Fenomena dibalik Semarak Ritual Kampung

Penulis: Muhammad Riski

Suatu hari di pulau yang terbentang di salah satu Kabupaten yang ada di Sulawesi Selatan saya mendengar cerita soal ritual kampung yang baru saja digelar saat itu. ”Kenapa baru datang?”, ucap warga pulau ketika kami bertemu dengan mereka di pekarangan rumahnya. Rupanya ritual tahunan kampung baru saja digelar tiga hari yang lalu sebelum kami tiba di pulau. Namanya ialah temmu taung. Dalam lintasan prosesi ritual tersebut, dari ragam cerita yang beredar warga akan menjadi lebih sibuk untuk mempersiapkan segala bentuk hindangan ritual maupun hidangan konsumsi harian yang akan mereka santap bersama para tamu maupun kerabat. Suasana semarak agenda tahunan kampung tersebut dipenuhi riak para warga yang banyak berkumpul satu sama lain, saling sapa dan bercerita. Kondisi pulau tampak makin meriah karena turut dihadiri banyak tamu dari luar pulau, baik kerabat maupun pemerintah daerah.

Dalam sejarahnya, temmu taung dilakukan untuk menghormati mendiang nenek moyang mereka yang diberi gelar sebagai pahlawan bagi masyarakat setempat. Berdasarkan cerita yang beredar, nenek moyang tersebut adalah seorang pelaut ulung. Suatu ketika saat masa kolonial Belanda di abad ke-20 ia berani melakukan pelayaran sambil mengibarkan bendera berwarna merah putih. Ekspresi tersebut menggambarkan kegigihan untuk melawan penjajahan kolonial Belanda. Atas alasan itu pulalah, ia lalu ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara oleh bangsa Belanda yang merasa terhina. Saat mendekam di dalam penjara, nenek moyang masyarakat pulau dalam ceritanya bernazar bahwa jika bebas ia akan membuat a’tenne-tenne (membuat kue manis), a’janna-janna (membuat makanan lezat), dan a’rannu-rannu (bersenang-senang) di pulau yang telah lama dihuninya. Nazar tersebut akhirnya kesampaian, hingga digelarlah perayaan temmu taung ini sebagai bagian dari penghargaan terhadap nenek moyang dan menjadi peringatan hari jadi pulau mereka.

Perayaan temmu taung berlangsung selama hampir sebulan penuh pada bulan Muharram (berdasarkan hitungan bulan islam). Pada pekan pertama di hari Jum’at bulan Muharram, masyarakat pulau akan disibukkan dengan membuat makanan berbahan kelapa muda yang dicampur dengan gula aren yang disebut akkaluku Lolo. Usai salat jumat makanan yang telah mereka buat akan disantap secara bersama Lebih lanjut, pada Jum’at kedua bulan Muharram, masyarakat tetap dipenuhi dengan kesibukan membuat makanan jenis lain, yakni jepe’ sura (sejenis bubur dicampur telur dan tumpi). Bagi yang tidak sempat membuat hidangan tersebut, sebelum memasuki hari Jum’at kedua, mereka tetap harus merogoh saku untuk membeli jepe’ sura agar dapat terlibat dalam doa bersama. Pada Jum’at ketiga yang menjadi puncak perayaan ritual temmu taung, masing-masing rumah tangga (dihitung berdasarkan jumlah kepala keluarga dalam satu rumah) harus menyediakan 12 macam jenis kue manis yang dihidangkan di atas nampan berbentuk bulat sebagai gelaran wajib sekaligus bermakna simbolik untuk menggambarkan kebahagiaan. Salah satu kue khas ialah dodoro atau dodol yang berbahan dasar ketan. Sekilas terlihat bahwa setiap prosesi ritual memang memiliki nilai adat tertentu. Namun, kira-kira fenomena seperti apa yang harus dilalui setiap rumah tangga agar dapat terlibat dalam seluruh rangkaian perayaan ritual?

Dari cerita pengalaman komunitas pulau, saya mengamati bahwa ritual-ritual di kampung turut memberi pengaruh yang cukup serius terhadap kelangsungan produksi-reproduksi sosial beberapa rumah tangga. Di tengah-tengah kondisi sulit dalam mendapatkan ikan, keluarga nelayan kecil bisa jatuh makin jauh ke dalam jurang yang mengenaskan. Saat pertama kali tiba di sana, saya merasa terkejut mendengar bahwa warga pulau yang saya huni rumahnya tidak memiliki pasokan ikan untuk kami santap bersama saat itu. Mereka terpaksa pergi mencari atau membeli ikan ke tetangga yang masih memiliki persediaan makanan (ikan). Kondisi demikian turut membuat saya bertanya-tanya, apakah saat itu hanya kebetulan saja pasokan ikan mereka habis? di tengah ujung mata saya yang tidak lepas dari hamparan laut yang luas, dilengkapi gemintang pada saat malam hari.

Melihat Ulang Fenomena di Balik Ritual Kampung

      Masyarakat pedesaan kerap dianggap sebagai suatu komunitas yang menyimpan banyak warisan kebudayaan sesuai dengan konteks sosial-historis wilayah yang mereka huni. Beragam tradisi muncul layaknya bagian dari darah daging mereka yang telah mengakar secara kelompok dan perlu dirawat hingga lintas generasi. Ada beragam variasi ritual yang kerap dilakukan di kampung. Pertama, ritual yang berkaitan dengan siklus kehidupan seperti ritual kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Kedua, yakni ritual yang berkaitan dengan garis lintas sosial historis kampung, seperti temmu taung merupakan perayaan adat demi mengungkapan rasa syukur sekaligus bentuk penghargaan/penghormatan terhadap perjuangan nenek moyang terdahulu, terdapat juga ritual seperti mandi-mandi safar yang disimbolkan sebagai bagian dari proses pembersihan diri sekaligus harapan “menolak bala (bahaya)” bagi individu maupun dalam satu komunitas kampung.  Berbagai bentuk ritual ini menjadi suatu ekspresi perayaan adat yang setiap tahun penuh riak oleh masyarakat pulau maupun orang dari luar pulau.  

Dalam konteks temmu taung, tiga pekan terakhir di bulan Muharram, masyarakat pulau akan dipenuhi kesibukan secara bersama dalam mempersiapkan seluruh hidangan yang harus mereka bawa saat perayaan ritual berlangsung. Bahkan sebelum memasuki bulan Muharram, setiap rumah tangga akan membagi peran mereka semakin tegas. Ongkos yang tidak sedikit dalam membuat berbagai hidangan ritual membuat nelayan yang kebanyakan dilakukan oleh laki-laki akan lebih giat mencari ikan hingga titik terjauh (kadang berakhir di perairan mandar, Sulawesi Barat) demi menghasilkan uang tunai. Sedang beberapa perempuan, tetap berusaha sekuat tenaga melakukan kerja-kerja perawatan dalam ranah domestik, bahkan beberapa di antara mereka turut berinisiasi mencari sumber pendapatan sampingan (seperti membuka warung jualan kecil-kecilan) demi menutupi biaya yang silang sengkarut, termasuk biaya ritual. Akibat membutuhkan modal yang banyak turut mendorong beberapa perempuan di pulau harus menanggung beban ganda dalam waktu yang lebih panjang. “Kalau tidak ikut ki cari uang susahmi itu. Beli ketan saja bisa habis jutaan belum lagi bahan-bahan yang lain dan harus juga ada uang kalau hari H karena disituki biasa belanja. kayak pasar malam banyak penjual”, ucap salah seorang warga perempuan di pulau.

Biaya ritual turut menambah beban hidup setiap rumah tangga untuk mencari modal lebih di tengah-tengah keterhimpitan (terlebih bagi nelayan kecil). Kurangnya modal dan akses yang terbatas pada sumber-sumber produksi membuat mereka (nelayan kecil) terpaksa harus menyeburkan diri pada relasi dengan penguasa desasemakin dalam. Hal ini tentunya beririsan dengan kondisi mereka untuk lepas dari masa-masa paceklik yang sedang mereka hadapi. Terbatasnya akses mereka terhadap modal, alat produksi (seperti kapal), maupun hasil produksi (tangkapan hasil laut), hingga akses terhadap laut yang semakin rumit di tengah amukan kebutuhan yang semakin banyak, membuat rasio antara kebutuhan reproduksi rumah tangga yang mungkin telah banyak memakan ongkos dengan penghasilan yang tidak seberapa menjadi tidak stabil. Bayangan bertahan hidup bagi nelayan kecil menjadi semakin suram.

Semua kegiatan ritual, utamanya dalam perpektif kulturalis arus umum, selalu lekat dengan ungkapan-ungkapan mengenai gotong royong, kebahagiaan, kebersamaan, perjuangan, spiritualitas, loyalitas, saling berbagi, kepedulian, dan lainnya yang cenderung berkonotasi positif. Namun, dilihat dari perspektif kelas, itu adalah ikatan transaksional yang rapuh antara rakyat kecil dengan kelas di atasnya (Robinson, 1981).

Seperti bapak Nurdin (nama samaran), sebagai nelayan kecil, di tengah “himpitan reproduksi sederhana”, beban biaya ritual turut mempengaruhi pilihannya tercebur dalam lingkaran hubungan patronase. Di tengah-tengah kondisi hasil tangkapan yang semakin sulit dan sedikit, membuat ia harus menyusun ulang strategi bertahan hidup. Bergantung pada modal yang terbatas untuk melaut, membuat deretan ketidakpastian seolah tidak berujung. “Kah bukan modal sedikit itu kalau mauki pergi melaut, manami semakin jauh dan tidak pasti bisaki dapat ikan atau tidak”. Ongkos produksi yang semakin mahal (seperti bahan bakar, bahan makanan, rokok, hingga biaya perbaikan kapal maupun mesin) bukan tanpa perkara bagi nelayan kecil. Modal awal turut mempengaruhi sejauh mana mereka dapat mebelah lautan, termasuk relatif menentukan jumlah ikan yang bisa ditangkap dalam satu siklus pelayaran. Hal ini turut mendorong mereka harus menggantungkan hidup pada orang lain demi keluar dari jebakan paceklik. Berdiam diri juga bukan merupakan jawaban.

Di tengah situasi sulit, berutang seringkali menjadi jalan yang segar untuk ditempuh oleh keluarga rumah tangga yang sedang terdesak seperti bapak Nurdin. Demi menutupi ongkos kebutuhan harian ditambah beban biaya ritual memastikan penggunaan modal lebih banyak dari waktu-waktu sebelumnya. Seperti dalam ungkapannya, “Susah sekali sekarang dapat ikan, jadi kemarin waktu maumi masuk acara temmu taung terpaksa pinjamki di bos, karena tidak ada sekali bisa dipakai kecuali untuk kebutuhan hari-hari (kutipan sedikit diperbaiki)”. Melalui skema utang yang diambil dari penguasa desa (utamanya tengkulak atau punggawa) membuat monopoli atas hasil tangkapan menjadi makin runcing. Dengan jumlah pinjaman yang semakin menumpuk dari bulan ke bulan juga turut memperkuat posisinya sebagai klien dalam relasinya dengan tengkulak yang memungkinkan pintu eksploitasi terbuka lebih lebar. Setidaknya hal ini menjadi sebuah bentuk khusus ‘relasi produksi’ – karena para (nelayan) semakin bergantung pada utang untuk mereproduksi rumah tangga mereka (Banaji 1977 & Roseberry 1978). Pada kasus yang lain ketergantungan yang besar kepada penguasa desa (seperti punggawa maupun tengkulak) dalam mengambil utang membuat posisi tawar nelayan menjadi semakin kecil. Selama ini peran punggawa maupun tengkulak ikan lokal memang punya pengaruh yang cukup besar. Kehadiran punggawa dalam banyak hal, memang dapat membantu nelayan kecil kapan pun saat sedang terjepit.

Utang seringkali mewujud sebagai ikatan kerja di antara pemodal dan peminjam demi tujuan sosial dan politik. Beberapa bentuk patronase nelayan masih dapat dibuktikan sebagai fenomena yang umum terjadi.  Dalam beberapa literatur maupun temuan, utang kerapkali menjadi penghubung jangka panjang antara pemilik modal dan nelayan kecil. Melaui praktik hariannya (meskipun dalam bentuk yang beragam), umumnya para pengambil utang berkewajiban untuk bekerja dengan pemberi pinjaman dan menawarkan berbagai layanan sebagai bentuk balas budi. Melalui utang, patronase bekerja dengan cara yang jauh lebih halus dalam memastikan kesetiaan para kliennya. Hal inilah yang dialami oleh keluarga bapak Nurdin, akibat lilitan utang ia merasa harus selalu menaruh simpati lebih ke orang yang telah memberinya pinjaman. Tidak mengherankan, jika di setiap prosesi ritual siklus hidup seperti kelahiran, pernikahan, kematian hingga prosesi lainnya mereka sekeluarga harus menyisihkan sebagaian tenaga kerjanya dan sigap membantu. Jika ada panggilan, mereka bergerak layaknya angin kencang, datang setepat mungkin memberi layanan. Tekanan sosial maupun politis pada akhirnya membuat keluarga bapak Nurdin harus memberikan layanan dalam bentuk apapun secara cuma-cuma, termasuk mengerjakan pekerjaan kasar seperti mengangkut barang, memasang tenda, memasak, melayani, dan lain-lain.

 Sebagaimana penelitian yang dilakukan Maulana (2014), ia menemukan bahwa bentuk hubungan patron-klien melalui utang yang membelit nelayan dimanfaatkan dalam membentuk skema politik utang budi dalam mengikat nelayan dan kemudian melakukan monopoli jual beli hasil tangkapan yang nantinya akan dijual keluar desa dengan harga jual yang lebih tinggi dibandingkan saat membeli langsung pada nelayan. Fenomena ini semakin tegas, ketika saya bertanya soal tempat lain bapak Nurdin menjual hasil laut, “Tidak mungkin dijual ke orang lain, karena dia (tengkulak) sering bantuki. Takut jki juga”.

Dalam konteks yang sering dicirikan dengan ‘kontrak saling mengunci’, Bhaduri (1983) memperlihatkan bahwa utang pedesaan menimbulkan sistem ‘perdagangan paksa’ yang eksploitatif. Kondisi ini turut menggeser posisi nelayan kecil yang semula bebas menjual hasil tangkapan sejauh akses pasar yang dapat dijangkau oleh mereka menjadi terbatas ke satu orang (tengkulak atau elit desa pemberi pinjaman lainnya). Tentu saja, hubungan patron-klien ini dapat memberi effect domino yang menjebak nelayan kecil tidak dapat keluar dari lubang kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan kehidupan (eksploitasi) yang secara intensif melanda mereka.

Pada lintasan sejarahnya, utang pedesaan juga telah memainkan peran dalam mengikis cara hidup berbasis komunitas. Secara sangat langsung, utang dapat merusak hubungan hidup harian komunitas dengan berbagai ancaman di baliknya (gosip, penyitaan, hingga penjualan aset penting) yang kerapkali semakin mempertajam diferensiasi sosial. Mekanisme utang juga turut membebani penghidupan, tetapi di sisi yang berbeda mereka punya perasaan takut dikucilkan jika tidak mengikuti ritual tahunan kampung. Hal inilah yang membuat mereka berani bertaruh dengan utang yang diambilnya demi dapat terlibat segala bentuk perayaan ritual yang ada.

Di tengah laut, sekali lagi nelayan kecil tidak hanya berhadapan dengan amukan ombak yang saling mengejar. Ketidakpastian menjadi bagian dari guncangan yang lain. Bayangan mendapat ikan untuk disantap bersama keluarga saat berlabuh di rumah seringkali mewujud dalam tanda tanya besar. Selain itu, kepungan biaya reproduksi, ritual, dan pengambilan utang turut membuat amukan hidup seolah tampak lebih ganas. Hal inilah yang mendorong setiap rumah tangga lebih intens mencari uang tunai dalam model yang beragam. Migrasi sementara atau bahkan dalam waktu yang lama tengah dialami oleh beberapa orang yang mendiami pulau akibat tekanan biaya yang semakin membengkak, salah satunya anak dari keluarga pak Nurdin, dalam kondisi yang masih muda Emon (nama samaran) terpaksa harus pergi meninggalkan pulau demi mencari uang tunai di darat, ia bekerja serabutan sebagai buruh bangunan. Meski dengan penghasilan yang tidak seberapa, setidaknya Emon beberapa kali dapat membawa uang ketika pulang ke rumah meskipun tidak menentu. “Adapi biasa panggilki baru bisaki pergi, tergantung proyek ji”, ungkap Emon saat saya bercerita dengannya. Penghasilan tersebut digunakan untuk menutupi segala bentuk daftar pengeluaran yang mungkin sudah amat panjang di keluarganya.

Saat mendengar setiap cerita yang terlontar, ritual-ritual kampung memang seperti mengharuskan setiap warga untuk terlibat. Meski seperti tanpa paksaan. perasaan euforia untuk terlibat membuat setiap rumah tangga berani bertaruh. Gosip mengenai ritual tahunan kampungselalu menyebar cukup cepat, oleh sebab itu konsekuensi yang akan diterima jika tidak terlibat dalam ritual ialah munculnya perasaan terpinggirkan, malu atau merasa kurang pantas karena tidak mengikuti arus umum ritual utama yang dirayakan sekampung. Berhemat dan tidak berkontribusi banyak dalam ritual hanya membuat suasana semakin keruh. Tradisi perayaan yang dilakukan bersama-sama dalam lingkup kampung menjadi urusan masing-masing rumah tangga. Setiap rumah tangga harus berpikir lebih keras menyusun segala macam cara untuk mencari uang dan bertahan. Urusan pemenuhan biaya ritual akhirnya menjadi urusan yang sangat individual menjadi tanggungan masing-masing keluarga. Kemungkinan-kemungkinan buruk dapat saja muncul dari berbagai sisi, salah satunya karena berbagai jeratan beberapa nelayan bisa saja menempuh cara mendapatkan uang lebih instan, misalnya melakukan cara penangkapan yang lebih destruktif dan tidak berkelanjutan. Hal ini bisa saja menapak jika jalan keluar benar-benar tertutup lebih rapat.

Belakangan, tradisi yang awalnya bersifat resiprokal atau seremonial adat merembes menjadi arena pertarungan sosial masing-masing rumah tangga. Beberapa rumah tangga harus meneguk kepahitan akibat kesulitan dalam memenuhi setiap kebutuhan ritual. Selain menempuh jalur pinjaman kepada penguasa desayang ada di pulau, beberapa dari mereka kadang harus menelan ludah melihat emasnya terjual atau bahkan mengambil kredit bank. Seperti dalam ungkapan’ “Kalau tidak ada sekalimi, emasta mami dijual atau pinjamki di bank”. Kondisi ini terutama diakibatkan karena hasil tangkapan nelayan yang cenderung tidak stabil membuat rumah tangga dengan pendapatan rendah sulit memenuhi kebutuhan reproduksi sosial semacam ini.

Berkebalikan dengan keluarga Nobo (nama samaran), sebagai tengkulak sekaligus punggawa membuat pengaruh kuasa yang dimilikinya menjadi lebih tegas di pulau. Ia selalu tampak sumringah saat ritual tahunan kampung digelar. Situasi semacam ini membuka peluang baginya untuk terlibat lebih intim dengan para orang penting daerah. “Kalau acarami, di rumah ji biasa tidur itu orang-orang dari luar (termasuk perwakilan pemerintah daerah)”. Ucap beliau saat bercerita mengenai suasana ritual tempo hari. Belakangan saya baru mengetahui bahwa beliau adalah calon kepala kampung yang selalu keras menawarkan soal pemekaran desa ke pemerintah daerah. Saat saya berada di rumahnya, tidak heran jika beberapa bapak-bapak nelayan (termasuk kliennya) selalu memenuhi pekarangkan belakang rumahnya sambil bercerita banyak hal soal kondisi kampung. Ini turut memperkuat pengaruh kuasa yang dimilikinya sembari selalu membangun citra positif dengan orang pulau maupun di luar pulau. Hubungan semacam ini pulalah yang membuat beberapa nelayan kecil merasa segan untuk menyuarakan persoalan yang sedang dihadapi karena mengganggap keluarga Nobo telah membantu mereka dalam banyak hal, terutama yang paling dekat meberi layanan kopi hitam gratis di tengah-tengah tekanan hidup yang makin kuat.  

Ritual-ritual yang kerapkali diromantisasi sebagai bagian dari jati diri kelompok dalam satu komunitas di pedesaan hingga dengan beragam nilai yang seringkali diungkapkan, seperti menyimbolkan kebahagiaan, kebersamaan, perjuangan, spiritualitas, loyalitas hingga semangat gotong royong memang dalam beberapa hal masih dapat ditemui. Namun, setiap rumah tangga di pedesaan saat ini masih belum setara secara ekonomi-politik (termasuk penguasaan atas modal, alat produksi, sumber daya dan kekuasaan) membuat sebagian orang tertatih-tatih dalam mengusahakan reproduksi sosialnya, ditambah lagi beban biaya ritual yang dapat mengancam setiap hubungan sosial semakin tajam ke bawah. Sedang yang lain, khususnya yang secara ekonomi-politik memiliki posisi strategis justru dapat dengan sumringah menyambut setiap agenda rutin ritual tahunan kampung sebagai arena untuk mempertegas posisi sosialnya.

Daya bertahan masing-masing rumah tangga untuk melewati setiap perayaan harus memakan ongkos materil maupun energi yang cukup banyak. Tidak semua dapat secara sempurna melewatinya. Semarak ritual kampung secara bersamaan merawat kerentanan nelayan kecil sekaligus memperkuat posisi kelas-kelas atas (penguasa desa) untuk terus mengakumulasi modal dan membentengi diri dari gejolak rakyat kecil yang mendorong adanya redistribusi kesejahteraan dengan politik balas budi yang diraih melalui ikatan utang.

Ditulis oleh Muhammad Riski, akrab disapa yoyo. Saat ini terlibat di Perkumpulan Cita Tanah Mahardika (CTM)

Tulisan ini adalah serial kunjungan lapang di salah satu pulau yang ada di Sulawesi Selatan.  

Kepustakaan

Tulisan yang termuat di Indoprogress. “Mitos Kebersamaan dalam Acara Informal Jawa”. Ditulis Oleh Anggalih Bayu Muh Kamim.

Gerber, J.F. (2014). The Role of Rural Indebtedness in The Evolution of Capitalism. Journal of Peasant Studies, 41(5), 729–747.

Gerber, J.F. (2022). “Rural Indebtedness (Utang Pedesaan)” dalam Handbook of Critical Agrarian Studies diterjemahkan oleh STNPN PRESS. Yogyakarta.

Banaji, J. (1977). Modes of Production in a Materialist Conception of History, Capital and Class, 6, 1–44.

Badriadi, (2017). Pola Hubungan Patron-Klien Pada Komunitas Petani Rumput Laut di Desa Bungin Permai Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Skripsi: Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo.

Bhaduri, A. (1983). The Economic Structure of Backward Agriculture, London: Academic Press.

Roseberry, W. (1978). Peasants as proletarians, Critique of Anthropology, 3(11), 3–18.

Robinson, R. (1981). Culture, Politics, and Economy In The Political History of The New Order. Indonesia, 31, 1-29.

Maulana, A. (2014). “Hubungan Patron Klien Pada Masyarakat Nelayan Desa Kuala Karang Kecamatan Teluk Pekedai Kabupaten Kubu Raya”. Jurnal S-1 Sosiologi Volume 3 Nomor 2 Edisi Juni 2014.

Priyatna, F.N & Sumartono, (2011). “Pola Pemanfaatan Sumber Daya, Subsistensi Dan Pola Hubungan Patron-Klien Masyarakat Nelayan Danau Tempe, Sulawesi Selatan”. Jurnal Matematika, Sains Dan Teknologi. Volume 12, Nomor 1. Maret 2011, 37-45.

Sudarmono, Sulehan, J., Rahamah, N., (2012). “Dinamika Langganan Dalam Masyarakat Nelayan: Artikulasi Ragam Pengeluaran Perikanan Berskala Kecil Di Kelurahan Cambayya, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia”. Malaysia Journal Of Society And Space 8 Issue 8 (65– 75).


Editor: Imanda Zahwa

Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0