Apa Sebab Kita “Sakit” ?

~Penulis : Kawan Martil~

Lemahnya ikatan mahasiswa Indonesia dengan politik dan rakyat di sekitarnya saya alami sendiri. Sebagai seorang mahasiswa yang baru memulai studinya pada akhir Juli 2024 kemarin, saya melihat dengan mata sendiri bagaimana “penyakit menahun” ini masih saja hidup, dan kemungkinan besar akan terus hidup untuk beberapa dekade berikutnya. Pada Agustus lalu, euforia mahasiswa tiba-tiba melonjak. Teman-teman sekelas maupun dari fakultas lain beramai-ramai menggaungkan perlawanan menentang revisi UU No. 10 Tahun 2016 (biasa dikenal dengan nama UU Pilkada) yang bertentangan dengan Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/202 mengenai batas usia calon kepala daerah.

Mendadak saja, euforia itu meredup pada pertengahan dan akhir Agustus 2024. Politik kembali menjadi topik yang tabu dibicarakan di kalangan mahasiswa. Mereka yang sebelumnya ikut menyuarakan “PERINGATAN DARURAT” dan #KawalDemokrasi dalam sekejap menjadi individu yang emoh membahas politik. Mahasiswa memilih untuk hidup di dunianya sendiri sebagai insan-insan yang acuh tak acuh dengan keadaan rakyat di sekitarnya. Terbukti, kesadaran politik di kalangan mahasiswa kita masih rendah. Mahasiswa Indonesia masih saja terasingkan dari politik yang mengatur dirinya dan juga massa rakyat di sekitarnya.

Sudah Sejak Dulu

Sangat miris jika kita menyadari bahwa “penyakit menahun” ini sudah ada sejak Indonesia masih berusia kanak-kanak. Mingguan Pelita Murba edisi 16 September 1951 memuat sebuah tulisan berjudul “Mahasiswa dan Perdjuangannya” karya Z.A. Moenir. Tulisan ini menggambarkan kesadaran politik mahasiswa Indonesia tidak lama setelah KMB disahkan. Pelita Murba sendiri merupakan majalah Partai Murba untuk wilayah Kalimantan dengan Malelo Siregar sebagai redakturnya. Alamat redaksinya terletak di Jalan Ulin (kini Jalan Ahmad Yani) No. 67, Banjarmasin.

Moenir memulai tulisannya dengan membandingkan situasi mahasiswa pada masa Revolusi Agustus ‘45 yang bersemboyan “belajar sambil berjuang” atau “berjuang sambil belajar” dengan masa pasca-KMB yang terangkum dalam motto “mahasiswa ialah mahasiswa dan akan terus belajar”. Selain menekankan arti penting mahasiswa dalam pembangunan negara atau apa yang disebut Moenir sebagai “revolusi politik dan ekonomi”, ia juga melontarkan kritik tajam pada mahasiswa Indonesia yang masih relevan hingga saat ini.

Misalnya, Moenir mengecam para sarjana yang alih-alih mendarmabaktikan diri bagi negaranya, justru memilih untuk menjadi buruh di perusahaan-perusahaan swasta milik kaum kapitalis asing. Ia menulis, “Satu hal jang mengetjewakan lagi dan pula harus diinsjafi oleh para pemuda, terutama mahasiswanja, bahwa disaat jang mahasulit sekarang, dimana semua keahlian dan ketjakapan dibutuhkan Negara kita baik jang berupa teknis maupun politis, banjak kaum tjerdik pandai kita jang melarikan diri kepada kaum modal asing sebagai buruh partikulir”.

Melanjutkan kecamannya, Moenir mengajukan satu pertanyaan. “Apakah pengetahuan diperoleh sesudah menamatkan peladjaran akan dipergunakan untuk individu, atau akan dipergunakan sebagai alatnja modal asing maupun kapitalis bangsa sendiri, atau akan dipergunakan/dibaktikan untuk kepentingan Bangsa dan Negara kita?”, tulisnya. Pertanyaan ini perlu kita refleksikan sebagai mahasiswa Indonesia yang hidup di tengah kejayaan kapitalisme di negeri kita, baik kapitalisme asing maupun bangsa sendiri.

Selanjutnya, Moenir menyayangkan terbentuknya sebuah sekat tak kasat mata antara mahasiswa dengan massa rakyat secara keseluruhan. Mengenai mahasiswa kelas menengah ke atas, ia menulis, “Begitu pula, mahasiswa dengan kedudukannja jang baik dalam soal keuangan, baik dlm djawatan Pemerintahan sendiri maupun djawatan partikulir, mereka kelihatannja bagaikan terpisah dengan MASSA dengan rakjat jang selama ini djadi kawannja jang karib dalam perdjuangan kemerdekaan.”

Adapun bagi mahasiswa yang menderita kesulitan ekonomi, ia menulis “Sebaliknja bagi mahasiswa jang memang kesulitan dalam penghidupan, apalagi mereka jang sudah berumah tangga, pengaruh tekanan ekonomi tadi kelihatannja memang mendjauhkannja dari kedudukannja sebagai mahasiswa dalam satu negara jang ber-revolusi. Dengan begini, mereka seakan-akan terpisah dengan Massa, massa jang mentjiptakan adanja masjarakat mereka sendiri.” Mahasiswa kelas menengah ke atas dibuat terasing dari massa oleh keuangannya yang stabil, sedang mahasiswa kelas menengah ke bawah terasingkan dari perannya sebagai mahasiswa karena kesukaran hidup.

Jauh sebelum kehadiran rezim Suharto dengan kebijakan NKK/BKK yang dibidani oleh Daoed Joesoef, apatisme politik di kalangan mahasiswa Indonesia seolah-olah memang sengaja dipupuk oleh golongan tertentu. Misal, Moenir menulis, “Memang diwaktu jang ahir2 ini seolah2 ada suara jang membisikan atau mungkin pula bisikan dengan tekanan halus supaja mahasiswa hening dari politik.” Lebih lanjut ia menulis, “Mereka sebagai tenaga muda disuruh beladjar sadja dulu dan disuruh menerima atau dihadapkan dgn apa jang telah mendjadi suatu kenjataan sadja”.

Elitisme mahasiswa kita juga pernah disindir oleh seorang mahasiswa dalam tulisannya di Harian Rakjat edisi 12 Desember 1955. Mahasiswa yang berinisial “Win” dari Yogyakarta itu, meski sebenarnya menulis ajakan agar rekan-rekannya memilih PKI dalam pemilihan Konstituante yang diselenggarakan pada 16 Desember 1955, juga menggambarkan realitas di kalangan mahasiswa guna menggerakkan hati mereka.

Pada pengantar tulisannya yang berjudul “Mahasiswa dan Palu Arit” ia menulis, “Saudara, aku sebagai mahasiswa benar2 menjedari sekarang. Menjedari soal2 hidup dan kehidupan. Kiranja tak seorangpun menjalahkan, bila aku mengatakan: ‘Kehidupan mahasiswa mendjadikan iri hati manusia sekelilingnja’. Alangkah mewah, bukan? Aku bangga. Merasa lebih dari sesama. Hari gemilang dihadapanku.”

Win mencoba untuk menyadarkan rekan-rekannya akan realitas para sarjana di masa itu. Sebagian besar mahasiswa masuk universitas karena adanya ikatan dinas. Hanya segelintir kecil saja yang kuliah dengan biaya sendiri. Biaya buku dan kebutuhan hidup lainnya yang mahal membuat banyak mahasiswa terpaksa berhenti kuliah, tanpa adanya jalan terang yang tersedia bagi penghidupan mereka. Dengan kata lain: mereka menjadi pengangguran.

Beberapa tahun kemudian, kesadaran politik mahasiswa Indonesia masih saja rendah. Hal ini dikritik oleh Banggas dalam tulisannya yang berjudul “Memperbaiki Pekerdjaan Partai dikalangan Mahasiswa” dan dimuat dalam Bintang Merah edisi Februari 1958. Sebagaimana dikutip oleh Donald Hindley dalam bukunya The Communist Party of Indonesia: 1951-1963, Banggas menyesalkan bagaimana idealisme (dalam konteks ini, lawan dari filsafat materialisme historis-pen) dan individualisme masih dominan di lingkungan kampus. Dua hal tersebut, yang dipandang oleh PKI sebagai produk alam pikiran kaum borjuis, “meracuni” para pemuda yang baru lulus dari sekolah dengan pandangan progresif (Hindley, 1966, hlm. 196).

Seorang tokoh CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan PKI) mengeluhkan kepada Hindley akan rendahnya kesadaran politik di kalangan mahasiswa Indonesia. Hal ini memaksa CGMI (dan kemungkinan besar juga organisasi-organisasi mahasiswa lainnya) untuk menumbuhkan kesadaran politik di kalangan mahasiswa secara sembunyi-sembunyi (Hindley, 1966, hlm. 197). 

Apa Sebab Kita “Sakit” ?

Tidaklah adil memberi kritik tanpa memahami latar belakang dari fenomena yang dikritik. Pemaparan tadi sudah cukup untuk memberitahu kita bahwa kesadaran politik mahasiswa Indonesia sejak lama memanglah rendah. Watak elitis dari kaum sarjana kita juga sudah menggerogoti kita sejak lama. Namun, kita tidak dapat berhenti di situ saja. Sebagai mahasiswa Indonesia yang hidup puluhan dekade setelah KMB dan pemerintahan Sukarno, kita perlu bertanya apa sebab kelahiran fenomena tersebut dan mengapa ia masih saja hidup hingga sekarang.

Untuk masa Sukarno, Hindley telah memberikan suatu jawaban. Secara garis besar, mahasiswa Indonesia berasal dari kalangan menengah ke atas. Mereka berasal dari keluarga pegawai negeri yang memang tidak melibatkan diri dalam politik praktis guna menjamin karir mereka. Partai-partai yang mereka dukung adalah partai-partai yang besar dan cenderung moderat seperti PNI, PSI, dan Masyumi. Alhasil, mayoritas mahasiswa Indonesia sebagai akibat dari watak kelas mereka, kurang menaruh perhatian terhadap kesejahteraan rakyat di bawahnya dan cenderung tidak berminat untuk mengorbankan kedudukan kelas mereka demi tujuan tersebut (Ibid, 1966, hlm. 198).

Faktor lain adalah melemahnya kekuatan partai-partai politik sejak tahun 1957. Menguatnya Sukarno dan Angkatan Darat sebagai kekuatan politik di akhir dasawarsa kelima mengesampingkan partai-partai politik sebagai pemain politik utama sepanjang era Demokrasi Parlementer, sehingga kaum muda menjadi kurang berminat untuk terlibat dalam partai-partai politik yang ada. Opsi karir yang tidak banyak (selain menjadi pegawai negeri) dan kondisi politik yang kurang stabil menjadi alasan lain para mahasiswa menolak terlibat dalam politik karena khawatir karirnya akan terganggu (Ibid, 1966, hlm. 198).

Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh para pemimpin gerakan mahasiswa yang diwawancarai oleh Hindley pada 1959 dan 1960, gairah berpolitik mahasiswa yang memang lemah sejak lama itu semakin merosot sebab angkatan mahasiswa yang mengikuti Revolusi Agustus ‘45 mayoritas sudah menamatkan kuliahnya pada 1956. Para mahasiswa veteran yang dipandang memiliki semangat politik yang tinggi (tentu tidak semua) digantikan oleh para mahasiswa angkatan baru yang lebih fokus menata karir dan studinya (Ibid, 1966, hlm. 198).

Di masa Suharto, pemerintah memang tidak menghendaki bergeloranya aktivisme politik di kalangan mahasiswa. Mereka memutar otak mencari cara untuk mengendalikan para mahasiswa yang kian lama justru memberontak melawan mereka, terutama saat peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Rezim Suharto menggunakan jurus jitunya: membentuk wadah pengendali. Melalui tangan kanannya, Ali Moertopo, Suharto berhasil mengendalikan berbagai organisasi mahasiswa saat itu (seperti GMNI, HMI, PMKRI, dan lainnya) dengan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) yang secara resmi berdiri pada 23 Juli 1973 (Radjab dan Hariyadi, 2014, hlm. 148).

KNPI saja ternyata belum cukup untuk meredam aktivisme politik mahasiswa. Pada akhir dekade 1970-an, gelombang perlawanan mahasiswa justru bertambah hebat. Tercatat lebih dari 60 Dema (Dewan Mahasiswa) dari berbagai perguruan tinggi bekerja sama untuk melancarkan aksi protes dengan tema yang sama lima tahun sebelumnya, yakni kekuasaan ABRI, ketidakadilan, kekerasan negara, dan ketergantungan pada modal asing serta utang luar negeri (Ibid, 2014, hlm. 94).

Akhirnya, pada 1978, Daoed Joesoef selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan mengganti Dewan Mahasiswa dengan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Kesadaran politik mahasiswa dikebiri. Sarana-sarana berpolitik dikontrol ketat. Mahasiswa, seperti yang dikatakan Moenir dua dekade sebelumnya, dipaksa memegang semboyan “mahasiswa ialah mahasiswa dan akan terus belajar”. Meski saat ini “Orde Baru” sudah berakhir (semoga tidak terlahir kembali), namun penyakit menahun itu masih saja bertahan hingga detik ini.

Marilah Kita Sembuhkan Diri Kita

Sudah saatnya, kaum mahasiswa Indonesia menyembuhkan dirinya dari penyakit menahun yang menggerogoti dirinya selama tujuh dekade setelah kedaulatan negaranya diakui. Seperti yang ditekankan oleh Z.A. Moenir, mahasiswa adalah generasi penerus bangsa yang sebagian diantaranya akan memegang kendali atas jalannya pemerintahan. Sudah sepatutnya mahasiswa menganut semboyan (lagi-lagi saya mengutip Moenir) “belajar sambil berjuang dan hidup di tengah massa untuk belajar”.

Mahasiswa harus menanamkan kesadaran politik yang tinggi dan meleburkan dirinya dengan massa rakyat di sekitarnya agar tidak lagi menjadi suatu kelas yang terasing dan hidup dalam “dunianya sendiri”. Hanya dengan demikian, mahasiswa dapat benar-benar menjalankan perannya sebagai agen perubahan yang tidak hanya bermodal idealisme, tetapi juga pemahaman yang utuh dan kepekaan terhadap kenyataan yang dialami oleh rakyat  yang melahirkannya. Kalau tidak, mau sampai kapan kita sakit?


Daftar Pustaka :

Hindley, Donald. 1966. The Communist Party of Indonesia: 1951-1963. Berkeley: University of California Press.

Moenir, Z.A. “Mahasiswa dan perdjuangannja”. Pelita Murba, Th. 1, No. 24, 16 September 1951, hlm. 6-8.

Radjab, Syamsuddin dan Ade Reza Hariyadi. 2014. GMNI dan HMI dalam Politik Kekuasaan. Jakarta: Nagamedia.

Win. “Mahasiswa dan Palu Arit”, Harian Rakjat, 12 Desember 1955

Penyunting : Michel Aflaq

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0