Penulis: Puji Hanung Wijanarko
“Nduk, nanti pagi bantu mbah ndaud yah? Subuh hari, sebelum kamu berangkat sekolah” disampirkan cangkul di sebelah pintu, lalu segera menuju sumur belakang untuk membersihkan diri selesai dari pekerjaan di sawah.
Sementara si gadis kecil masih sedang mengerjakan PR (pekerjaan rumah) diruang tamu dengan penerangan lampu yang agaknya redup untuk kebutuhan membaca di malam hari. Si gadis kecil dan kakek hanya tinggal berdua saja, karena memang anak perempuannya atau anak tunggal si kakek harus merantau ke kota untuk bekerja menjadi pengasuh bayi dan biasanya akan pulang setahun sekali saat hari raya lebaran. Sedang istri si kakek sendiri sudah meninggal 7 tahunan yang lalu karena penyakit jantung.
“Belajar apa nduk?” tanya sang kakek sembari mendekat pada si gadis kecil
“Ini mbah, sedang mengerjakan PR”
“PR apa itu nduk? Mbahkan tidak bisa baca, jadi ndak tahu”
“Hmm, PR biologi mbah ini” si gadis kecil menjawab sembari tetap mengisi soal yang sudah terselesaikan ¾ bagian
“Oalah biologi to.. dulu anakku atau ibumu itu pernah mengajari mbah pelajaran itu pas waktu dia masih SMP(sekolah menegah pertama). Seingat mbah tentang hewan-hewan sama kawinkan nduk? Mbah tau itu, sebenarnya ini pintar hanya saja orang tua mbah dulu tidak bisa buat menyekolahkan mbah dulu. Makanya ya nduk, kamu yang sekolah harus lebih pintar supaya bisa hidup sukses”
“Njih mbah,,,” si gadis kecil mengangguk penuh syukur atas kondisinya yang bisa sekolah
“Nduk pokoknya kamu harus sekolah yang rajin, kalo bisa kamu dapat rangking yah nduk, sama sekolah yang sungguh-sungguh, kurangi mainnya agar sekolah bisa fokus supaya kamu besar bisa hidup sukses. Mbah akan selalu mendoakan genduk bisa hidup sukses terus bisa bahagiakan orang tua sama mbah juga” sang kakek memegang dan mengelus kepala si gadis kecil
“Njih mbah, amiiiin” si gadis kecil menolehkan wajahnya kepada sang kakek sambil tersenyum
“Sudah yah nduk lanjutkan belajarnya. Mbah mau membuat tali bambu dulu, buat ndaut besuk” utas si mbah
“Njih mbah” gadis kecil mengangguk
***
Membuka dan membalik buku, mencari-cari jawaban dari soal bergambar cetakan agak buram. “tunjukkan nomor berapa bagian putik pada bunga?” si gadis kecil kebingungan karena tidak ada bahasan di bukunya gambar bunga itu, sedang ia juga tidak familier dengan bunga bentuk maca itu, karena yang ia paham hanyalah bunga-bungaan tanaman sayur dan buah, bukan macam bentuk bunga yang aneh seperti pada soal. Si gadis kecil hanya tahu mengenai tanaman yang berbunga tapi tidak berbuah atau tidak bisa dimakan sekitar hidupnya ialah bunga mawar dan bunga kamboja. Itupun si gadis kecil tahunya itu makanan untuk orang mati, sebab kebiasaannya berziarah ke makam neneknya pasti sang kakek membawa bunga itu, jadi pemaknaannya seperti itu semua yang ia pelajari pasti ada manfaat dan penerapannya atau minimal bisa dimakan dan dibuat kerja. Ia heran dengan bunga pada soal gambar yang bentuknya memanjang berwarna merah muda.
“Ini bunga apa ya? Bentuk dan warna aneh, apa bisa dimakan yah, tapi keliahatannya ini pasti bunganya manis” sambil memainkan pensilnya pada gambar bunga.
“Haduh ini kok tidak ada yah gambarnya,,, coba saja aku ada HP (handphone) pasti bisa ketemu, huh” nafasnya melenguh panjang.
Si gadis kecil sebenarnya sedih karena penasaran dan tidak menemukan jawaban atas pertanyaannya, terlebih masalah HP ia sejak lama menginginkan punya HP seperti sebagian besar temannya yang punya atau minimal orang tuannya yang punya. Karena Ia bisa bermain HP hanya setahun sekali, yakni HP ibunya saat pulang ke kampung halaman. Ia senang sekali saat ibunya pulang jadi ia bisa bermain HP sepuasnya dengan bermain gim dan melihat video, karna jujur saja yang ia rindukan dari kepulangan ibunya ialah HP ibunya.
“Ah sudahlah aku karang saja jawabannya toh siapa tahu benar, dan tidak mungkin juga aku tanya pada teman atau mbah”
“Ehmm,, A saja hehe”
Berlanjut pada soal berikut dan berikutnya sampai selesai tanpa ada masalah berarti saat pengerjaan. Kemudian ia memberesken peralatan belajar dan segera menuju kekamarnya untuk melihat jadwal dan persiapan sekolah besuk. Rampung persiapan sekolah, ia menuju kebelakang menuju kakeknya yang sedang membuat tali pengikat bibit padi untuk pamit segera tidur.
“Mbah, aku tidur dulu”
“Iya nduk, kamu tidur dulu nanti pagi sebelum subuh mbah bangunkan yah, nanti kita ke Tegal ndaud bibit padi, mbah mau menyelesaikan ini dahulu”
“Njih mbah, mbah cepat istirahat yah”
“Iya nduk, mbah nanti istirahat” melanjutkan membelah bambu dengan parang membuatnya menjadi tipis seperti tali. Si kakek sebenarnya tidak tega untuk mengajak cucunya besuk ke sawah, namun ia terpaksa sebab buruh tani yang ia dimintai tolong tandur bisanya besuk pagi dan umur bibit yang ia semai juga sudah lebih dari 30 hari.
Akhir-akhir ini di desanya agak susah mencari buruh tani sebab mereka lebih memilih memburuh di luar desa yang upahnya selisih 10 ribu lebih banyak dan biasanya rombongan 10 orang, sedang si kakek hanya perlu 3 orang saja yang menggarap sawahnya, karna itulah tandur disawah kakek harus sedikit telat.
Sawah yang ia garap sudah lebih dari 25 tahunan dan itu pun sebenarnya adalah sebuah bukit tanah milik pemerintah yang ia garap terasering dan sistem tadah hujan, ia terpaksa melakukan itu karena dulu tanah warisan orangtuanya sudah ia jual guna membayar hutang gagal panen pada pemilik tanah yang ia sewa serta biaya pupuk dan ditambah biaya kelahiran anaknya waktu itu. Akhirnya ia pun beralih menjadi tukang pembuat kandang ayam dari bamboo yang banyak sumbernya dibelakang rumah untuk penghasilan pendapatan utama, sedang sawahnya saat ini hanya untuk tempur (kebutuhan makan sehari-hari). Jikalau mengingat masa-masa itu ia sangat sedih karna merasa waktu itu ialah masa-masa terberatnya, karna bahakan sanak saudara pun tiada yang membantu.
Si gadis kecil dikamarnya masih mengingat-ngingat dan mencoba mencerna apa yang dinasehatkan oleh kakeknya tadi, tentang bagaimana itu “sukses” karena sang kakek seringkali mengucapkan itu padanya dan juga para teman-temannya di sekolah, namun sebenarnya ia sendiri tidak begitu sukses itu bagaimana. Sebatas yang ia tahu sukses itu.
“Sukses itu mungkin, punya banyak uang terus bisa membeli barang apa saja yang ia mau, terus rumah besar, dan mobil banyak serta kerja pagi pulang sore itupun dikantor bukan disawah mirip kakeknya. Ya ya, mungkin seperti itu serta makan-makan enak setiap hari. Hehe pasti enak hidup seperti itu” ia bergumam kecil
“Ehh tapi mie itu juga ada tulisan suksesnya, jadi sukses itu apa yah???” si gadis kecil malah menghayal tentang mie instan isi 2 yakni makanan malam yang ia anggap mewah yang ia bisa makan paling banter seminggu sekali dibagi dengan kakeknya.
“Coba saja malam hari ini aku makan mie, pasti tidak kelaparan”
Tak terasa si gadis kecil pun terlelap, dan sang kakek pun sudah selesai dengan tali bambunya, sehingga menyusul sang cucu untuk tidur juga.
Malam itu suasana di sekitar desa begitu sepi dan dingin selepas hujan tadi sore hingga maghrib, begitu pula dengan rumah si gadis kecil yang agak jauh ratusan meter dari penduduk desa lain. Rumah petak kayu lantai beton cor kasar dengan ukuran 5 x 5 meter dengan 1 kamar hasil dari sumbangan desa program bedah rumah, sebab karena rumah mereka yang dulu tidak memenuhi sanisati dan layak hunian. Namun pada akhirnya si gadis kecil dan sang kakek cukup senang dan nyaman tinggal di situ walau berjauhan.
Si gadis kecil terbagun dari tidur dan sang kakek di sampingnya masih tertidur lelap, kemudian ia meregangkan badannya dan segera melangkah dari tempat tidur menuju ke sumur belakang rumah untuk membasuh wajah agar obat kantuknya. Ia lihat jam dinding bulat hadiah koperasi petani desa dengan tulisan warna merah cerah bertuliskan Koperasi Tani Desa Pringrejo 2015 yang sudah usang menunjukan waktu pukul 3.24 WIB
“Ternyata masih jam setengah empat, apa aku tidur lagi saja yah” sembari mengusap-usap matanya
“Haduh, jangan ah nanggung kalau tidur lagi” menuju keteras dan membuka pintu
“Aha, mending aku pergi ke tegal dulu buat ndaud biar nanti kakek tinggal membantu bagian menali sama memindah-mindahnya saja” si gadis kecil kegirangan dengan idenya itu dan segera mempersiapkan peralatannya nanti, serta tak lupa memberikan pesan ke kakeknya dengan bicara lirih disampingnya.
‘’Mbah aku berangkat dulu yah se ke tegal” ucap si gadis kecil kepada sang kakek
“Emh emm ya” bergumam setengah tidur
Semua peralatan sudah siap yakni air minum dari kemasan botol bekas yang diisi ulang air sumur dan arit. Si gadis kecil pun perangkat tanpa penerangan melewati pinggir desa medan kebun-kebun bambu. Ia berjalan perlahan karena pencahayaan yang kurang namun dengan langit yang cerah dan bulan purnama suasana perjalanannya sedikit tenang dan terang. Sampailah ia di tempat ndaud yang memakan waktu perjalanan 15 menitan dengan berjalan kaki agak jauh memang, kemudian ia langsung duduk jongkok dan segera memainkan jari-jari kecilnya mencabuti satu per satu bibit padi dengan piawai.
‘’Untung saja kemarin hujan deras jadi banyak air sehingga tanahnya empuk tidak susah mencabuti bibit-bibit ini, dah sana arit aku tidak membutuhkanmu buat cungkil tanah. Soalnya tanganku saja sudah kuat haha” meletakan arit di samping.
“Tanah airku tidak kulupakan….” Ia bernyanyi yang lusa nanti akan di tugaskan oleh gurunya dinyanyikan tiap-tiap murid di depan kelas, ia berpikir mumpung sepi dapat di manfaatkan untuk latihan.
***
Si gadis kecil masih fokus ndaud dan mengulang-ulang nyayiannya, 10 menit pun berlalu dan 1/4 bagian pun sudah selesai dikerjakan. Satu per satu bibit padi dicabut mulai dari sisi kanan ke kiri, namun tiba-tiba ada 2 bulatan kecil menyala di depan si gadis kecil, tepat 1 langkah diarah depan dibalik rimbunan bibit padi dan dengan takut dan reflek si gadis kecil pun menendangkan kakinya kearah itu dan terjengkang ke belakang. Tapi na’as malah kakinya terasa tergigit sesuatu dan menempel serta sakit. Ah tercaplok ular batinnya kemudian dengan segera ia meraih aritnya dan segera mengayunkan arit kearah ular yang mengigitnya berkali-kali dengan ngawur. Akhirnya ular pun melepaskan gigitan terus kabur, dan si gadis kecil pun langsung berdiri dengan kemarahan untuk menuntaskan dendamnya.
“Kurang ajar.. kemana kamu ular, kesini aku bacok lagi, beraninya mengganggu aku yang sedang ndaud” keluh si gadis kecil sembari mencari ular
Dan akhirnya ketemu ular itu yang terdiam dipinggir daerah bibit diam dengan beberapa luka sayatan di tubuhnya. Tanpa pikir panjang si gadis kecil pun mengayun-ayunkan aritnya lagi ke ular itu sampai terpotong.
Dilihat lagi ular itu sudah mati dan warnanya coklat kehitaman dengan beberapa corak putih ukuran setengah meter, “Oh mungkin ular air” pikir si gadis kecil. Kemudian ia sadar kembali dengan lukanya dan langsung jatuhkan pantatnya ke tanah, ia lihat jempol kakinya berdarah dan perih, ia menangis dan sedih terhadap apa yang ia alami.
“Hiks.. hiks mbah tolong aku mbah” ia menangis sesenggukan tapi menahan suaranya agar tidak terlalu keras terdengar
“Ular bodoh hiks” ia pun terus menangis, sendirian di tegal yang jauh dari rumah dan ia merasa takut dan menyesal mengapa ia meninggalkan kakeknya tadi, dan sudah 10 menitan ia dalam kondisi seperti itu, akhirnya kakeknya terlihat datang dengan agak terburu-buru menghampiri
“Nduk, kamu kenapa nduk, kenapa nangis?” hendak mendekati cucunya
“Aku digigit ular mbah huhu” menangis semakin keras
“Haduh biyung, ayo pulang nduk” langsung membopong cucunya untuk dibawa pulang kerumah, wajah sang kakek agak sedikit pucat dan panik mengetahui cucunya digigit ular dan masih menangis, ia terus membopong cucunya dengan jalan setengah berlari daan sesampainya di teras cucunya diturunkan dengan perlahan.
“Nduk cah ayu, kamu digigit dimana?? Sakit?”
“Huhu, itu mbah” sambal menunjuk jempol kakinya sebelah kanan
“Sabar yah nduk cah ayu” dengan tergesa-gesa si kakek memasuki rumah dan mengambil gombal kemudian dirobek untuk dijadikan tali, kemudian dengan segera ia mengikat pergelangan kaki cucunya dengan kuat lalu dengan nekat menyedot jempol kaki cucunya tanpa dibersihkan dahulu walaupun masih terlihat banyak tanah, disedotnya kaki cucunya hingga 3 kali pengulangan.
“Nduk tadi ularnya seperti apa? Sudah aman yah nduk” sembari menenangkan cucunya agar tidak menangis
“Kecil mbah ularnya, warnanya coklat gelap ada corak putih” sambal melihat kakinya, terlihat jempolnya agak bengkak
“Syukurlah nduk cah ayu, aman itu ular jahil, tidak berbisa sama tadi mbah lihat bekas gigitannya banyak bekas giginya, sudah tenang yah nduk cah ayu”
“Njih mbah” si gadis kecil mulai tenang dan tidak menangis kembali
“Makanya kalau pergi harusnya sama mbah, kenapa tadi mbah ditinggal, lain kali harus sama mbah, wajib!!”
“Njih mbah” sigadis kecil hanya bisa tertunduk dan mengiyakan omongan kakeknya
“Tidak apa-apakan nduk cah ayu? Sekarang kamu bersih-bersih terus ganti baju dan istirahat dulu yah nduk” membantu memapah sang cucu untuk bersih-bersih diri
Sesampainya di kamar dan sudah ganti baju si gadis kecil direbahkan oleh sang kakek,
“Ini nduk tadi mbah buatkan kamu minuman hangat, kamu minum ya nduk cah ayu biar segera sembuh, maaf kamu mbah tinggal ke tegal lagi biar nanti bisa segera ditandur bibit padinya, kamu nanti segera istirahat ya nduk, nanti kamu juga berangkat sekolah” segera si kakek meninggalkan cucunya
“Njih mbah” menarik sarung yang biasa ia pakai tidur, dalam hati ia agak sedikit kesal dengan kakeknya karna dengan kondisinya yang sakit digigit ular malah dipaksa untuk sekolah nanti. Sebenarnya si gadis kecil tidak nyaman dengan kondisi di sekolahnya, namun demi apapun yang terjadi ia berpikiran harus tetap sekolah guna menyenangkan kakeknya. Dan akhirnya ia pun teridur.
Pukul 9 sang kakek kembali kerumahnya selepas merampungkan garapnya di sawah, namun ia terkaget melihat cucunya yang masih tertidur dan tidak masuk sekolah,
“Nduk!! Kamu tidak sekolah?!” teriaknya kencang sambil menggeblak tembok disamping pintu kamar
“Njih mbahh, njih” bangun dan kaget dengan kedatangan kakeknya, namun ia merasakan nyeri dan kebas pada kaki kanannya.
“Kamu tidak sekolah nduk? Kenapa? Bolos?” mendekati cucunya sembari menunjukan ekspresi mata yang melotot tajam
“Maaf mbah, aku ketiduran” menghindari wajah kakeknya, namun masih fokus dengan rasa pada kaki kanannya
“Kamu ini nduk, disekolahkan malah bolos, kurang ajar kamu, mau jadi apa kamu, tidak sekolah, mau jadi seperti ibumu hah?!” mencerocoskan omongannya, sembari dengan pelan menempelkan tangannya kedahi cucunya
“Njih mbah, maaf” semakin tertunduk ketakutan, dan mencengkeram kedua tangannya pada kain sarung
“Badanmu panas sekali nduk, kamu sakit?” memeriksa lebih seksama
“Njih mbah, kakiku mbah sakit” menarik sarung, dan terlihat kaki kanannya biru dan bengkak, si gadis kecil pun kaget dan takut dengan kondisi kakinya
“Demit alas, haduh nduk kakimu bengkak. mbah lupa untuk membuka ikatan kakimu jadi bengkak malah, tadi mbah buru-buru kesawah” mencopot ikatan tali
“Sakit mbah, pelan-pelan” menahan sakit sampai tak sadar air matanya menetes
“Sudah lepas nduk, mbah cari obat dulu buat kamu ke warung yah nduk sabar” meninggalkan cucunya kembali, warung membeli obat demam karna ia tidak tahu obat apa yang sekiranya cocok dengan penyakit cucunya, namun ketika melihat ke warung obat di warung yang biasa ia pakai untuk demam habis, hanya tinggal sisa obat pusing dan flu batuk, si kakek pun memutuskan membeli obat pusing untuk cucunya 2 biji secara eceran kemudian pulang kepada cucunya
“Ini nduk, kamu makan dulu habis itu minum obat ini terus lanjut istirahat yah. Kamu sehat dulu, nanti kalaiu sehat baru sekolah lagi” menyodorkan sepiring nasi 2 centong dan telor dadar yang dicampur tepung di bagi menjadi 2 bagian, setengah untuk cucunya setengah untuk dirinya,
“Njih mbah” jawabnya lesu
3 hari sudah berlalu sejak kejadian, tubuh sang gadis kecil pun sudah terasa mendingan namun terasa lemas untuk di gerakkan dan akhirnya kakeknya memutuskan untuk si gadis kecil istirahat sekolah, 2 hari sebelumnya hanya dihabiskan si gadis kecil untuk tidur terbaring dan sesekali kebelakang menunaikan hajat, jujur saja ia meresa sangat kesepian. Sedang sang kakek 2 hari ini sibuk di sawah untuk macul dan matun (membersihan hama) dan sesekali mengurus keperuan cucunya yang sakit.
“Ini sudah 3 hari kok tidak ada yang menjengukku yah?” gumamnya berbicara sendiri
“Apakah sebegitu bencinya ya, mereka padaku?”
“Aku sudah sakit dan 3 hari tidak masuk sekolah loh, dan satupun tidak ada yang menjengukku” matanya mulai bercaka-kaca
“Atau justru mereka senang aku tidak ada? Mungkin”
“Disekolah aku terus saja dijauhi, bahkan seringkali di ejek”
“Aku merasa gurupun juga tidak menganggapku, bahkan sempat aku diejek dikatai bahwa aku gendut dan hitam pun guru merasa acuh”
“Jujur aku tidak mau sekolah, aku sakit hati kalau sekolah harus diejek gendutlah, hitamlah, kotorlah” si gadis malu dengan seragamnya yang lusuh dan kebesaran
“Seragamku aku cuci kok, cuma tidak pakai sabun sama di setrika karna tidak punya. Bahkan hampir setiap hari aku cuci, bajuku bersih tidak kotor”
“Aku jadi ingat kejadian seminggu lalu, ada anak kelas 6 entah siapa namanya, tiba-tiba meneriakku dengan keras waktu pulang, “anak haram, anak haram, tidak punya bapak haahaa” akupun langsung lari karna malu dan dirumah kakek tidak ada, terus aku nangis sendirian dikamar” mengusap air matanya
“Memang bapak itu enak yah? Apa bedanya sama mbah”
“Mbah kenapa sih terus maksa aku buat sekolah? Dan harus sukses, toh paling aku juga bakal nikah jadi istri orang, terus di sawah juga atau seperti ibu kalau tidak nikah jadi pembantu”
“Ngapain harus sekolah, aku malu harus sekolah kalau cuma jadi bahan ejekan, bulan ini saja bukuku belum dibayar sama mbah, guru terus nagih aku”
“Aku sekolah buat malu”
“Aku tidak mau sekolah lagi” si gadis kecil menangis lepas
Sedari tadi sudah ada sosok sang kakek mengintip dan memperhatikan gumaman cucunya dengan membawa sepiring sarapan untuknya, ia terdiam dadanya sesak mendengar apa yang cucunya utarakan. Dengan langkah yang gontai ia meninggalkan depan kamar menuju keluar rumah, dan menuju pelataran sampai akhirnya tubuhnya tersungkur kedepan seperti orang sujud, ia menangis sesenggukan sembari tangannya meremas tanah dengan kuat nafasnya berat, dan ia pun berkata
“Ya Tuhan, akankah engkau timpakan kesakitan ini pada anak turun cucuku juga!!!”.
Ilustrasi: A nutshell
Editor: Timur Angin