31 Tahun Pemberontakan Moskow 1993, Refleksi Bencana Runtuhnya Uni Sovyet 

Malam natal Desember 1991 menandai berubahnya cakrawala politik dunia untuk selamanya. Hari itu, bendera palu arit berwarna merah yang tak lain ialah bendera raksasa komunis Uni Sovyet diturunkan pelan-pelan dari atap Kremlin. Penurunannya disiarkan lewat televisi dan disaksikan milyaran mata di seluruh dunia. Negara itu lenyap dari peta dunia dalam semalam.

Adegan ini adalah klimaks dari krisis yang telah menimpa Uni Sovyet bertahun-tahun lamanya. Pada tahun 1987, pemimpin terakhirnya yakni Mikhail Gorbachev meluncurkan program reformasi dan restrukturisasi yang kita kenal sebagai Glasnost dan Perestroika. Ia percaya, sosialisme di Uni Sovyet hanya mampu bertahan bila berganti rupa dengan wajah yang neo liberal. Imajinasi naif Gorbachev yang revisionis ini tentunya salah.

Baku Tembak di Tbilisi, Georgia Beberapa Hari Sebelum Runtuhnya Uni Sovyet (1991)

Pelan tapi pasti, reformasi Gorbachev malah menambah api ke dalam sekam yang tengah membara. Berkurangnya kontrol Partai Komunis mengakibatkan bangkitnya kekuatan kontra revolusi di seluruh Uni Sovyet. Di Seantero wilayah raksasa komunis itu, secara serempak gerakan etnonasionalis juga fasis bangkit dan memulai kerusuhan antar etnis yang berdarah-darah. Belum sampai disitu, model ekonomi neo liberal memaksa kaum buruh untuk melepas kontrol mereka atas beberapa pabrik-pabrik beserta alat produksinya. Begitu diterapkan, krisis malah makin menjadi. Kelangkaan terjadi dimana-mana dan menyebabkan antrian panjang hanya untuk membeli kebutuhan sehari-hari. 

Kombinasi krisis ekonomi akibat eksperimen neo-kapitalistik serta upaya kaum etno-fasis untuk menghancurkan struktur Sovyet dengan perjuangan berdarah menghasilkan gonjang-ganjing yang menggoyang negara itu hingga ke titik terendahnya. Bulan Agustus 1991, krisis mencapai Moskow dengan sebuah upaya kudeta terhadap Gorbachev oleh perwira-perwira Sovyet garis keras serta para bos partai yang sudah muak dengan eksperimen Gorbachev. Ia beruntung, kudeta tersebut digagalkan oleh seorang tokoh bernama Boris Yeltsin yang tak kalah liberalnya dibanding Gorbachev. 

Kudeta Agustus, Moskow (1991)

Lewat kudeta itu, Yeltsin pula diuntungkan sebab namanya semakin melambung karena ia berani menantang kolom-kolom tank para putschist yang dianggap berusaha mengembalikan zaman kegelapan oleh warga Russia saat itu. Kudeta itu pula yang mengekpos lemahnya Gorbachev dan sistemnya yang semakin terpuruk. Hanya tinggal menunggu waktu saja bagi Sovyet untuk masuk ke peti mati pasca kudeta Agustus.

Boris Yeltsin adalah pemain baru dalam perpolitikan Sovyet. Namanya mulai terkenal di akhir tahun 80an, ketika perestroika dan glasnost baru dimulai dan tampil sebagai kritikus utama pemerintahan Sovyet yang dianggapnya sudah membusuk. Ironisnya, ia melawan kebusukan itu dengan kebusukan lain yakni dengan memakai retorika liberalisasi yang lebih radikal daripada glasnot dan perestroika. Ia yakin, liberalisasi sepenuhnya adalah kunci jawaban atas semua permasalahan Sovyet saat itu. Rakyat Russia mengalihkan harapan mereka pada serigala berbulu domba ini, berharap ia mampu mengurus rusaknya ekonomi serta pemerintahan yang hancur akibat korupsi yang endemik. Harapan rakyat begitu tinggi hingga akhirnya ia mampu memenangkan pemilihan presiden Republik Sovyet Russia (RSFSR) di bulan Juli 1991.

Massa Anti Komunis Membakar Bendera Sovyet (1991)

Dan tibalah hari itu, 24 Desember 1991, bendera merah Sovyet diturunkan, Gorbachev dengan muka muram mengumumkan pengunduran dirinya lalu Yeltsin dilantik sebagai pemimpin pertama dari Republik Federasi Russia. Uni Sovyet dan Republik Sovyet Russia sudah tamat riwayatnya.

Langkah Yeltsin selanjutnya adalah membongkar sistem Sovyet secara brutal, terutama di kebijakan ekonominya. Ia manut dengan saran IMF soal “terapi kejut”, yakni kebijakan liberalisasi ekonomi yang sangat radikal ketimbang glasnost dan perestroika. Terapi kejut sebelumnya juga diterapkan di negara-negara Eropa Timur pasca jatuhnya sosialisme disana. 

Begitu diterapkan di Russia hasilnya adalah bencana kemanusiaan yang besar. Pabrik-pabrik yang sebelumnya dibawah kuasa negara jatuh ke tangan pemangsa-pemangsa saham, menciptakan kelas elit baru di Russia yang bangkit dari kubur. Dibawahnya antrian panjang barang-barang pokok tumbuh berkali-kali lipat panjangnya. Inflasi meroket hingga ratusan persen dan rakyatnya terpaksa melacurkan diri demi bertahan hidup. Tahun-tahun pasca kejatuhan Sovyet diwarnai dengan kematian ribuan orang yang mati kelaparan akibat program Yeltsin. 

Sementara kebijakan Yeltsin menghasilkan sengsara di akar rumput, oposisi terhadap program ekonominya mulai berkembang di tubuh pemerintahan Russia saat itu. Anggota-anggota parlemen yang dahulu mendukung Yeltsin saat bertarung dengan pemerintahan Sovyet kini berbalik melawannya. Selama 1992, Blok-blok perlawanan terhadap ekonomi liberal mulai terbentuk di parlemen Russia. Mereka terus-menerus menghalangi Yeltsin ketika ia mengajukan proposal reformasi ekonomi lanjutan. Hal ini mendasari konflik besar antara Yeltsin melawan parlemen Rusia kedepannya. Sayangnya, para birokrat pengecut ini tidak memiliki atensi untuk mengembalikan sosialisme ke tanah mereka.

Penderitaan sudah naik ke ubun-ubun, kemarahan memuncak hingga ujung kepala. Reforma kapitalis Yeltsin telah menciptakan kesengsaraan yang begitu dahsyat, massa rakyat Russia tentunya muak namun mereka menemukan bahwa dirinya tidak terorganisir dengan cukup baik dan solid. Kaum buruh kebingungan sebab serikat buruh era Sovyet telah ambruk ketika raksasa Komunis itu rubuh. Meski begitu, pemogokan sporadis tetap berlangsung di berbagai pabrik-pabrik yang seringkali disertai dengan bentrokan berdarah. Selama 1992-1993, Moskow diwarnai dengan demonstrasi serta bentrokan berdarah antara massa rakyat melawan pasukan Yeltsin.

Bentrok saat Hari Buruh Sedunia di Moskow (1993)

Begitu cairnya massa rakyat Russia sehingga mereka akhirnya terpaksa membangun aliansi absurd yang tidak pernah terbayangkan dimana partai-partai komunis dan pro Sovyet membangun kerjasama dengan kelompok monarkis serta nasionalis hingga membentuk sebuah front politik yang betul-betul eksis. Kelompok kanan ini yang awalnya mendukung Yeltsin selama aksinya membongkar Uni Sovyet kini berbalik melawannya karena betul-betul muak dengan kehancuran ekonomi yang diciptakan Yeltsin. Kerjasama ini terbilang absurd, namun banyak kaum buruh Russia memutuskan untuk bergabung dengan front tersebut dimana hal ini merupakan konsekuensi dari absennya front politik kiri yang betul-betul kuat seperti di 1917. 

Klimaks pecah di bulan September 1993. Pada tanggal 21 September, Yeltsin mengeluarkan dekrit yang membubarkan parlemen Rusia saat itu serta menyerukan referendum untuk konstitusi baru. Parlemen, yang mayoritas diisi oleh oposisi Anti Yeltsin membalas dengan memecat Yeltsin dari jabatannya dan mengangkat Aleksandr Rutskoy, Wakil Yeltsin sebagai penggantinya selang 3 hari pasca dekrit tersebut dikeluarkan. Kejadian ini menyebabkan ketegangan ikut pula memuncak di Moskow, dimana Yeltsin mengerahkan pasukan huru-hara untuk mengepung Gedung Putih, rumah parlemen Russia saat itu supaya para anggota parlemen yang keras kepala ini bertekuk lutut di hadapannya.

Krisis ini membakar amarah massa yang telah tertimbun terhadap Yeltsin sedemikian lamanya. Hari-hari setelah dimulainya pengepungan, jalanan Moskow diwarnai dengan bentrokan besar dan berdarah antara demonstran melawan aparat keamanan. Massa demonstran kala itu masih menaruh harapan pada lawan-lawan Yeltsin di Parlemen, berharap bahwa mereka mampu mengembalikan kehidupan yang normal seperti di Uni Sovyet dahulu kala. Harapan ini tentunya naif, karena para birokrat-birokrat tersebut tidak mempunyai keberanian untuk hal itu. Namun kelompok-kelompok kiri Rusia saat itu tetap bergerak mengirim massanya dari seantero Russia ke Moskow sebagai bentuk perlawanan mereka pada Yeltsin. Diantara barisan massa, Front Komunis-Nasionalis yang telah disebutkan diatas merupakan yang paling besar dan paling mendominasi.

Lontaran batu, kepulan gas air mata hingga darah menggenangi aspal jalanan Moskow disertai dengan kejar-kejaran antara polisi bersenjata lengkap melawan massa yang hanya bersenjatakan nostalgia dan kerinduan diangan-angannya. Bendera palu arit merah yang tak terhitung jumlahnya kembali menghiasi cakrawala Moskow. Jalanan kota dipenuhi barikade-barikade dadakan yang dibangun demonstran untuk menghadapi serangan polisi. Sepanjang bertempur, massa pula meneriakkan berbagai slogan menuntut dikembalikannya Uni Sovyet secepatnya. Setelah beberapa hari perang jalanan yang cukup brutal, pada tanggal 3 Oktober massa berhasil menjebol barikade pagar betis polisi yang memblokir jalan menuju Gedung Putih. Massa dengan cepat bergerak untuk melucuti persenjataan mereka serta membajak mobil lapis baja milik aparat. 

Seorang Pembela Parlemen Berdiri Diatas Barikade (1993)

Massa akhirnya berhasil menduduki Gedung Putih. Dari balkon gedung tersebut Rutskoy berbicara langsung kepada massa, meminta mereka untuk tetap bergerak merebut stasiun TV Ostankino serta balai kota Moskow. Ketika diminta oleh massa agar ia memberikan akses ke gudang senjata parlemen yang berisi ribuan pucuk AK supaya massa bisa dipersenjatai dan melawan dengan lebih baik, lucunya ia menolak. Kala itu, massa hanya bersenjatakan senapan-senapan AK serta pentungan dan tameng hasil jarahan dari aparat keamanan yang sudah mereka gilas sebelumnya. Namun tentu saja senjata-senjata ini masih belum cukup untuk memperkuat perlawanan. Meski mengalami banyak kekurangan, seruan Rutskoy tetap diindahkan. Sore harinya massa berhasil merebut balai kota dan mengibarkan bendera Sovyet disana, setelahnya mereka bergerak menuju Stasiun Ostankino yang dijaga ketat oleh satuan khusus Spetnaz.

Sementara itu, mediasi antara parlemen dan Yeltsin yang difasilitasi oleh Gereja Ortodoks hanya menghasilkan kebuntuan. Ketika barikade Gedung Putih berhasil jebol dan bangunan tersebut diduduki, Yeltsin akhirnya benar-benar putus asa. Ketakutannya makin memuncak, terutama setelah beberapa komandan tentara menyatakan dukungan untuk Rutskoy. Selain itu di malam 3 Oktober, baku tembak antara beberapa veteran perang Afghanistan yang tergabung dalam barisan demonstran melawan pasukan khusus pecah ketika massa mencoba merebut stasiun TV Ostankino. Bentrokan tersebut meninggalkan nyaris 100 orang tewas termasuk 2 jurnalis asing yang terjebak di antara lesatan peluru tajam. Malam itu, Yeltsin menyatakan cukup. Ia segera mengorganisir divisi-divisi tentara yang mendukungnya untuk menghajar pemberontakan yang tengah menyala. Diantara divisi-divisi ini, termasuk pula divisi kavaleri berisikan tank tempur yang siap menggilas massa di Moskow.

Polisi Memblokade Iringan Demonstran ke Gedung Putih (1993)

Fajar 4 Oktober, tank-tank, kendaraan lapis baja serta ribuan pasukan yang dipesan Yeltsin sampai di Moskow, mengepung Gedung Putih dengan moncong senjata yang sudah siap memuntahkan peluru ke gedung setinggi 119 meter itu beserta manusia-manusia di dalamnya. Di belakang para prajurit ini, berdiri warga-warga kelas atas Moskow yang tentunya pendukung setia Yeltsin karena program kapitalis yang diciptakannya memang untuk mereka. Para muscovites parlente ini akan menyaksikan teater kehancuran yang akan disiarkan langsung di depan mata mereka.

Begitu mentari pagi menyingsing, peluru-peluru dari moncong kolom-kolom tank T80 menghujam dan meledakkan tubuh Gedung Putih sehingga kebakaran besar tercipta disana. Ledakan tersebut disambut pula dengan rentetan peluru dari kendaraan lapis baja BTR dan terjangan timah panas AK yang mengalir deras ibarat hujan.  Para pendukung Yeltsin yang menyaksikan adegan brutal ini memberi tepuk tangan meriah bagi tiap-tiap peluru yang dimuntahkan. Sedangkan di dalam gedung itu, Rutskoy yang putus asa menagih janji dukungan para komandan yang kemarin datang kepadanya. Ia meminta bantuan serangan udara, kebetulan ia sempat berdinas sebagai pilot di AU Sovyet saat perang Afghanistan berkecamuk sehingga ia mencoba untuk memanfaatkan relasinya disana untuk membantunya. Namun sayang, bantuan itu tak pernah datang. 

Tak butuh waktu lama, ketika siang datang pemberontakan itu dipatahkan. Para pejuang berusaha membalas tembakan dengan hanya bersenjatakan senjata api jarahan yang jelas tiada bandingnya dengan tank-tank kiriman Yeltsin. Akhirnya, satu persatu pemberontak keluar dari gedung tersebut dengan tangan diangkat sebagai tanda menyerah. Satu persatu digelandang keluar oleh para penyerbu, beberapa dari mereka dipukuli oleh para parlente pro Yeltsin yang baru timbul keberaniannya setelah bala tentara Yeltsin memenangkan pertempuran ini.

Pasukan Khusus Menembaki Gedung Putih (1993)

Tak semua digelandang, beberapa berhasil lolos. Misalnya Gennady Zyuganov, pemimpin Partai Komunis Federasi Russia yang berhasil melarikan diri lewat gorong-gorong di bawah Gedung Putih. Namun Rutskoy dan ketua parlemen, Ruslan Khasbulatov memiliki nasib yang berbeda dengan Zyuganov dimana mereka langsung dijebloskan ke bus tahanan. 

Sore 4 Oktober mengakhiri pemberontakan tersebut secara total. Para pemberontak meletakkan senjata api mereka di tanah sembari dikawal oleh bala tentara Yeltsin yang mencabik-cabik bendera palu arit Sovyet milik para pemberontak sebagai selebrasi kemenangan. Pasca pertempuran berdarah itu ribuan orang diperkirakan meninggal dan terluka. Foto Gedung Putih yang terbakar menjadi foto ikonik yang merepresentasikan kacaunya Rusia pasca jatuhnya Uni Sovyet. Moskow belum pernah menyaksikan bentrokan berdarah sedemikian parahnya semenjak Revolusi Oktober 1917.

Gedung Putih dibalik Baliho Iklan Rokok Bertuliskan “Berkencan Dengan Amerika” (1993)

Fasad Gedung Putih yang gosong menyimbolkan kemenangan Yeltsin untuk kedua kalinya dalam melawan Uni Sovyet. Setelah penyerbuan biadab itu, ia bergerak cepat dengan menyensor media-media kiri seperti Pravda yang secara aktif mengkritisinya. Ia juga melarang semua organisasi Komunis dan Nasionalis di Rusia beraktivitas untuk sementara waktu. Tak hanya melarang, ia kemudian juga menangkapi para aktivis komunis yang terlibat selama pemberontakan. Tindakan Yeltsin sendiri tidak dipublikasikan secara luas di media Rusia, sebab media Rusia sendiri sudah berada dalam kontrol lingkaran oligarki Yeltsin. Di dunia internasional pula kejadian ini hanya dianggap sebagai krisis politik biasa. Perlu diingat kala itu Yeltsin menikmati dukungan kuat dari negara-negara barat berkat reforma kapitalistiknya.

Pasukan Yeltsin Mencabik-cabik Bendera Uni Sovyet (1993)

Kemenangan Yeltsin membuat ia memiliki kesempatan untuk menyusun draft konstitusi baru yang memberikan kekuasaan lebih besar kepada Presiden sehingga ia mampu menjalankan reforma-reforma kapitalis lebih lanjut tanpa halangan yang berarti. Kala itu, Rusia masih mengadopsi konstitusi era Sovyet tahun 1978 dengan beberapa amandemen reformis yang diterapkan menjelang keruntuhan Uni Sovyet. Pergantian konstitusi ini menandai musnahnya struktur Sovyet secara total di tanah Rusia. Selain pergantian konstitusi, ia juga menjadwalkan pemilihan umum baru untuk menggantikan parlemen yang telah dibubarkan.

Sengsara berlanjut, program ekonomi Yeltsin yang tak manusiawi masih mencengkram rakyat Rusia namun kini lebih menguat daripada sebelumnya. Rakyat juga tak mampu melawan balik, sebab Yeltsin dan lingkaran oligarki Rusia telah menyuap media massa dan mempercundangi sistem sedemikian rupa sehingga mereka mampu bertahan. Belum lagi kebijakan-kebijakan anti komunis Yeltsin yang mencegah massa membangun front politik baru untuk menghajar balik oligarki Rusia yang mengontrol negara itu.

Di tahun 1994, Yeltsin memberikan amnesti bagi mereka yang terlibat selama pemberontakan 1993. Diantara yang menerima amnesti tersebut termasuk Rutskoy dan Khasbulatov. Selepasnya dari kurungan, mereka kembali menikmati kedudukan tinggi di birokrasi Rusia. Birokrat-birokrat pengecut ini tak lagi mengkritisi Yeltsin, malahan berbalik mendukung kekuasaannya. Rutskoy seakan tak ingat ribuan nyawa yang tewas dibombardir oleh peluru-peluru tank di Oktober 1993.

Russia modern dibangun dari kuburan Sovyet, dari nyawa yang wafat akibat mati kelaparan disebabkan reformasi dan mati ditembaki oleh Yeltsin. Warisan Yeltsin masih bertahan hingga kini dan berbuah menjadi otoritarianisme kronis yang kini dikelola oleh Vladimir Putin. Keruntuhan Uni Sovyet telah melemparkan negara itu ke bencana kemunduran yang tak pernah terbayangkan. 

Dibawah Putin, gerakan komunis seakan makin dipecundangi. Partai Komunis ibarat hanya menjadi penghias kotak suara selama pemilu, yang jelas tak akan menang sampai kapanpun. Namun Putin menyadari bahwa kenangan dari era Sovyet adalah hal yang tak bisa dilepaskan dari ingatan kolektif rakyat Rusia. Demi mencegah pemberontakan serupa 1993, ia akhirnya mencoba menghidupkan kembali romantisme dan nostalgia akan era Sovyet di negaranya. Beberapa kebijakan yang terkait dengan hal ini ialah mengubah melodi lagu kebangsaan Rusia menjadi sama dengan melodi lagu kebangsaan di era Sovyet, memoles parade tahunan 9 Mei (Hari kemenangan Sovyet atas Fasisme Nazi) dengan meriah dan memproduksi materi-materi propaganda soal Sovyet demi kepentingan rezimnya. Dengan hal-hal semacam ini, Putin berharap mampu mempertahankan kekuasaannya dari rongrongan kaum komunis.

Seorang Tentara Berdiri didepan Gedung Putih yang Terbakar (1993)

Perlu diakui memang ada dampak positif dari kebijakan ini yakni sejarah Sovyet yang akhirnya dipandang juga diakui secara positif, terutama soal peran Stalin dalam melawan Nazi Jerman yang tentunya mengubah jalannya perang dunia kedua sehingga ancaman gelap fasis mampu dikalahkan. Namun  romantisme ini tak berarti apa-apa sebab Putin sendiri juga menolak untuk mengembalikan struktur Sovyet dari segala aspek. Justru kebijakan ini malah mengasingkan massa rakyat Rusia dari problematika sebenarnya, yakni rezim yang tak memiliki niat untuk mengembalikan sosialisme ke tanah air mereka. Perlu diingat bahwa Putin adalah sosok yang sangat anti komunis, meski ia sendiri memoles dirinya sebagai pelindung nostalgia Sovyet. Singkatnya Putin adalah sosok pragmatis yang licik.

Kebijakan peperangan yang dilancarkan Putin ke Ukraina sama seperti di masa kekaisaran Rusia yang memutuskan untuk ikut serta dalam perang dunia pertama. Kebijakan sembrono ini hanya semakin mengasingkan massa rakyat Rusia dari masalah mereka yang sebenarnya. Memang betul, bahwa fasisme hidup di Ukraina dan Barat turut menyuburkannya. Namun perang ini malah menghadapkan rakyat Rusia di 2 permasalahan besar, yakni tirani Putin dan imperialisme barat yang sama-sama memusuhi mereka. Kelas buruh Rusia kedepannya memiliki tugas yang berat, yakni berjuang melawan rezim Putin yang sudah kepalang otoriter nan reaksioner dan mengembalikan sosialisme di dalam negerinya serta berjuang melawan ekspansionisme barat yang tentunya berusaha memanfaatkan mereka namun diam-diam memusuhi mereka. Hanya dengan kemenangan mereka melawan 2 tantangan besar ini, penebusan dosa atas bencana di 1991 mampu dituntaskan. 


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0