Memahami Lonceng Kematian Ekosistem

Penulis: Zain N. Haiqal

Perubahan iklim semakin memperlihatkan dampak nyata di seluruh penjuru dunia, dari suhu yang semakin meningkat, hari-hari yang kian terasa panas,musim hujan yang datang berangsur-angsur telat dari biasanya.

Fenomena ketidaksetaraan cuaca secara ekstrim hingga serangkaian bencana alam yang mengguncang kehidupan manusia dan alam. Apa yang kita saksikan hari ini merupakan akumulasi dari aktivitas manusia yang mengubah keseimbangan alam selama beberapa dekade terakhir.

Cuaca ekstrem ini melahirkan bencana seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan yang tengah menjadi ancaman berkelanjutan, sementara wilayah Kutub Utara dan wilayah-wilayah lainnya mengalami perubahan besar yang mengancam habitat makhluk hidup dan keberlangsungan ekosistem global, termasuk peradaban manusia.

Data terbaru dari laporan European Union’s Copernicus Climate Change Service,  menunjukkan bahwa rata-rata suhu global meningkat 1,61°C di atas ambang batas aman hanya dalam satu tahun terakhir.

Pada April 2024, Data Copernicus telah mencatat bulan ini sebagai bulan terpanas dalam sejarah, dengan suhu rata-rata global mencapai 15,03°C. Ini adalah lonceng peringatan yang harus diperhatikan dengan serius. Lonjakan suhu ini mendorong frekuensi dan intensitas hujan ekstrem di beberapa wilayah tropis, seperti Indonesia, dan meningkatkan risiko bencana alam. Tren ini menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan lagi sekadar fenomena jauh, tetapi sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi segera.

Sejarah mencatat banyak sekali bencana alam yang terjadi dalam 100 tahun terakhir, saya berupaya merangkumnya sedikit untuk mengingatkan kesadaran bahwa anda berada ditanah luas yang beririsan dengan bencana atau natural catastrophic disaster seperti halnya gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, hingga badai dahsyat yang dapat datang sewaktu-waktu.

Meskipun bencana alam akan datang secara alami, kapanpun dan dimanapun, namun kita perlu merefleksikan dimana natural catastrophic disaster besar adanya terjadi lebih cepat akibat kegiatan-kegiatan dan perilaku manusia yang sangat aneh. Mengapa saya tidak mengatakan perilaku manusia telah menyimpang atau rusak secara eksplisit, ini dikarenakan perilaku ‘’aneh’’ manusia terjadi atas dorongan ketidakpastiannya atas waktu dan ketakutan untuk merubah keadaaan dalam kekangan zaman. Ya, benar, zaman Kapitalosen dan whatever you said so..  

Karena setiap bencana ini mengingatkan kita betapa rapuhnya kehidupan manusia di tengah kekuatan alam yang maha dahsyat. Dahulu 1 abad lewat 1 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1923, Gempa Bumi Tokyo terjadi dan menelan sekitar 140.000 korban jiwa dan memicu kebakaran besar yang menghancurkan kota di seantero Jepang.

Kehancuran Yokohama setelah diguncang Gempa Bumi dan Topan 1923.
 Sumber: Domain Publik

Lalu, Gempa Bumi yang mengguncang Chile pada 1960 merupakan yang terbesar yang pernah tercatat, dengan kekuatan magnitudo 9,5 sehingga  yang memicu tsunami yang melanda negara-negara di sepanjang Samudra Pasifik. Gempa bumi terjadi pada pukul 3:11 siang sekitar 100 mil (160 km) di lepas pantai Chili, sejajar dengan kota Valdivia. Secara umum, guncangan tersebut disepakati berkekuatan 9,5, meskipun beberapa penelitian secara bergantian mengusulkan bahwa kekuatannya mungkin 9,4 atau 9,6. Serangkaian gempa terjadi sebagai pendahuluan pada hari sebelumnya telah memperingatkan akan terjadinya bencana; satu gempa, berkekuatan 8,1, menyebabkan kerusakan besar di Concepción.

Sumber pergeseran patahan gempa bumi meluas hingga sekitar 560–620 mil (900–1.000 km) bentangan Lempeng Nazca, yang tersubduksi di bawah Lempeng Amerika Selatan. Karena gempa bumi terjadi tepat sebelum revolusi teknologi seismologi pada tahun 1960-an, angka-angka ini sebagian besar didasarkan pada analisis post hoc.

Bangunan  rusak akibat gempa bumi dan kebakaran di  Castro, Pulau Chiloé, setelah gempa bumi Chili 22 Mei 1960. Sumber: Pierre St. Amand/National Geophysical Data Center

Di Haiti, pada tahun 2010, gempa bumi juga menyebabkan lebih dari 160.000 korban jiwa terdampak. Gempa dengan mudah meluluhlantakkan infrastruktur, dan menciptakan krisis kemanusiaan yang berkepanjangan.  Haiti memang memiliki sejarah aktivitas seismik—gempa bumi yang menghancurkan pernah tercatat disana pada tahun 1751, 1770, 1842, dan 1946. Pulau Hispaniola yang dibagi Haiti dengan Republik Dominika, sebagian besar terletak di antara dua lempeng tektonik besar yaitu Lempeng Amerika Utara dan Lempeng Karibia. 

Ibu kota Haiti, Port-au-Prince, hampir berada tepat di atas garis patahan ini. Meskipun telah ada pengetahuan dan peringatan dari ahli seismologi bahwa gempa lain kemungkinan terjadi dalam waktu dekat, kemiskinan di negara tersebut membuat infrastruktur dan layanan darurat tidak siap menghadapi dampak dari bencana alam.

Gempa bumi pada 2010 terjadi tepat sebelum pukul 5 sore. Getaran dirasakan sejauh Kuba dan Venezuela, tetapi episentrum gempa berkekuatan 7,0 skala Richter ini hanya berjarak sekitar 16 mil dari Port-au-Prince. Delapan gempa susulan terjadi pada hari yang sama, dan setidaknya 52 gempa susulan lainnya tercatat selama dua minggu berikutnya. Dampaknya sangat menghancurkan. Semua rumah sakit di ibu kota, serta tiga fasilitas yang dikelola oleh Dokter Tanpa Batas, mengalami kerusakan serius, begitu juga dengan bandara Port-au-Prince dan pelabuhannya yang tidak bisa digunakan lagi. Layanan telekomunikasi sangat terganggu, jalan-jalan utama menjadi tidak dapat dilalui, dan hampir 300.000 bangunan, sebagian besar adalah tempat tinggal, mengalami kerusakan yang tak dapat diperbaiki. Gedung Majelis Nasional dan Katedral Port-au-Prince juga hancur.

Ibu dan Anak termanggu di puing reruntuhan Gempa di Haiti 2010.
Sumber: Hisotry.com

Sementara itu di Indonesia gempa bumi di Sulawesi Tengah pada tahun 2018, diikuti oleh tsunami dan likuifaksi yang merenggut sekitar 4.340 nyawa. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dalam catatan tempo.co, gempa tersebut berkekuatan 7,7 skala Richter dan berpusat di 0,18 Lintang Selatan dan 119,85 Bujur Timur atau 27 kilometer timur laut Donggala.  Setiap peristiwa ini menunjukkan bagaimana bencana alam yang terjadi dalam hitungan detik dapat menghancurkan kehidupan ribuan orang dan menimbulkan kerugian yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk pulih.

Footage Udara Likuifaksi di Palu.
Sumber: Antara Foto

Bencana alam lainnya yang menjadi bukti nyata dampak perubahan iklim adalah tsunami. Tsunami Samudra Hindia pada tahun 2004, yang disebabkan oleh gempa berkekuatan 9,1 di lepas pantai Sumatera, Indonesia, adalah salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah modern. Tsunami ini menelan sekitar 230.000 korban jiwa di 14 negara, dengan dampak terbesar di Indonesia, Thailand, dan Sri Lanka. Pada tahun 2011, tsunami besar melanda Jepang akibat gempa berkekuatan 9,0, yang menghancurkan kota-kota di pesisir timur Jepang dan memicu krisis nuklir di Fukushima. Tsunami ini merenggut sekitar 20.000 nyawa, menghancurkan infrastruktur, dan meninggalkan kerusakan yang memerlukan waktu puluhan tahun untuk dipulihkan.

Seorang pria berdiri di tengah reruntuhan dampak dari Tsunami Samudra Hindia 2024
Sumber: KOMPAS

Letusan gunung berapi juga menjadi bencana alam yang sering kali berdampak besar pada lingkungan dan iklim.

Letusan Gunung Vesuvius pada tahun 1944 merusak kota-kota di sekitar Napoli, Italia, dan menjadi peringatan bahwa gunung berapi masih aktif dan dapat meletus kapan saja. Vesuvius menyemburkan kehidupan lagi pada awal 1944 setelah vakum lama, gunung itu mengeluarkan asap dan abu serta memuntahkan lava di dalam kaldera; lava pertama kali mengalir menuruni lereng barat menuju Naples pada 17 Maret.

Beberapa hari berikutnya, gemuruh, raungan, dan getaran tanah terjadi, saat lava, tefra, dan bom vulkanik dikeluarkan dari kawahnya. “Suara itu persis seperti tembakan artileri,” tulis seorang jurnalis dari New York Times yang mungkin lebih terbiasa meliput perang, pada 20 Maret. Dua hari kemudian, ia menggambarkan serangan lava dari kota Cercola: “Meluluhlantakkan San Sebastiano dan Massa di Somma di depan yang semakin meluas, meskipun umumnya melambat, aliran lava Vesuvio malam ini telah mengakibatkan evakuasi kota ini yang berpenduduk 7.000 jiwa, dua mil ke arah barat laut.”

Setelah invasi Sekutu ke Italia pada musim gugur 1943, pasukan AS dan Inggris maju ke utara dari titik-titik pendaratan di Salerno dan merebut Naples serta wilayah sekitarnya, tetapi pertempuran masih berlangsung di utara. Dengan pemerintahan Italia yang kacau, militer AS yang mengambil alih komando keselamatan publik dan evakuasi. Sebuah analisis dalam Journal of Historical Geography edisi Januari 2007 menyimpulkan bahwa “meskipun ada banyak masalah akibat perang, manajemen darurat oleh Komisi Kontrol Sekutu pada saat itu sangat mengesankan dan memberikan pelajaran penting tentang cara-cara bagaimana letusan dapat ditangani di masa depan.”

Gunung Vesuvius meletus pada bulan Maret 1944, tujuh bulan setelah invasi Perang Dunia ke II ke Italia.
Sumber: National Archive

Di Amerika Serikat, letusan Gunung St. Helens pada tahun 1980 menewaskan 57 orang, menghancurkan hutan-hutan di sekitarnya, dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar.

Ledakan dahsyat, Gemuruh, dan Asap Erupsi Gunung St Helens 1980.
Sumber: Austin Post

Letusan Gunung Pinatubo di Filipina pada tahun 1991 adalah salah satu letusan terbesar di abad ke-20. (untuk pertama kalinya dalam 600 tahun) dan menyebabkan kehancuran yang luas. Gunung Pinatubo terletak sekitar 90 km (55 mil) barat laut Manila dan memiliki ketinggian sekitar 1.460 meter (4.800 kaki) sebelum meletus. Setelah dua bulan mengeluarkan emisi dan ledakan kecil, serangkaian ledakan besar dimulai pada 12 Juni. Ledakan-ledakan ini mencapai puncaknya pada 14-16 Juni, menghasilkan kolom abu dan asap setinggi lebih dari 40 km (28 mil), dengan debris batu yang jatuh sejauh jarak yang sama dari gunung berapi. Hujan abu yang dihasilkan membuat sekitar 100.000 orang kehilangan tempat tinggal, memaksa ribuan orang lainnya untuk melarikan diri dari daerah tersebut, dan menyebabkan 300 kematian. Beberapa minggu setelah letusan, ratusan orang lagi meninggal akibat penyakit di kamp-kamp evakuasi. Hujan abu tersebut memaksa evakuasi dan penutupan akhirnya dari Pangkalan Angkatan Udara Clark. Abu vulkanik dari letusan ini menyebar di atmosfer dan mengurangi suhu global sekitar 0,5°C, menunjukkan bahwa letusan gunung berapi memiliki dampak signifikan pada iklim. 

Pada tahun 2010, letusan Gunung Eyjafjallajökull di Islandia memicu gangguan besar pada perjalanan udara di Eropa selama berminggu-minggu akibat awan abu yang menyelimuti langit.

Guntur dan Petir di Gunung  Eyjafjallajökull saat Erupsi 2010.
Sumber: Visit Iceland

Badai dan topan juga semakin intens akibat pemanasan global. Pada tahun 1970, Topan Bhola melanda Bangladesh dan menewaskan sekitar 500.000 orang, menjadikannya salah satu badai paling mematikan dalam sejarah. 

Di Amerika Serikat, Badai Katrina pada tahun 2005 menghancurkan sebagian besar New Orleans, dengan sekitar 1.800 korban jiwa dan kerugian ekonomi yang mencapai $125 miliar. Di Asia Tenggara, Topan Haiyan melanda Filipina pada tahun 2013, menewaskan lebih dari 6.000 orang dan menghancurkan komunitas pesisir. Topan Mangkhut yang terjadi pada tahun 2018 melanda Filipina dan Tiongkok, menewaskan ratusan orang, dan menyebabkan kerusakan besar pada sektor pertanian serta infrastruktur.

Topan Super Haiyan (31W) terbentuk sebagai depresi tropis di lintang rendah di Samudra Pasifik Barat pada 03 November 2013. Pada pukul 18 UTC tanggal 07 November, badai ini diperkirakan mencapai puncaknya dengan intensitas angin berkelanjutan 170 knot dengan hembusan hingga 205 knot.
Sumber: Suomi NPP VIIRS 0.7 µm Day/Night Band and 11.45 µm IR channel images

Bencana ini menunjukkan bahwa pemanasan global memiliki dampak yang jauh melampaui kenaikan suhu semata. Kondisi ini juga meningkatkan risiko pandemi dan wabah penyakit. Flu Spanyol yang terjadi pada tahun 1918-1919, misalnya, menewaskan sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Pandemi ini berdampak besar pada kesehatan global dan ekonomi pada masanya. HIV/AIDS yang muncul pada 1980-an hingga saat ini telah mengakibatkan kematian lebih dari 36 juta jiwa. Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak 2019 memperlihatkan betapa rentannya sistem kesehatan global di tengah krisis iklim yang memperparah kondisi lingkungan. Pandemi ini telah menelan lebih dari 6 juta korban jiwa, mengganggu perekonomian, dan memperlihatkan ketergantungan manusia pada lingkungan yang sehat untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Krisis iklim juga memicu kekeringan yang menyebabkan krisis pangan. Kekeringan Sahel di Afrika pada 1970-an hingga 1980-an menyebabkan kelaparan besar-besaran dan mempengaruhi jutaan orang di negara-negara seperti Mali, Niger, dan Chad. Gelombang panas di Eropa pada tahun 2003 menewaskan sekitar 70.000 orang dan memicu perdebatan tentang hubungan antara perubahan iklim dan kesehatan.

Kebakaran hutan yang semakin sering terjadi, seperti yang melanda Australia pada tahun 2019-2020, menghancurkan lebih dari 18 juta hektar lahan, membunuh atau mengancam jutaan hewan liar, dan menimbulkan polusi udara yang mengakibatkan masalah kesehatan bagi penduduk setempat. Kebakaran ini adalah contoh nyata dari dampak perubahan iklim pada ekosistem dan kehidupan manusia. Selain itu keruntuhan infrastruktur akibat bencana buatan manusia juga menjadi bukti bahwa perubahan lingkungan tidak hanya disebabkan oleh alam, tetapi juga oleh tindakan manusia.

Jebolnya Bendungan Banqiao di Tiongkok pada tahun 1975 akibat hujan deras menewaskan sekitar 171.000 orang dan menyebabkan kehancuran besar-besaran. Di Ukraina, kecelakaan nuklir Chernobyl di tahun 1986 melepaskan radiasi dalam skala besar dan menyebabkan penyakit serta kematian jangka panjang bagi masyarakat sekitar. Krisis nuklir Fukushima di Jepang pada tahun 2011, yang dipicu oleh tsunami besar, mengakibatkan paparan radiasi dan memaksa ribuan orang untuk mengungsi dari wilayah tersebut.

Dalam menghadapi semua bencana ini, kita perlu memandang ekologi secara lebih mendalam. Ekologi yang dalam mengajarkan bahwa setiap makhluk hidup, dari mikroorganisme hingga manusia, memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan bumi. Ketika keseimbangan ini terganggu, baik oleh aktivitas manusia maupun oleh peristiwa alam, dampaknya akan dirasakan oleh semua pihak. Ketika manusia merusak hutan atau mencemari lautan, bukan hanya hewan dan tumbuhan yang terancamtetapi juga manusia itu sendiri.

Peningkatan suhu global dan frekuensi bencana alam menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan lingkungan tidak bisa lagi diabaikan. Pendekatan ekologi yang dalam menekankan bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasanya. Jika kita terus merusak lingkungan, kita pada akhirnya akan mengalami dampak negatifnya dalam bentuk bencana, kekurangan pangan, penyakit, dan konflik sosial. Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan cara kita berinteraksi dengan lingkungan dan berusaha untuk melindungi ekosistem agar tetap seimbang.

Dalam menghadapi perubahan iklim yang semakin ekstrem, kita harus segera mengambil langkah-langkah nyata untuk mengurangi emisi karbon, melestarikan hutan, dan menjaga kesehatan lautan. Tindakan-tindakan ini adalah bagian dari upaya kita untuk melestarikan lingkungan agar generasi mendatang dapat menikmati bumi yang sehat dan layak huni. Dengan memahami dan menghormati ekosistem sebagai sebuah jaringan kehidupan yang saling terkait, kita dapat menjaga bumi ini dari kehancuran yang disebabkan oleh ulah manusia.

Perubahan iklim yang kita alami saat ini adalah pengingat bahwa tindakan manusia memiliki konsekuensi yang luas dan tak terelakkan. Kita berada di persimpangan jalan; apakah kita akan memilih untuk melindungi alam dan menjaga keseimbangan ekosistem, atau apakah kita akan terus merusak bumi hingga tak ada lagi yang tersisa untuk diwariskan kepada generasi berikutnya?


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0