Kisah Dari Hutan yang Hilang

Di hutan yang lebat nan luas, hutan hijau, tinggallah seekor harimau putih bernama Melki. Bulu Melki berwarna putih, berkilauan bersih seperti bak salju yang mengkristal, dengan garis-garis hitamnya yang tegas yang menghiasi corak ditubuhnya. Melki sungguh bukan hanya seekor harimau biasa, tetapi penjaga hutan itu yang amat dihormati. Hutan Hijau, belantara luas aduhai begitu hidupnya keanekaragaman hayatinya. Bagi penduduk desa yang tinggal berhadapan dan bergantung pada hutan belantara itu. Mereka lalu menyebutnya sebagai anugerah dari Tuhan, karena mereka percaya bahwa hutan belantara telah menjadi rumah bagi ribuan makhluk selama berabad-abad, Mereka juga mengetahui bahwa Melki ditakdirkan untuk melindungi keseimbangan alam disana.

Usut punya usut, Melki sebenarnya tak tahu bahwa ia memiliki nama, namun masyarakat diluar hutan tempatnya tinggal meyakini bahwa Melki adalah sosok dewa penjaga. Konon dalam agama mandaean, melki adalah “dewa” yang menghendaki kehidupan yang baik. Melki sebagai sosok penjaga Hutan. Mereka meyakini itu, dari cucu ke cicit, cerita tentang Melki si Harimau Putih yang dihormati dituturkan dalam berbagai versi dari mulai sajak, lantunan doa, dan juga syair penghimpun berkah. Masyarakat desa juga meyakini, jika ada masyarakat yang meladang di Hutan, jika tak sengaja bertemu Melki, tak sengaja melihat sosok Melki maka akan menandakan berkah.

Namun, beberapa tahun terakhir, Hutan Hijau mulai berubah. Pohon-pohon yang dulu menjulang tinggi kini tumbang satu demi satu, sungai yang jernih mulai mengering, dan suara burung-burung yang memenuhi udara semakin jarang terdengar. Penduduk desa yang tinggal di sekitar hutan mulai merasakan perubahan ini, tetapi tak ada yang benar-benar memahami penyebabnya.

Sura, sang penjaga hutan, merasakan kegelisahan yang sama. Setiap malam, ia berkeliling hutan, mencari jawaban atas perubahan yang terjadi. Namun, tak ada yang memberinya petunjuk. Hingga suatu malam, saat bulan purnama bersinar terang di langit, Sura mendengar suara yang berbeda—suara tangis yang datang dari dalam hutan.

Dengan sigap, Sura mengikuti suara itu. Ia menembus pepohonan yang rimbun, melewati semak-semak tinggi, hingga tiba di sebuah area terbuka yang dulunya adalah jantung Hutan Hijau. Kini, yang tersisa hanyalah tanah kosong dengan beberapa pohon tumbang di sekitar. Di tengah tempat itu, seekor burung hantu tua berdiri. Bulunya yang kusam dan matanya yang suram menatap Sura dengan sedih.

“Siapa kau?” tanya Sura dengan suara rendah, meski hatinya penuh kekhawatiran. “Mengapa kau menangis?”

Burung hantu itu menggelengkan kepalanya pelan. “Aku adalah penjaga masa lalu hutan ini. Dulu, hutan ini hidup dengan harmoni, tetapi sekarang semuanya berubah. Kehidupan hutan ini mulai hilang, dan tak lama lagi, ia akan lenyap.”

Sura terdiam. Ia tahu betul bahwa hutan sedang dalam bahaya, tetapi mendengar langsung bahwa hutan bisa lenyap membuat dadanya terasa sesak. “Apa yang terjadi? Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini?”

Burung hantu mengangkat sayapnya dan menunjuk ke arah barat. “Di balik pegunungan, ada kekuatan gelap yang datang. Mereka menebang pohon-pohon untuk keuntungan mereka sendiri, tanpa memikirkan keseimbangan alam. Jika hal ini dibiarkan, hutan ini akan menjadi kenangan.”

Sura merasakan amarah membara di dadanya. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak akan membiarkan hutan yang telah ia jaga sepanjang hidupnya hilang begitu saja. “Aku akan menghentikan mereka,” kata Sura tegas. “Aku akan melindungi Hutan Hijau, apa pun yang terjadi.”


Keesokan harinya, Sura memulai perjalanan ke arah barat, menuju pegunungan yang disebutkan oleh burung hantu. Ia berjalan tanpa henti, melewati sungai, tebing curam, dan hutan lebat. Sepanjang perjalanan, Sura bertemu dengan berbagai makhluk hutan yang juga merasakan ketidakberesan. Rusa-rusa kecil berlarian kebingungan, monyet-monyet tampak gelisah di atas pohon, dan bahkan burung-burung mulai terbang menjauh dari hutan.

“Pergi dari sini, Harimau Putih,” kata seekor rusa kecil dengan suara gemetar saat melihat Sura lewat. “Hutan ini tidak aman lagi. Kami semua akan pergi mencari tempat baru.”

Namun, Sura hanya menggelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa pergi. Hutan ini adalah rumah kita, dan aku akan berjuang untuk melindunginya.”

Setelah berjalan selama berhari-hari, akhirnya Sura tiba di tepi pegunungan. Dari kejauhan, ia melihat sesuatu yang mengerikan. Lahan yang luas, dulunya penuh dengan pepohonan hijau, kini menjadi tanah tandus yang gersang. Suara gergaji mesin menggema di udara, dan para penebang kayu tampak sibuk menebang pohon-pohon tanpa henti.

Hati Sura hancur melihat pemandangan itu. Pohon-pohon yang sudah berumur ratusan tahun kini tumbang dengan begitu mudahnya. Tanpa pohon, seluruh ekosistem hutan akan runtuh—tanah akan menjadi gersang, sungai akan mengering, dan hewan-hewan tidak akan punya tempat untuk berlindung.

Dengan amarah yang membara, Sura melangkah maju. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghentikan para penebang kayu seorang diri, tetapi ia juga tidak bisa diam saja. “Hentikan!” raungnya keras, membuat para penebang kayu terkejut dan berlari ketakutan.

Namun, seorang pria bertubuh besar muncul dari balik kerumunan. Dia adalah pemimpin para penebang, seorang pria dengan wajah keras dan tatapan tajam. “Siapa kau yang berani menghentikan kami?” tanya pria itu dengan nada mengejek.

“Aku adalah Sura, penjaga Hutan Hijau,” jawab Sura tegas. “Kalian harus berhenti menebang pohon-pohon ini! Kalian merusak rumah bagi ribuan makhluk hidup, dan jika kalian tidak berhenti, hutan ini akan musnah.”

Pria itu hanya tertawa. “Aku tidak peduli dengan hutan atau makhluk-makhluk yang ada di dalamnya. Yang aku butuhkan hanyalah kayu untuk membangun kota. Alam ini ada untuk kita manfaatkan, dan aku tidak akan berhenti.”

Mendengar kata-kata itu, Sura merasakan amarahnya semakin memuncak. “Jika kau tidak mau berhenti, aku akan melawanmu dengan seluruh kekuatanku,” ancamnya.

Pria itu menghunus kapaknya, siap menghadapi Sura. “Kalau begitu, datanglah padaku, Harimau Putih. Lihat apakah kau bisa menghentikan kami.”

Pertarungan sengit pun terjadi. Sura menggunakan seluruh kekuatannya untuk melawan pria itu, melompat dengan cekatan dan menghindari serangan kapak yang mematikan. Namun, pria itu juga kuat, dan setiap kali Sura berusaha mendekat, pria itu selalu berhasil menyerang balik.

Pertarungan itu berlangsung cukup lama, hingga Sura mulai kehabisan tenaga. Namun, di saat yang sama, hutan di sekitarnya tampak ikut merespon. Angin kencang tiba-tiba berhembus, membuat pepohonan yang masih berdiri bergetar hebat. Tanah di bawah kaki Sura juga mulai bergetar, seakan-akan hutan itu sendiri tidak mau menyerah.

“Lihatlah, alam ini merespon!” kata Sura dengan suara tegas. “Hutan ini hidup, dan ia tidak akan membiarkan kalian menghancurkannya tanpa perlawanan.”

Namun, pria itu hanya tertawa lagi. “Hutan tidak punya kekuatan. Hanya aku yang punya kendali di sini.”

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Tanpa disadari oleh pria itu, sebuah longsoran tanah besar dari pegunungan mulai bergerak turun dengan cepat. Para penebang kayu yang lain segera melarikan diri, sementara pria itu terperangkap oleh batu-batu besar yang jatuh dari atas.

Sura, meski kelelahan, berhasil melompat dan menyelamatkan dirinya dari bahaya. Saat debu mereda, pria itu tampak terjebak di antara batu-batu besar, tak mampu bergerak. “Tolong aku,” katanya dengan suara lemah.

Sura mendekat, meski tubuhnya juga terasa lelah dan sakit akibat pertarungan tadi. Ia menatap pria itu dengan penuh pertimbangan. “Kau harus berjanji untuk berhenti menebang pohon di hutan ini,” kata Sura, suaranya tenang namun tegas. “Jika kau berjanji, aku akan menolongmu.”

Pria itu terdiam, matanya penuh dengan rasa takut dan penyesalan. Ia tahu bahwa tanpa bantuan Sura, ia mungkin tidak akan bisa keluar hidup-hidup dari tempat itu. Dengan suara serak, ia berkata, “Aku berjanji. Aku akan berhenti menebang hutan ini. Aku tidak akan kembali.”

Sura mengangguk pelan. Dengan hati-hati, ia menggunakan cakarnya untuk membantu pria itu keluar dari batu-batu besar yang menindihnya. Setelah bebas, pria itu berdiri dengan lemah dan menatap Sura dengan pandangan penuh rasa terima kasih. “Kau lebih bijak dari yang aku kira, Harimau Putih. Aku akan menepati janjiku.”

Dengan janji itu, pria tersebut pergi bersama para penebang lainnya, meninggalkan hutan yang mereka coba hancurkan. Sura berdiri di tempat itu, memandang sekeliling. Hutan Hijau memang terluka, tetapi masih hidup. Alam telah menunjukkan kekuatannya, dan kini tugas Sura adalah memastikan bahwa hutan ini pulih kembali.


Waktu berlalu, dan perlahan, Hutan Hijau mulai kembali tumbuh subur. Pohon-pohon muda mulai tumbuh di tempat yang dulunya tandus, dan sungai yang sempat mengering kini kembali mengalir jernih. Burung-burung kembali berkicau, mengisi hutan dengan kehidupan, dan hewan-hewan yang pernah pergi mulai kembali ke rumah mereka. Namun, tidak semua perubahan terjadi dengan cepat. Proses pemulihan hutan membutuhkan waktu, tetapi Sura, sang harimau putih, setia menjaga dan memastikan bahwa alam akan menemukan keseimbangannya lagi.

Selama waktu itu, Sura tidak sendirian. Penduduk desa yang awalnya tidak peduli terhadap keadaan hutan kini mulai memahami pentingnya menjaga alam. Mereka mendengar cerita tentang perjuangan Sura melawan para penebang kayu dan tentang bencana alam yang menyusul, yang seolah-olah adalah peringatan dari alam itu sendiri. Mereka mulai bekerja bersama Sura, menanam pohon-pohon baru, menjaga sungai, dan melindungi satwa liar.

Bima, seorang pemuda dari desa, menjadi sahabat setia Sura. Bima adalah anak muda yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu, dan ia terpesona dengan hutan serta semua makhluk yang tinggal di dalamnya. Setiap hari, ia membantu Sura dalam mengawasi hutan, memastikan bahwa tidak ada ancaman baru yang datang. Bima belajar banyak dari Sura tentang keseimbangan alam dan bagaimana setiap makhluk, sekecil apa pun, memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem.

Suatu hari, ketika Bima dan Sura sedang berjalan di tepi sungai yang baru saja pulih, mereka bertemu dengan burung hantu tua yang pernah memperingatkan Sura tentang kehancuran hutan. Burung hantu itu kini tampak lebih tenang, bulunya tidak lagi kusam, dan matanya memancarkan kebijaksanaan yang mendalam.

“Kau telah melakukan hal yang luar biasa, Sura,” kata burung hantu itu dengan suara lembut. “Kau telah menyelamatkan hutan ini bukan hanya dengan kekuatanmu, tetapi juga dengan kebijaksanaan dan kasih sayangmu terhadap alam.”

Sura hanya tersenyum tipis, lalu menatap ke arah Bima. “Aku tidak bisa melakukannya sendiri. Hutan ini selamat karena kita semua bekerja bersama—manusia dan hewan. Keseimbangan tidak bisa dijaga oleh satu makhluk saja.”

Burung hantu itu mengangguk. “Benar sekali. Dan itu adalah pelajaran terbesar dari semua ini. Alam akan selalu menemukan cara untuk pulih, selama ada yang peduli dan mau menjaga keseimbangan itu.”

Malam itu, saat bulan bersinar terang di atas hutan, Sura berdiri di atas bukit kecil di jantung Hutan Hijau, memandang sekeliling. Hutan yang dulu hampir hancur kini kembali hidup, penuh dengan keindahan dan kehidupan. Namun, Sura tahu bahwa tugasnya belum selesai. Menjaga alam bukanlah pekerjaan yang bisa selesai dalam satu hari atau satu tahun. Ini adalah tugas seumur hidup, tugas yang harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya.

Bima mendekati Sura, duduk di sampingnya sambil memandang ke arah hutan yang sama. “Apakah kau pikir hutan ini akan tetap aman, Sura?” tanya Bima dengan nada penuh harap.

Sura menoleh ke arah Bima dan tersenyum lembut. “Hutan ini akan selalu memiliki tantangan, Bima. Akan selalu ada yang mencoba menguasai atau merusaknya. Tapi selama ada orang-orang seperti kita—yang peduli, yang siap menjaga dan melindungi—hutan ini akan tetap hidup.”

Bima mengangguk. Ia tahu bahwa masa depannya kini terikat erat dengan hutan ini. Seperti Sura, ia merasa bahwa melindungi hutan bukanlah sekadar tugas, tetapi panggilan hidup. Ia ingin memastikan bahwa anak-anak dan cucunya nanti akan bisa menikmati keindahan Hutan Hijau, sama seperti yang ia rasakan sekarang.


Epilog

Tahun demi tahun berlalu, dan Hutan Hijau tetap berdiri kokoh. Pohon-pohon kembali tumbuh lebat, sungai-sungai mengalir dengan riang, dan hewan-hewan liar hidup damai dalam ekosistem yang seimbang. Sura, harimau putih yang legendaris, tetap menjadi penjaga setia hutan itu. Namun, ia tidak lagi sendirian. Bima dan para penduduk desa kini telah memahami pentingnya menjaga alam, dan mereka bekerja bersama untuk memastikan bahwa Hutan Hijau akan terus menjadi tempat yang subur bagi semua makhluk.

Kisah Sura dan perjuangannya menjadi legenda di desa-desa sekitar. Anak-anak tumbuh mendengar cerita tentang harimau putih yang berani, yang melawan para penebang kayu dan menyelamatkan hutan dari kehancuran. Mereka belajar bahwa keberanian sejati bukan hanya tentang melawan musuh, tetapi juga tentang melindungi yang lemah, menjaga keseimbangan, dan mencintai alam.

Dan setiap malam, di bawah sinar bulan yang terang, jika kau mendaki bukit kecil di tengah Hutan Hijau, kau mungkin akan melihat sosok putih yang gagah berdiri di puncaknya—Sura, sang penjaga hutan, yang selalu mengawasi, memastikan bahwa hutan itu tetap aman dan seimbang untuk generasi yang akan datang.

Pesan Moral:

Cerita tentang Harimau Putih dan Hutan yang Hilang mengajarkan kita bahwa alam bukanlah milik kita untuk dikuasai atau dirusak. Kita adalah bagian dari alam, dan tugas kita adalah menjaga keseimbangan agar semua makhluk hidup bisa berkembang dengan harmonis. Keseimbangan ini tidak bisa dicapai hanya oleh satu individu, tetapi oleh seluruh komunitas yang peduli dan mau berjuang untuk melindungi alam.


editor: Imanda Zahwa

Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0