Manusia R(uang)

Penulis: Habib An Nuwas

Manusia bisa menjadi ruang atau perabotan. Seperti kata Mbah Nun di atas, mungkin kita terlalu sibuk untuk menjadi perabotan di “ruang” ini. Ditambah lagi lupa, atau memang tidak mau menjadi ruang bagi makhluk lainnya. Seperti pemimpin negeri ini, sibuk untuk menjadikan dirinya dan sanak saudaranya sebagai perabotan. 

Padahal seorang pemimpin, “Aku”-nya bukan lah dirinya lagi, namun di negara ini adalah dia. Seperti halnya ketika ada warga yang kesakitan perutnya karena lapar, seorang pemimpin pun juga merasakannya, karena warga yang kelaparan adalah bagian dari “Aku”-nya. Seharusnya “Aku”-nya dia adalah ruang untuk menampung dan merawat orang-orang yang ia pimpin, bukan malah sebaliknya.

Saya memandang negara ini dalam masalah terlalu banyaknya perabotan, dari petinggi publik yang seharusnya menjadi ruang, maupun masyarakatnya yang saling sikut untuk berebut r[uang]. Masyarakatnya? Iya, masyarakatnya tak jauh berbeda dengan pejabat mereka. Entah mereka seperti itu karena mendapatkan contoh dari para pejabat negara, atau memang watak masyarakat di negara kita memang seperti itu. 

Saya akan beri contoh kecil yang membuat saya jengkel belakangan ini. Pada hari itu saya berangkat Jumatan ke masjid dengan sepasang sandal jepit yang baru kemarin ku beli. Setelah beribadah, saya pun keluar dan mendapati sandal jepit saya sudah tinggal kenangan saja. “Ini mah sudah pasti sengaja ngambil sendal saya” pikirku. Bagaimana saya bisa tahu? Ya karena yang tersisa hanyalah sanda-sandal yang sudah usang. Akhirnya saya memutuskan untuk nyeker pada saat pulang dari masjid. 

Itu hanya satu contoh kecil yang ironisnya banyak terjadi di masjid, tempat di mana kita anggap suci. Dan dari tempat ini juga banyak fenomena-fenomena kecil yang menggambarkan se-perabotan itu masyarakat kita. Misalnya makanan Jumat berkah, tak jarang kita menjumpai orang-orang rakus yang mengambilnya awur-awuran, membuat orang lain tidak mendapatkan jatah. Maka dari itu saya tak heran pada suatu waktu Mbah Nun pernah marah dengan mengatakan “orang Indonesia ini, yang di cari cuma bati (untung) saja.”

Menjadi kelas bawah di negeri ini sangatlah sulit menurut saya, karena tak hanya kita dirampok dari atas (para bejatbat-bejatbat itu), namun juga di rampok dari kalangan kawan yang senasib juga. Ada yang mengatasnamakan rakyat kecil, namun hidupnya tak ada yang kecil, mengatasnamakan rakyat miskin, namun hidupnya mengeksploitasi orang miskin, membicarakan kelaparan rakyat kecil di mobil mewah penuh Ac dan Mcd di mulutnya.

Mencari untung tidaklah salah, tapi mencari untung sampai orang lain buntung, itu salah. Atau malah keuntungannya saat melihat orang lain buntung? Mungkin saja.

Ketika semua orang berusaha mati-matian menjadi perabotan, maka tak heran tanah ini penuh sesak dengan senggal nafas furniture murahan.


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0