
Penulis: Daniel Trisakusumo
Sarinah merupakan seorang pembantu sukarela di keluarga Sukarno. Sukarno menganggap bahwa gadis pembantu ini memiliki jasa yang besar dalam membesarkannya sebagai seorang penyambung lidah rakyat. Sukarno pernah mengungkapkan dalam otobiografinya yang berjudul, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, bahwa “Sarinah adalah bagian dari rumah tangga kami. Tidak Kawin. Bagi kami, dia adalah seorang anggota keluarga kami. Dia tidur dengan kami, tinggal dengan kami dan memakan apa yang kami makan, akan tetapi dia tidak mendapat gaji sepeser pun.”
Sukarno tidak hanya menganggap seorang Sarinah sebagai pembantu biasa, akan tetapi lebih dari sekadar itu, Sukarno menjadikan Sarinah sebagai guru yang mengenalkan dan mengajarkan tentang arti cinta kasih. Terutama cinta terhadap rakyat kecil atau jelata. Sukarno teringat saat memasak di gubuk kecil dekat rumah orang tuanya bersama Sarinah, ia kerap memberikan wejangan mengenai cinta kasih. “Karno, yang utama kamu harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian engkau harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia pada umumnya,” ujar Sarinah. Begitu dekatnya hubungan antara Sukarno dan Sarinah, bahkan saat tidur pun sang proklamator tersebut tidak bisa lepas dari perempuan sederhana tersebut. Kemana pun Sarinah pergi, Sukarno kecil itu selalu membuntutinya.
Sarinah tidak hanya menjadi bagian dari kisah roman kehidupan Sukarno saja, tetapi Sukarno menjadikannya sebagai simbol perjuangan bagi kaum perempuan. Dalam perspektif Sukarno, Sarinah adalah representasi perjuangan perempuan Indonesia, perjuangan yang sering kali terpinggirkan dalam narasi besar kemerdekaan. Ia adalah simbol keberanian, ketulusan, dan pengorbanan tanpa pamrih. Sukarno menggambarkan dedikasi perjuangan Sarinah di bukunya berjudul, Sarinah: KEWAJIBAN WANITA DALAM PERJUANGAN REPUBLIK INDONESIA.
Sukarno juga menegaskan bahwa Sarinahlah yang mengajarkan kepadanya nilai-nilai humanisme, feminisme, dan keadilan sosial yang menjadi inti dari ideologi politik yang mengiringi kepemimpinannya.
Namun, dibalik kisah Sarinah, tersirat potret nyata mengenai ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Tidak menerima gaji yang pantas meskipun telah bekerja sesuai dengan waktu operasional merupakan salah satu cerminan dari keterlibatan perempuan yang sering tidak diakui secara ekonomi dan sosial. Hal ini menjadi refleksi mendalam tentang bagaimana struktur patriarki membatasi bahkan tidak memberikan ruang gerak bagi perempuan dalam menorehkan sejarah dan kehidupan sehari-hari.
Pada era modern, semangat Sarinah dapat direnungkan ulang sebagai inspirasi untuk melawan berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi yang menimpa perempuan. Kekerasan dengan dalih gender masih menjadi permasalahan akut yang merenggut hak dan martabat perempuan. Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya meningkat, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan di ruang publik hingga institusi pendidikan. Dalam konteks ini, Sarinah bukan hanya simbol pasif perjuangan masa lalu, tetapi panggilan untuk terus menjaga api perjuangan emansipasi.
Perlawanan terhadap kekerasan terhadap perempuan membutuhkan langkah konkret, langkah tersebut adalah:
1.Pendidikan Kesetaraan Gender: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender untuk mencegah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
2.Penegakan Hukum yang Tegas: Memberikan sanksi berat kepada pelaku kekerasan guna menciptakan efek jera dan memastikan keadilan bagi korban.
3.Perlindungan Bagi Korban: Menyediakan layanan dukungan seperti pendampingan hukum, rehabilitasi, dan perlindungan fisik serta psikologis untuk memulihkan kondisi korban.
4.Membangun Narasi Baru: Mengubah persepsi dengan melihat perempuan sebagai aktor yang mampu membawa perubahan positif, bukan hanya sebagai pihak yang rentan atau korban.
Sarinah mengajarkan bahwa kekuatan seorang perempuan dapat menggerakkan perubahan besar, dan semangat ini harus dihidupkan dalam setiap perjuangan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang adil dan egaliter.
Dalam merawat api perjuangan Sarinah, kita tidak hanya mengenangnya sebagai bagian dari kisah Sukarno saja, tetapi lebih dari itu, kita memaknainya sebagai bagian dari komitmen kolektif untuk melindungi dan memberdayakan perempuan. Sarinah adalah wajah dari emansipasi yang terus menyerukan keadilan, dan semangatnya harus terus kita hidupkan di tengah tantangan modern yang semakin kompleks.
Laki-laki dan perempuan adalah seperti dua sayap dari seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; Jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.
-Sukarno
Ilustrasi: A nutshell