke Polisi
Suara desingan peluru tak henti-henti menimbulkan suasana mencekam dan panik seluruh warga desa Setrojenar. Mereka diam di dalam rumah dalam ketakutan. Belum lagi hilang rasa takut dan was-was mereka, aparat kembali datang di rumahrumah mereka. Benar saja, pada saat itu sekitar pukul 15.0017.00 Wib tentara juga melakukan penyisiran di rumah-rumah warga desa Setrojenar. Penyisiran di rumah penduduk ini dilakukan lagi oleh tentara pada malam hari.
Paska Penembakan oleh Tentara
Sehari setelah penembakan brutal yang dilakukan tentara pada warga sipil yaitu Minggu, 17 April 2012, sekitar pukul 10.00 Wib Polisi melakukan penangkapan terhadap 4 warga desa Setrojenar, yaitu Johan, Adi Waluyo, Solehan, dan Yono. Mereka di bawa ke kantor polisi dan diperiksa bersama dengan warga lain yang telah ditangkap terlebih dahulu.
Dari hasil pemeriksaan pada sekitar sore hari, mereka yang ditangkap mulai dilepaskan. Jadi, ada 7 orang warga yang dilepaskan dengan setatus saksi. Mereka adalah di antaranya Nur Hidayat bin Muchdin (39 th), Muhajir bin Saia (30 th), Paryono bin Dullah Afandi (39 th), Solekhudin bin Sadir (19 th), Marifun bin Jumain (31 th), Imam Zuhdi bin Muh Samidja (36 th), dan Johan. Mereka diperbolehkan pulang, namun sebagai saksi mereka dikenakan wajib lapor seminggu 2 kali ke Kepolisian. Sementara masih ada 3 lainnya yang diperiksa, Solehan sudah dinyatakan sebagai tersangka, sedang Adi Waluyo dan Yono mungkin statusnya menyusul tersangka. Mereka dikenai pasal 170 KUHP.
Meski selama pemeriksaan warga yang diserahkan ke polisi diperlakukan dengan baik, namun dugaan prosedur hukumnya tidak jelas. Lebih aneh lagi, mengapa dalam peristiwa tersebut hanya warga yang diperiksa dan beberapa dijadikan tersangla. Bagaiman dengan warga negara lain yang bersetatus sebagai tentara dan telah melakukan penembakan terhadap warga sipil yang tidak melakukan perlawanan, tapi mereka tidak pernah diperiksa atau diproses oleh pihak yang berwajib. Apakah negara ini milik mereka yang berkuasa atau negara berlaku tidak adil yang hanya berani dan mampu menekan dan menindas rakyat kecil yang miskin dan tak punya apa-apa?
__________________
Artikel ini adalah salah satu hasil dari penelitian Suluh Pergerakan tentang konflik di Urutsewu. Suluh Pergerakan tergerak untuk merekam peristiwa Urutsewu. Niat kami sederhana: pertarungan ini bukan untuk diberitakan. Kami ingin kita semua jadi saksi hidup: rakyat kecil tak selamanya harus tunduk dan mengalah. Mereka memilih untuk setia pada janji konstitusi: rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Suluh Pergerakan ingin jadi ‘saksi sekaligus inspirasi’ bagi kawan-kawan muda yang terus-menerus bergerak, berorganisasi dan bekerja untuk mereka yang selama ini masih ditindas.
Pingback: University of Bilad Alrafidain