Kenapa Anak Mulyono Itu Tak Tahu Malu?

Penulis: Marx Randholp

Memeras negara demi keuntungan diri bukan hanya tidak bermoral tapi kriminal (Ciccero)

Inilah anak penguasa yang berlagak sultan: naik private jet, dimaki oleh nitizen dan menganggap semua itu dengan santai. Enteng saja ketika ia ditanya soal kemewahan yang diperagakannya. Baginya kemewahan itu seperti sudah melekat dalam dirinya. Mungkin untuk anak seorang penguasa hidup dengan gaya apa saja itu adalah haknya: soal uang dari mana, kekayaan dari sumber apa dan bisnis apa yang digelutinya tidaklah penting. Dirinya tidak akan pernah merasa malu bahkan ketika hidup rakyat sedang kesulitan ditambah bapaknya yang berdiam. Apa yang membuat rasa malu itu tidak jadi alat ukurnya. Mengapa anak yang usianya masih muda itu seperti tidak tahu diri dan hilang rasa hormatnya pada norma, etika bahkan simpati pada rakyatnya sendiri.

Hasil penelitian yang terbit di jurnal Political Psychology, Januari 2024, menunjukkan ada keinginan orang untuk mengubah moral mereka ketika terlibat dalam politik. Riset ini mendasarkan pada survai yang melibatkan 2.472 responden dimana orang-orang bersedia terlibat dalam prilaku dan penilaian yang tidak bermoral jika berada di ranah politik. Kata salah satu perisetnya: “politik membuat kita melakukan hal-hal yang tidak akan kita lakukan dan menoleransi hal-hal yang biasanya tidak akan kita toleransi. Terkadang, politik memunculkan sisi terburuk dalam diri kita’. Jadi kita paham dasar di balik hilangnya rasa malu dari anak penguasa ini.

Riset memberitahu bagaimana kekuasaan mengurangi empati, membuat kita munafik, dan membuat kita tidak memanusiakan orang lain. Penelitian juga membuktikan bahwa perasaan berkuasa membuat kita lebih egois dan lebih mungkin melakukan pengkhianatan. Kita bukan saja lebih banyak berbohong: kekuasaan juga membuat kita menjadi pembohong yang lebih baik. Jadi karena anak penguasa itulah dirinya merasa punya otoritas yang lebih: kekuasaan seperti tiket untuk melakukan apa yang ingin jadi kemauan nafsunya.

Aristoteles menyebut tiadanya rasa malu itu karena terjadi kemerosotan dalam kehidupan publik. Tubuh politik dirusak dengan membiarkan seorang anak muda yang tidak berkompeten mendapat kedudukan tinggi. Akibatnya integritas, kualitas, ciri dan nilai keutamaan seseorang menjadi tidak lagi dijadikan standar. Politik kemudian kehilangan moralitasnya dan moralitas disingkirkan dalam menilai perangai politik. Itu sebabnya terjadilah persekongkolan yang ditutup-tutupi dengan ketiadaan rasa malu dalam bertindak. Plato mengatakan: inilah ciri dari pembusukan.


Editor: Imanda Zahwa

Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0