Hilangnya Dialogika dan Integritas Mahasiswa

Penulis: Kristian Ndori

Pembahasan tentang mahasiswa selalu menjadi riuk dan warna-warni ihwal perubahan! Dalam warna perubahan itu, tentunya terselip integritas dan kapasitas intelektual yang merangkak pada pola pikir mahasiswa. Dari 1908 hingga 1998, peran pelajar dan mahasiswa selalu membawa cahaya perubahan dalam jantung perjuangan yang berpedoman untuk merawat perubahan. Mahasiswa sebagai organ penggerak yang turut memperjuangkan keadilan dan kebenaran serta selalu berdiri dan berteriak ihwal keadilan bersama rakyat. Peran mahasiswa dalam ajang pergerakan bisa diartikan sebagai tombak perlawanan kepada hal-hal yang dianggapnya sebagai sesuatu yang “berbau” penindasan. Kaum terpelajar yang membawa pembaharuan dalam angkatan Boedi Oetomo, menciptakan atmosfer gerakan, dan mahasiswa dijadikan sebagai aktor utamanya, sehingga gerakan itu dikenal sebagai angkatan penggerak 1908. Gerakan itu memiliki misa dan tujuan untuk mencabik ketidakadilan dan penindasan yang diarahkan kepada masyarakat yang lemah. Tak hanya itu, Boedi Oetomo juga mengedepankan kemerdekaan kepada rakyat dalam rana pendidikan agar tidak tenggelam dalam penindasan kolonialisme.

Melirik pada elektabilitas mahasiswa dalam gerakan pembaharuan – menumbangkan orde baru, mahasiswa turut menghadang dan membumikan gerakan untuk memberantas kediktatoran presiden Soeharto agar turun dari tahta kepresidenannya. Peran mahasiswa bisa dikatakan sebagai kunci utama dan menjadi bahan bakar pemangkasan otoritatif. Dalam (Supriyanto; 2022), gerakan mahasiswa 1998 adalah puncak dari suatu gerakan mahasiswa pendukung demokrasi pada akhir dasawarsa 1990-an. Gerakan ini menjadi momentum besar karena dianggap berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatannya. Gerakan ini mendapat momentum saat krisis moneter Asia melanda sejak pertengahan tahun 1997, Soeharto kembali dipilih oleh MPR RI sebagai presiden untuk ke tujuh kalinya, bersama B.J Habibie sebagai wakilnya. Sehingga, beberapa pihak, termasuk mahasiswa menuntut adanya reformasi dalam sistem pemerintah Indonesia. Dalam agenda reformasi ini, para mahasiswa menuntut agar Soeharto dan kronik-kroniknya untuk diadili.

Sehingga sebagian orang melukiskan glorifikasi kepada gerakan mahasiswa pada masa itu. Poster-poster pada lembaran koran terpampang heroik karena kegagahan mahasiswa dalam konsolidasi dan demonstrasi untuk membekukan orde baru pada 1998. Namun, fenomena itu sudah berakhir dan tenggelam. Saat ini, mahasiswa berbelok menjadi “organ” yang lunak bahkan bergabung menjadi kaum terpelajar yang asing dengan “kritis” dan “intelek”. Dalam catatan Eko Prasetyo dalam bukunya “Kampus Hari Ini; Mahal, Menindas, dan Kehilangan Integritas) dalam mengatakan bahwa budaya intelek mahasiswa telah ditindas dan di politisasi oleh kebijakan kampus demi kepentingan penguasa. 

Komparasi Mahasiswa dan Parasiswa

Mahasiswa sebagai sosok yang membawa perubahan adalah mereka yang kritis dalam “menghantam” eksploitasi dan politisasi kampusnya masing-masing. Bagi mahasiswa, gerakan harus dijadikan alat utama untuk melawan penindasan-penindasan yang terjadi di dalam kampus. Kata “maha” dalam  “maha-siswa”  yang sekolahnya dinamakan “kampus” penuh makna yang begitu mendalam. Tentu saja bermakna membawa perubahan atau “agent of change” seperti yang dicetuskan oleh Soerjono Soekanto. Makna itu bila kita bawa dalam kajian “hermeneutika”, akan diartikan sebagai kajian untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tertinggal serta mengedepankan segala hak intelektual. Tapi, apakah benar makna kata itu melekat pada tubuh mahasiswa?

Mahasiswa yang membaca puluhan buku dan berontak melawan “penindasan” di dalam kampus sangatlah sedikit, selebihnya merasa nyaman dengan dunianya yang minim literasi (baca; Bangkitalah Gerakan Mahasiswa). Mahasiswa yang mengedepankan trinitas perguruan tinggi pun hanya mereka-mereka yang paham kemerdekaan moral saja, selebihnya hanya sebagai “bumbu penyedap” yang berbakti kepada kampusnya tanpa melakukan apa-apa selain datang,diam dan pulang. Riset-riset dan analisis sosial sangatlah asing bagi beberapa mahasiswa, mediasi berjejaring bersama masyarakat pun diadakan hanya sebatas proker untuk memenuhi persyaratan lulus di kampus. Belum lagi kondisi hari ini, yang membiarkan mahasiswa menjadi peserta bayaran untuk menghidangkan acara-acara komedi di stasium televisi. Saya menyebutnya “para siswa” yang mempunyai nyawa intelek rendah. Tidak peduli berapapun dan dimanapun kampus kalian, secerdas apapun kalian, se-gagah apapun cara kalian bersinar, kalian hanyalah para siswa yang menjual jas almamater dan siap untuk dihidangkan di media nasional. Ucapan Rendra memang membentuk sebuah urunan emosional untuk mengkomparasikan mahasiswa dan para siswa,

“karena kami terlantar di jalan

Dan kamu memiliki semua keteduhan….

Karena kami kebanjiran

Dan kamu berpesta di kapal pesiar…

Maka kami tidak menyukaimu 

Untaian puisi diatas menggambarkan betapa kecewanya Rendra. Ruang-ruang diskusi mahasiswa di televisi telah dipolitisasi menjadi ruang-ruang komedi, karena “penjualan” secara komersial lebih menguntungkan daripada kiasan dialektika yang bernyawa pengetahuan. Sedihnya, mahasiswa membantu meromantisasikan undangan untuk ikut terlibat dalam “kedunguan”, jika meminjam adagiumnya Rocky Gerung. Waktu untuk mengerjakan tugas dan melakukan riset-riset agar membawa pembaharuan telah dipangkas untuk menghibur masyarakat dan mengenyangkan “kantong” televisi. 

Lebih kejamnya lagi, kampus malah memberi kebebasan kepada “para siswa” tersebut untuk duduk,diam, dan pulang dalam mantel komedi. Sebab, kampus hanya melihat bahwa dengan cara itulah semua orang akan mengenal warna jas almamater dan busana kerapian para penghuni kampusnya. Padahal, mereka secara sadar mengetahui bahwa waktu belajar “para siswa” itu telah potong untuk tertawa dan terhibur dengan nama, logo dan uang saku kehadiran.

Hilangnya Dialogika Mahasiswa

Mahasiswa adalah kaum terpelajar yang terhimpun dalam dunianya yang disebut “kampus”. Hari ini semua mahasiswa dituntut untuk dinamis dan anti-pragmatis. Namun, pada kenyataannya, tuntutan itu perlahan-lahan hanya sebatas retorika para pengajar. Instrumen pembantu rektor, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Jurusan, Unit Kegiatan Mahasiswa, dan lainnya menjadi organ dinamis yang di kontrol dan di beri pembatasan agar tidak melenceng dari aturan yang di buat oleh kampus. Yang sampai hari ini pun, aturan itu tidak melibatkan mahasiswanya untuk hadir dan merembuk bersama ihwal membuat aturan dan kebijakan. Aturan itu dicetuskan secara sepihak. Mahasiswa hanya bertugas untuk mendengar dan melihat bagaimana para pengajar membagi dan menerapkan ilmu, tanpa boleh sedikitpun untuk membantah apalagi mengetahui lebih banyak dari para pengajarnya. 

Kalau seperti ini, bagaimana mahasiswa bisa menciptakan sesuatu yang baru, sedangkan waktu mereka telah dibagi dan di pangkas untuk menghadiri undangan komedi di televisi, menghadiri pertemuan politisi dalam semboyan “anak muda”, dan menghindar dari riset analisis sosial bersama masyarakat yang kemiskinannya diketahui oleh mahasiswa dan para siswa? Bagaimana mahasiswa bisa menciptakan gagasan yang lebih “higienis” untuk kampusnya, kalau argumentasinya selalu dibatasi oleh kampus?

Lihatnya kecerdasan Bung Hatta dalam memberi kuliah ekonomi, Sjahrir dalam mengajarkan sosialisme, Jamin mengajarkan pendidikan dan kebudayaan, serta Soekarno yang mengajarkan persoalan geopolitik (baca; Kampus Hari Ini; Mahal, Menindas, dan Kehilangan Integritas). Mereka mengatasnamakan kelompoknya yang kedengarannya tidak asing dengan kelompok mahasiswa saat ini; Studi Klub Indonesia. Yang membedakan mereka dengan mahasiswa saat ini adalah hilangnya integritas dan dialogika. Freire pernah mengatakan; “Hanya dialog….yang…mampu menghasilkan pemikiran kritis.” Akan tetapi, waktu untuk berdialektika dalam dunia mahasiswa telah diborong “televisi” dan “politisi”. Sesuai ucapan Romo Mangun, bahwa mahasiswa perlu dilatih untuk suka bertanya, karena manusia yang bertanya jauh lebih tinggi tingkatnya daripada menjawab pertanyaan yang sudah ada, serta jiwa eksploratifnya harus digugah dengan menempelkan semangat berpetualang. Namun, pada kenyataannya, mahasiswa lebih gemar untuk duduk dan menonton komedi daripada berdialog dan membahas buku. Saya sepakat jika Eko Prasetyo mengatakan, bahwa matinya jiwa eksplorasi mahasiswa terdorong karena kerusakan pedagogi di kampusnya. Hubungan antara dosen dan mahasiswa yang tidak harmonis membuat kenyamanan mahasiswa diberangus (Eko Prasetyo; 2024).

Dilematis Perkuliahan

Keputusan untuk keluar dari kenyamanan yang diberangis berada pada pilihan masing-masing mahasiswanya. Dilematis perkuliahan merujuk pada fenomena kerenggangan kampus dengan semua penghuninya, khususnya mahasiswa. Mahasiswa lebih condong untuk berdiam dan dengar kepada apa yang diajarkan oleh para pengajar tanpa adanya perdebatan yang sengit. Dikatakan, jika perdebatan yang sengit itu terjadi, maka mahasiswa jatuh dalam ketidaksopanan serta tidak kondusif dan tidak antusias. Padahal dialog seperti itulah yang harus ditumbuhkan. Gencatan dan gugatan ide menjadikan mahasiswa mampu berpikir tajam apabila ruang berdialog itu “dilegalkan”. Namun, dogmatisme bahwa mahasiswa tidak boleh lebih pintar dari dosen telah diagungkan sepanjang masa. 

Mahasiswa yang datang ke kampus dengan mata terbuka menyaksikan tekanan dan tuntutan yang sifatnya struktural. Barangkali mahasiswa pernah merasakan pada saat ke kampus, dosen secara dadakan membatalkan perkuliahan dengan adanya alasan rapat dan menghadiri undangan televisi (baca; mojok.co). Ekosistem pendidikan telah dipenggal menjadi ekosistem yang buruk. Menteri pendidikan menuntut para rektor dan kepala sekolah untuk memobilisasi sekolahnya menjadi yang terbaik. Rektor dan kepala sekolah mendesak seluruh dosen dan guru agar memberikan yang terbaik kepada sekolah. Para pengajar ditekan untuk mencetak lulusan-lulusan terbaik, dan mahasiswa dan para siswa adalah objek penuntutan itu. Penekanan kecerdasan harus dibantu dengan inovasi kampus, penekanan infrastruktur harus dibantu dengan sumbangan pengembangan pendidikan atau SPP, penekanan standar kelulusan harus dibantu dengan membeli buku dari dagangan dosen, tapi ruang berdebat tidak dikembangkan dan tidak dibiarkan hidup. Represifitas rektor dalam menekan para dosen dan jabatan lektor bahwa setiap tahun harus menerbitkan paling sedikit 3 karya ilmiah yang bereputasi nasional dengan ketentuan menjadi penulis utama menjadi sebuah alutsista yang diutamakan ketimbang aspirasi mahasiswa yang tidak mampu membayar SPP. 

Meskipun pada kenyataannya, banyak dosen yang mengajar bertahun-tahun bahkan puluhan tahun dan tidak mempunyai karya ilmiah sama sekali, tapi mahasiswa di tekan dan di tuntut harus mengerjakan semua tugas tanpa adanya bimbingan yang sejahtera dan diskusi yang harmonis.

Motor Pergerakan Mahasiswa

Jika dosen yang tidak memiliki karya ilmiah sama sekali masih tetap dipertahankan sebagai pengajar, mengapa mahasiswa dituntut harus mengerjakan semua tugas dan penelitiannya? Untuk apa ketidakadilan semacam ini tumbuh dan berkembang di lingkungan kampus? Kalaupun ketidakadilan atau ketidaksetaraan itu dilawan, maka tindakan dari kampus adalah mengeluarkan mahasiswanya karena dianggap tidak mematuhi aturan kampus. Aturan yang dimaksud adalah aturan yang berpihak pada diri sendiri, bukankah demikian?. 

Dengan lantang Eko Prasetyo bersuara kepada mahasiswa, “Jangan sebut dirimu dewasa kalau menyaksikan kemiskinan, kamu hanya prihatin dan iba! Sebenarnya, siapa dirimu mahasiswa?” 

Kemiskinan tidak hanya terfokus pada ketidakpunyaan material, tetapi bisa ditunjuk sebagai kesaksian terhadap ketidakadilan, itulah yang disebut sebagai kemiskinan moral. Kita bisa melihat berapa banyak mahasiswa yang gemar menciptakan hasil karya ketimbang mahasiswa yang patuh pada kebijakan kampus yang “sepihak”. Sedihnya, saya menyaksikan mahasiswa hari ini lebih terpesona kepada konser dan pesta musik yang menghadirkan artis dan selebritis, daripada menghadiri diskusi publik yang berbasis ilmu pengetahuan. Bahkan, akademisi kampus pun lebih terpesona membawa poster usaha pribadi, arisan, dan liburan daripada perbincangan tentang riset dan inovasi bersama. Jika mahasiswa mati dalam langkah berpikirnya, maka pesona mahasiswa hanya tampil gagah ketika menyambut mahasiswa baru dan tampil keren dilayar televisi karena di undang ke acara komedi, yang hanya duduk,diam dan tertawa, lalu pulang mendapat bayaran.

Aliansi dan kelompok mahasiswa pun sama saja, tidak adanya pembaruan sama sekali. Organisasi luar kampus hanya menampilkan kegagahan pakaian dinas harian (PDH) kampus dan aksi heroik yang orasinya saja masih gelagapan, tanpa menciptakan kader yang berintelektual tinggi dalam memberangus “disposisi” kebijakan kampus yang sepihak itu. Kemenangan mereka hanya pada banyaknya kader-kader yang ditarik masuk kedalam organisasi, setelahnya dilatih menjadi kader yang baik dan penurut, baru setelah itu, keberfungsiannya hanyalah meneruskan kepengurusan yang stagnan bagi yang mau, dan sebagiannya hanya untuk mengisi kehadiran dan keseruan aksi dan konsolidasi. 

Melawan “perbudakan” hampir tidak tercium oleh gerakan mahasiswa, malah memperbudak mahasiswanya sendiri. Lihat saja, ospek yang menerapkan konsep militeristik, pelaksananya beringas mirip preman Tanah Abang di jaman Soeharto. Gerakan mahasiswa untuk melakukan pembaharuan mati ditangan mahasiswanya sendiri. Badan Eksekutif Mahasiswa pun hanya menerapkan pola keseharian atau templatenya Pejabat Negara; membentuk kabinet, dan menjalankan proker kelembagaan. Coba kita tanyakan kepada seluruh mahasiswa yang tergabung dalam organ kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa dan UKM Kampus, sudah berapa banyak karya ilmiah yang mereka terbitkan? Atau sudah membantu masyarakat dalam bentuk nyata yang seperti apa? 

Saya sering mendengar beberapa teman-teman aktivis yang mengatakan bahwa aksi dan demonstrasi adalah motor gerakan mahasiswa yang mengatasnamakan “rakyat kecil, masyarakat adat, dan kaum paling tertindas”, tapi mereka melihat kemiskinan di depan mata saja merasa hal yang biasa tanpa “tergerak hatinya”. Gerakan mahasiswa saat ini hanyalah untuk ajang pamer-pameran organisasi kampus, dan kecantikan/kegantengan di media sosial, tanpa menjiwai apa yang semestinya mereka gerakkan. Maka, untuk menghilangkan kedunguan dan pemberangusan ini, semua mahasiswa harus merubah pola pikir dan peka terhadap hal-hal yang berbau ketidakadilan dan penindasan di depan mata mereka. Tunjukan bahwa mahasiswa adalah kaum terpelajar yang bisa diandalkan untuk duduk bersama masyarakat kecil, bukan duduk bersama para komedian dan para aktris untuk menghiasi program-program televisi yang jauh dari jendela akademis. Meminjam bait terakhir dalam puisi Wiji Thukul tentang peringatan; 

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

,Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan,Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!.”


Ilustrasi: Achmad Fauzan

Referensi

Freire, Paolo, 2019. Pendidikan Kaum Tertindas. Narasi, Yogyakarta.

Ndori, Kristian, 2023. Borok Beberapa Dosen Universitas di Malang yang Suka Membolos, Menjadi Mafia Nilai, dan Malah Menipu Mahasiswa. Mojok.co https://mojok.co/esai/borok-dosen-universitas-di-malang/ 

Ndori, Kristian, 2024. Breaking The Toxic Tradition Of Ospek. Omong-Omong Media. https://omong-omong.com/breaking-the-toxic-tradition-of-ospek/  

Ndori, Kristian. 2023. Borok Beberapa Dosen Universitas di Malang Yang Suka Membolos, Menjadi Mafia Nilai, dan Malah Menipu Mahasiswa. Mojok, Yogyakarta. https://mojok.co/esai/borok-dosen-universitas-di-malang/ 

Prasetyo, Eko, 2024. Kampus Hari Ini: Mahal, Menindas & Kehilangan Integritas. Intrans Pubhlising, Malang.

Prasetyo, Eko. 2015. Bangkitlah Gerakan Mahasiswa. Intrans Pubhlising, Malang.

Ramadan, Willy, 2014. Kado Untuk Mahasiswa Aktivis. IAIN Antasari Press, Banjarmasin.

Supriyanto, 2022. Gerakan Mahasiswa Dalam Upaya Kejatuhan Pemerintah Soeharto 1998. Jurnal Impresi Indonesia (JII).

Thuku, Wiji. 1986. Peringatan. https://www.beritasatu.com/news/68126/puisi-wiji-thukul-yang-paling-populer 

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0