Mendobrak Roda Dominasi: Sebuah Refeleksi Anak Muda atas Kesenjagan Realita, Manipulasi, dan Tokenisme

Penulis Zain N. Haiqal

Bukankah hidup adalah kepastian yang tidak pasti dan berujung dienyahkan dari utopianya sendiri. Karena dewasa ini anak muda dihadapkan pada tirai besar kesenjangan. Ketidakadilan mencengkram seantero negeri secara serampangan. Atau tentang pertanyaan keadilan dan ketidakadilan dari pandangan berbada, apakah keduanya adalah untaian nisbi yang hakikatnya adalah relatif antara kata takdir dan ketiadaan?

Ich hab main Haus auf nichts gestellen, deshalb gehorte mir die ganze Welt katanya Johann Wolfgang Von Goethe atau aku telah meletakan rumahku dalam ketiadaaan, dan itulah kenapa seluruh dunia adalah milikku. Pernyataan ini menggambarkan semangat yang seharusnya dimiliki anak muda: keberanian untuk membangun dari kehampaan dan menjadikannya sebuah dunia yang utuh. Namun realitasnya, anak muda sering kali dihadapkan pada struktur sosial yang membuat partisipasi mereka hampa dan tanpa arah.

Dewasa ini anak muda Indonesia beramai-ramai memulai langkah dan melibatkan dirinya pada perjuangan perubahan progresif secara berkala. Ini ditujukan ketika kembalinya buku dibaca, pemikiran ditukar, pandangan dituangkan, desain diolah, flyer disebarkan, suara dilantangkan, kelompok diorganisir, tokoh-tokoh digali, kaki digerakan, tangan diserukan, ide alternatif diwacanakan hingga tembok dominasi yang membatasinya diruntuhkan, dibakar karena amarah telah meledak-ledak namun nasib yang dirubahnya pun tidak kunjung betemu pada perubahan yang diharapakan sepenuhnya. 

Atau paradoks tentang anak muda yang sukar menuangkan ekspresinya atas probabilitas hidup yang samanya terjadi pada mereka yang telah memulai langkah dan melibatkan dirinya. Entah itu mereka yang secara terus menerus membutuhkan rangsangan dari luar, entah dari kata-kata, entah itu dari orang lain, atau dari pandangan dan juga film-film. Atau dorongan untuk berpergian atau dari bentuk lain berupa kesenangan dari konsumsi yang menegangkan bahkan jika itu lelaki atau perempuan kebutuhan baru sebagai kebutuhan seksual.

Mereka yang ingin didorong, dinyalakan, digoda, atau dirayu. Atau mereka yang berlari dan tidak pernah berhenti, mereka yang selalu jatuh dan tidak pernah bangun. Dan mereka yang membayangkan diri mereka sangat aktif dalam hal apapun. Sementara secara kasat mata, mereka didorong oleh obsesi untuk menyelamatkan diri dari kegelisahan yang timbul ketika mereka dihadapkan dengan diri sendiri. Karena ada dua jenis dorongan terjadi pada seseorang; pertama, jika seseorang bisa tidak punya rasa takut karena ia tidak peduli pada orang lain. Dan yang kedua, jika perasaan tidak takut yang ditemukan dalam diri seorang yang telah berkembang secara penuh.

Dalam keadaan sosial dan politik yang kacau, anak muda sering kali menjadi simbol perubahan. Anak muda dipopor sebagau motor penggerak gerakan progresif dalam bayangan dunia akan menjadi lebih baik. Namun kenyataan berbicara lain. Ketimpangan relasi antara anak muda dan orang dewasa dalam organisasi atau gerakan menciptakan partisipasi yang tidak bermakna, dimana anak muda hanya dilibatkan secara dangkal melalui tokenisme atau bahkan dimanipulasi untuk melayani kepentingan orang dewasa. Di balik ini, keserakahan psikologis dan egosentrisme dari orang yang paling dewasa menjadi akar masalah sebenarnya. Pertanyaan kunci yang perlu dijawab, Apakah orang paling dewasa dalam lingkaran organisasi atau gerakan benar-benar mau berkomitmen untuk menciptakan keterlibatan anak muda secara setara ? Atau keterlibatan anak muda hanyalah buah siasat dari tokenisme dan manipulasi yang dilakukan orang dewasa? Apakah suara anak muda akan dihargai? Apakah kontribusi anak muda akan diakui atau justru anak muda hanya dimanfaatkan oleh aktor lama yang lebih berpengalaman? dan Apakah anak muda mampu memperjuangkan hak mereka untuk berperan lebih besar di tengah dominasi hierarkis yang sering kali ada dalam struktur suatu organisasi maupun gerakan sosial?

Tokenisme dan manipulasi secara sistematislah yang terjadi. Hal ini tidak hanya mencerminkan ketimpangan relasi dan kuasa antara anak muda dan orang dewasa yang ada didalamnya namun juga menjadi representasi dari ketidakadilan yang lebih besar dalam internal organisasi atau sebuah gerakan sosial.  Dalam keberlangsungannya, tokenisme terjadi biasanya ketika anak muda dilibatkan hanya dilibatkan dalam permukaan luar saja, tanpa kesempatan untuk memberikan opini, gagasan atau bahkan memengaruhi suatu keputusan. Entah itu dalam prosesnya ditempatkan hanya mengerjakan hal-hal teknis, mengedepankan hal berdasarkan permintaan atas keahlian bahkan tanpa kompetensi teknis sehingga menciptakan ruang-ruang yang sangat membingungkan. Karena perlu diketahui bahwa tokenisme mengacu pada pelibatan anak muda secara dangkal yang hanya sekedar menciptakan ilusi ketidaksetaraan tanpa memberikan mereka peran yang bermakna sebenarnya.

Tokenisme juga mengacu ketika anak muda diminta hadir dan terlibat dalam acara besar seperti halnya suatu konferensi, festival kerakyatan, diskusi terbuka, atau kampanye alternatif untuk menunjukkan “keragaman” atau “kesegaran” dalam organisasi maupun gerakan sosial. Namun sebenarnya anak muda tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis dalam perencanaan atau evaluasi acara. Sementara itu kenyataan yang terjadi dipermukaan merupakan manipulasi yang sangat problematik. Dimana anak muda digunakan untuk mendukung agenda tertentu tetapi kontribusi mereka hanya sebatas sebagai “alat” tanpa memiliki kontrol terhadap proses atau hasilnya. Sebagai contoh; dalam suatu project yang terafiliasi dengan donor atau filantropi, dimana anak muda dengan sedemikian rupa dimobilisasi untuk menampilkan citra gerakan yang dinamis kepada pihak pendonor sebagai pemberi bensin dalam agendanya, meskipun sebetulnya anak muda tidak memahami atau tidak mendukung tujuan secara hakikatnya.

Fenomena ini banyak terjadi karena aktor lama dalam gerakan sosial dan organiasi masih aktif atau secara leluasa hingga terus menekan atas kontrol relasi kuasa, dan bahakan mereka sering merasa lebih berpengalaman serta menganggap bahwa anak muda tidak memiliki kapasitas untuk mengambil tanggung jawab besar. Kondisi ini lambat laun, perlahan namun pasti akan berhasil menciptakan budaya hierarkis berkepanjangan, dimana anak muda hanya dilihat sebagai “hiasan” yang memperkuat narasi organisasi atau gerakan sosial di mata publik atau pemberi donor.

Para aktor lama ini cenderung hadir untuk memberikan kesan keterlibatan inklusif atau secara setera tetapi substansinya kosong. Tokenisme secara efektif terjadi dan sering kali tidak disadari tetapi dampaknya luar biasa nyata. Dimana ketika anak muda perlahan telah kehilangan kepercayaan, api, dan rasa memiliki atas gerakan sosial atau organisasi yang mereka dukung.

Manipulasi dan tokenisme, di sisi lain, diwacanakan secara terang-terangan. Anak muda digunakan untuk mendukung agenda yang bukan gagasan dan keinginan pribadi mereka meskipun sebelumnya terdapat dorongan dengan satu garis linier berupa visi atau tujuan yang sama. Anak muda dalam manipulasi dan tokenisme ditempatkan sebagai dekorasi untuk menarik perhatian publik namun tidak memiliki kendali atau tanggung jawab atas keputusan yang diambil. Manipulasi ini menciptakan ilusi partisipatif, tetapi sebenarnya melanggengkan dominasi orang dewasa atau aktor lama dalam pengambilan dan membuat keputusan.

Tentunya manipulasi dan tokenisme tidak jauh dari unsur keserakahan. Karena keserakahan adalah kualitas hasrat umum dimana manusia terdorong utnuk mencapai sebuah tujuan tertentu. Keserakahan juga dapat dimotivasi oleh dua hal yakni pertama, ketidakseimbangan psikologis yang menghasilkan hasrat serakah atas makanan, minuman, dan lainnya. Ini dicodongkan oleh sebuh keinginan psikologis ketika keinginan harus terpenuhi, keserakahan itu berhenti kecuali ketidakseimbangan itu mejadi sangat kronis. Kedua, didorong oleh ketidakseimbangan psikologis khususnya adanya kegelisahan, kesendirian, ketidakamanan kekurangan identitas, dan sebagainnya yang semakin meningkat. Karena sifat keserakahan bersifat egosentris yang amat tinggi. Entah itu perasaan atas rasa lapar, haus, hasrat sekesual, dan sebagainya.

Dimana orang yang serakah mengingkan sesuatu untuk dirinya sendiri secara eksklusif.  Maka dari itu, orang yang serakah selalu berusaha mencoba memuaskan hasarat-hasratnya dengan tujuan utnuk memuaskan serta memenuhi tujuan-tujuannya sendiri. Ini jelas ketika berbicara tentang rasa lapar dan haus atau menjadi masalah ketika kita berbicara tentang hasrat seksual dalam bentuk serakahnya dimana orang lain hanya dijadikan sebuah objek pelampiasan hasrat seksual.  Sedangkan dalam perasaan tidak serakah, dimana ada sedikit rasa egosentritas ketika pengalamnan tidak dibutuhkan utnuk melestarikan kehidupan seseorang untuk memenangkan kegelisahan, memuaskan kehidupan seseorang, memenangkan kegelisahan, memuaskan atau menambahkan ego seseorang yang tidak didiamkan dengan tegangang kuat tetapi  atas dorong keniscayaan survival atau bertahan hidup hingga kegelishannya benar-benar berhenti. Manipulasi dan tokenisme adalah ciri dari orang yang serakah.

Orang yang serakah biasanya memeliki dua ciri tersebut. Sedangkan dua ciri tersebut terdapat pada aktor-aktor intelektual mapun non intelektual lama dalam gerakan sosial atau suatu organiasi. Dan biasanya ia juga sosok yang kaya karena ia kosong, ia kuat karena ia merupakan budak dari hasrat-hasrat dan ambisinya, ia bisa dengan mudah merelakan kepergian para berhala-berhala baru paling pintar dan jenius sekalipun, karena ia tidak bersentuhan secara penuh dengan kenyataan, di dalam dirinya sendiri terpatri dengan rapat siasat dan wacana-wacana paling jahat, bengis, dan bejat.

Problem berkepanjangan ini biasanya tidak hanya terletak pada dinamika kondisi sosial dan politik yang kompleks namun pada pemahaman rendah atas teori dan logika kritis untuk menjelaskan kondisi yang sedang dihadapi oleh banyak anak muda  saat ini atas hegemoni dan alienasi disuatu organisasi dan gerakan sosial. Pergulatan eksistensial ini, dengan konsep hegemoninya Gramsci  menawarkan pemahaman atas ‘‘bagaimana kekuatan dominan dapat mempertahankan posisinya melalui pembentukan konsensus dan kontrol budaya yang membuat struktur sosial yang ada tampak wajar dan tidak perlu dipertanyakan. Atau bagaimana pandangan Marx tentang alienasi yang menggambarkan bagaimana individu dapat merasa terasingkan dari hasil kerja mereka, komunitas mereka, dan bahkan diri mereka sendiri dalam sistem yang tidak memberi mereka kendali secara sistematis tanpa terkecuali.”

Kekuatan dominan dalam suatu elemen masyarakat mampu mempertahankan kendali bukan hanya melalui kekerasan atau paksaan, tetapi melalui konsensus yang dibangun dalam budaya serta ideologi.  Dalam konteks ini, gerakan sosial yang ada sering kali didominasi oleh aktor-aktor lama yang lebih berpengalaman. Mereka memiliki pengaruh besar dalam membentuk arah gerakan dan menentukan apa yang dianggap sebagai “benar” atau “perlu diperjuangkan.”

Situasi ketika anak muda datang atau bergabung dengan energi baru dan idealisme yang kuat sering kali merasa terpinggirkan dalam struktur hierarkis ini. Dewasanya, mereka hanya ingin menjadi bagian dari perubahan yang mereka cita-citakan tetapi mereka kerap teralienasi ketika posisi mereka seolah-olah tidak dihargai atau bahkan dimanfaatkan hanya untuk kepentingan pihak-pihak yang lebih berkuasa atau memiliki kuasa.

Pendapat Gramsci bahwa hegemoni bekerja dengan cara menciptakan konsensus.  Konsesi atas sebuah kondisi dimana individu atau kelompok yang lebih lemah dalam suatu masyarakat menerima status quo yang ada secara alami dan tidak perlu dipertanyakan. Dalam gerakan sosial atau suatu organisasi, hegemoni ini dapat dilihat bagaimana cara-cara aktor lama mendominasi narasi, menentukan isu-isu yang harus diperjuangkan, dan mengendalikan bagaimana gerakan atau organisasi tersebut diposisikan di mata masyarakat. Sehingga menyebabkan kondisi dimana anak muda meskipun mereka memiliki ide-ide segar dan inovatif, sering kali tidak memiliki ruang untuk berkembang atau bahkan berbicara dalam ruang gerakan atau organisasi tersebut.

Kondisi dimana anak muda sejatinya telah terperangkap dalam struktur yang sudah ada atau diciptakan dengan skema tertentu. Kondisi yang sering kali lebih mengutamakan kepentingan aktor lama daripada memberi ruang bagi anak muda untuk mengambil perannya secara aktif. Dengan kata lain, dalam banyak gerakan sosial dan organisasi, hegemoni tidak hanya berfungsi untuk mempertahankan dominasi aktor lama tetapi juga menciptakan perasaan bahwa suara anak muda tidak sepenting suara mereka yang lebih berpengalaman. Hal ini menimbulkan pergulatan eksistensial yang dalam di diri anak muda: Apakah mereka benar-benar memiliki tempat dalam gerakan sosial atau organisai ini? Apakah perjuangan mereka dihargai ataukah mereka hanya diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan oleh kelompok atau individu yang lebih dominan? Inilah dilema yang terjadi dan seringkali membuat anak muda terpinggirkan dan menciptakan kondisi jalan buntu atas perubahan. Bahkan dalam ruang yang mereka anggap sebagai tempat yang sangat revolusioner.

 Sementara Gramsci menawarkan pemahaman tentang bagaimana hegemoni dapat menciptakan konsensus yang menekan anak muda maka Marx memberikan perspektif yang juga sangat relevan untuk menjelaskan perasaan alienasi yang sering dialami oleh anak muda dalam gerakan sosial atau organisasi. Dalam teorinya, alienasi Marx menjelaskan bagaimana dalam sistem kapitalisme individu dapat merasa terasing dari hasil kerja dan upaya mereka, dari hubungan sosial yang mereka bangun, dan bahkan terasingkan dari diri mereka sendiri.

Dalam konteks gerakan atau organisasi sosial, anak muda berpartisipasi dalam suatu perjuangan sering kali merasa terasing dari esensi perjuangan itu sendiri. Anak muda tidak memiliki kontrol penuh atas arah gerakan atau hasil dari upaya kerja-kerja kolektif mereka yang sering kali mengarah pada rasa frustrasi dan kehilangan tujuan. Alienasi ini muncul meskipun anak muda bekerja keras untuk mencapai suatu tujuan bersama namun mereka sering kali tidak memiliki kendali atas keputusan-keputusan yang diambil dalam gerakan atau suatu organisasi. Mereka hanya berperan sebagai bagian dari suatu mesin besar, yang memproduksi perubahan, tetapi mereka sendiri tidak dapat merasakan atau menikmati hasil dari perubahan tersebut.

Dalam beberapa kasus, mereka bahkan merasa bahwa kontribusi mereka tidak dihargai dan hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh kelompok atau individu lama yang lebih berkuasa. Fenomena ini sangat terkait dengan teori Marx tentang alienasi dalam proses produksi. Dalam sistem kapitalis, bagaimaan para pekerja merasa terasing dari hasil kerja mereka karena mereka tidak memiliki kontrol atas cara produksi atau distribusi hasil kerja mereka. Dalam gerakan sosial atau organisasi, anak muda yang terlibat dalam perjuangan kolektif sering kali merasakan hal yang sama. Meskipun mereka bekerja seribu kali lebih keras, mengorbankan waktu dan tenaga yang dipunya, dan mereka telah berjuang dengan semangat tinggi hingga titik batas melampaui kata cukup.

 Dengan demikian dengan teralienasi mereka merasa bahwa suara dan kontribusi mereka tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap arah gerakan gerakan sosial atau organisasi. Mereka merasa seperti bagian dari sistem yang lebih besar namun upaya yang diberikannya tidak memberi mereka kebebasan untuk mengendalikan takdir mereka sendiri.

Bagaimana anak muda dapat mengatasi pergulatan eksistensial ini? Bagaimana mereka dapat menemukan suara mereka di tengah dominasi aktor lama dan menghindari perasaan alienasi dalam gerakan sosial atau suatu organisasi? Salah satu cara untuk mengatasi hegemoni adalah dengan membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya kesetaraan dan partisipasi aktif dalam setiap aspek gerakan. Anak muda perlu menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan untuk mempengaruhi arah gerakan sosial atau orgnasisai jika mereka dapat bekerja sama, menyuarakan pendapat mereka, dan tidak takut untuk mempertanyakan struktur atau kondisi yang berlangsung. Mereka perlu menemukan cara untuk membangun solidaritas dan aliansi dengan sesama generasi muda, yang mungkin juga merasakan hal yang sama tentang ketidakadilan dalam hierarki gerakan sosial atau organisasi yang terjadi didalamnya.

Selain itu untuk mengatasi alienasi yang terjadi atau belum terjadi, anak muda perlu berjuang agar suara mereka didengar dan dihargai. Mereka harus berani untuk menuntut agar kontribusi mereka diakui dan bahwa mereka memiliki kendali atas proses perubahan. Ini mungkin membutuhkan mereka untuk mengambil peran yang lebih besar dalam pengambilan keputusan, untuk memastikan bahwa gerakan sosial atau organisasi bukan hanya milik aktor lama tetapi juga milik mereka, dengan visi dan tujuan mereka sendiri.

Sebagai kesimpulan, anak muda dalam gerakan sosial atau organisasi sering kali menghadapi pergulatan eksistensial mendalam yang dipicu oleh dominasi hegemoni dan alienasi secara struktural. Untuk bisa keluar dari situasi ini, mereka harus berani melawan dominasi dan mendobrak relasi kuasa tersebut dengan membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya inklusivitas dan keadilan, serta memperjuangkan hak untuk memiliki suara dalam perubahan yang mereka cita-citakan.

Dengan demikian, jika anak muda tidak akan berperan lebih jauh dan dijadikan sebagai alat dalam gerakan sosial atau organisasi maka maklumat dari Monsieur Dupont yang sangat dapat diadaptasi oleh anak muda dalam gerakan sosial atau organisasi yakni;

Kesimpulan, pergulatan eksistensial anak muda dalam menghadapi dominasi hierarkis, manipulasi, dan tokenisme di dalam gerakan sosial atau organisasi. Anak muda sering kali dijadikan alat tanpa suara yang bermakna, terjebak dalam hegemoni dan alienasi struktural yang mengaburkan tujuan perubahan progresif yang diharapkan. Tokenisme dan manipulasi adalah bagian dari realita yang telah menjadi wajah nyata dari ketimpangan kekuasaan, dimana peran anak muda hanya diposisikan sebagai dekorasi belaka untuk melayani agenda pihak yang lebih berkuasa.

Untuk mengatasi tantangan ini sangat diperlukan kesadaran kolektif, solidaritas generasi, dan keberanian melawan dominasi diperlukan. Anak muda harus menuntut partisipasi setara dalam pengambilan keputusan, membangun ruang-ruang dialog kritis, dan berani mempertanyakan struktur hierarkis yang tidak adil. Dengan demikian, mereka dapat memulihkan makna perjuangan, memastikan suara mereka diakui, dan menciptakan perubahan yang lebih inklusif.

Hingga akhirnya, keberhasilan perubahan tidak terletak pada reproduksi dominasi lama, melainkan pada upaya anak muda untuk membangun gerakan yang adil dan egaliter. Dalam perjalanan mencapainya diperlukan keberanian untuk mandiri, fleksibilitas dalam berkomitmen, dan sikap kritis terhadap narasi-narasi dominan menjadi kunci mendobrak roda dominasi dan menciptakan arah baru menuju keadilan bagi anak muda sebagai perubahan yang sejati.


Referensi:

  1. Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. International Publishers, 1971.
  2. Marx, Karl. Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Penguin Classics, 1975.
  3. Goethe, Johann Wolfgang von. Faust. Oxford University Press, 1998.
  4. Arnstein, Sherry R. “A Ladder of Citizen Participation.” Journal of the American Institute of Planners, vol. 35, no. 4, 1969, pp. 216–224.
  5. Tarrow, Sidney. Power in Movement: Social Movements and Contentious Politics. Cambridge University Press, 2011.
  6. Wacana kolektif dari Manifesto Pemuda Asia-Afrika. Diterbitkan oleh Sekretariat Forum Pemuda Asia-Afrika, 2015.
  7. Festivalist. “Mesin.” Antologi Puisi Festivalist, diterbitkan secara mandiri, 2021.
  8. Budiman, Arief. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0