Di pagi yang bisu
tenang berkumandang
di bawah langit itu mendung
bersama jiwa-jiwa berkumpul
membawa beban luka
berdetak di pembuluh hati
Seperti daun kering
waktu telah merekam
begitu cepat tuan itu waktu
jarum jam berjalan mencekik
2 dekade lebih 4
tersengal-sengal dalam amsal
tersapu dalam birama
dentum rima rima kependaran
mereka yang berdiri
mereka yang bersandar
mereka yang tertatih
mereka yang kosong
mereka yang muram
mereka yang menangis
mereka yang pasrah
mereka yang tragis
mereka yang keruh
mereka yang pudar
mereka yang guram
mereka yang keruh
mereka yang hilang
mereka yang pendar
mereka yang palsu
mereka yang sulut
pada harap yang mulai rabun
Wahai tanah, saksi bagi kendara ribuan raga
kering merontong
subur ilalang
tuai tangisan
itu pengasingan
Wahai udara, kau hembuskan paksa panas ditengah hujan
adakah kau dengar
adakah kau menyaksikan
dimana peluru tiba-tiba melompat
dari bibir senjata
atau jeritan dan rintih hati bertasbih nisbi yang tak henti.
Sungguh, mata sudah terbelalak
tangan memohon
jiwa tercekik
mengantung pada khendak
bebaskan!
lepaskan!
tanggalkan!
tentara-tentara bajingan!
kami memohon belas kasihan pak Tentara yang berlagak Kudus dan Mulia
Pak Tentara,
ini kesalahan
ini tak pantas
ini dangkal akal
melawan Sang Esa
hanya ia yang maha mengetahui
maha pemberi pengampunan
yang maha membolak balikan hati, kebenaran, dan kasih di muka bumi. Bukan engkau pak Tentara!
Sungguh, mata sudah terbelalak
tangan memohon
jiwa tercekik
mengantung pada khendak
bebaskan!
lepaskan!
tanggalkan!
tentara-tentara bajingan!
kami memohon belas kasihan pak Tentara yang berlagak Kudus dan Mulia
Pak Tentara,
ini kesalahan
ini tak pantas
ini dangkal akal
melawan Sang Esa
hanya ia yang maha mengetahui
maha pemberi pengampunan
yang maha membolak balikan hati, kebenaran, dan kasih di muka bumi. Bukan engkau pak Tentara!
Kami memohon hanya untuk hidup sebagai manusia. Selayaknya manusia.
O, anak-anak dari bijih hampa kasih
pintu kekuasaan bisu dan bebal
sungguh mereka bukan pengkhianat, tapi dikhianati
merekalah raga-raga pencari kebenaran
merekahlah jiwa-jiwa penuh nur kasih!
niscaya kebenaran menguatkan.
Meski tangan mereka kencang menggenggam senjata, menodongkan ke kepala, membusungkan dada, menelan perintah dan menutup lubang telinga, menembakan pelurunya membabi buta, berteriak menghina penuh ancaman, secara acak, mereka serentak tutup mata dan hati serapat-rapatnya!
Ah, anak anak dan adik-adik kami kini bertanya-tanya mengawang, mengumam.
“di langit itu, aku telah melihat bayangan suram. truk-truk melaju. membawa tubuh-tubuh pendahulu;keluarga;kerabat dan orang tua kami yang telah mati di dalamnya. Bukan oleh peluru, bukan oleh pedang, melainkan oleh udara. udara yang disalahkan, udaralah yang menjadi kambing hitam keadilan”.
Wahai angin Tak Bai! bawa dan antar pesan kami ke nirwana. Melalui kuasanya, dalam ampunan kepada-Nya, Tuan dan nona diam termanggu di balik awan, keheranan.
Wahai angin Tak Bai, katakan pada mereka bahwa mereka tak mati sia-sia! bahwa mereka hanya kembali ke rahim keabadian. mereka hanya tercekik tangan kekuasaan. saksi bisu atas luka bangsa Thai selatan, barangkali mereka tersengal buruknya dunianya. Namun mereka sungguh hidup, sungguh paling hidup, dalam setiap hembusan napas yang kita hirup. dalam setiap doa yang kita telah panjatkan. dalam setiap bisikkan di ujung malam. dalam setiap kalimat yang telah kita tuliskan.
Di tanah terbakar ketidakadilan. aku melihat reruntuhan jiwa-jiwa mulia. namun dari abu itu, niscaya akan tumbuh pohon baru, yang akarnya dalam, di bumi kebenaran. Yang daunnya melambai-lambai ke arah langit pengampunan.
Wahai Tak Bai, engkau menjelma bagi luka terpendam, dalam! engkau seperti nyala api menyulut-nyulut, membakar dendam, mengobarkan perlawanan, menguatkan solidaritas dan persatuan yang tak pernah padam, dalam hati-hati mereka yang tegak berdiri merindukan keadilan!
—Yogyakarta, 2024
Editor: Imanda Zahwa
Ilustrasi: A nutshell