TANJUNG PRIOK 1984: Refleksi dan Autokritik 40 Tahun Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat yang Mandek

Penulis: Zain N. Haiqal

Kalau ngomongin tentang pelanggaran HAM di Indonesia, salah satu yang paling membekas ialah peristiwa Tanjung Priok. Tanjung Priok bukan sekadar pelabuhan besar di utara Jakarta, tapi juga bagai simbol  atas luka sejarah yang sampai sekarang masih terasa getir. Bayangkan saja, bilamana peristiwa ini sudah lebih dari 40 tahun berlalu, tapi penyelesaiannya masih kabur dan seperti nggak ada ujungnya. Peristiwa ini terjadi pada 12 September 1984, nggak cuma soal kerusuhan tetapi juga cerita panjang tentang pelanggaran HAM berat, ketidakadilan, dan impunitas yang masih terus terjadi.

Kisah ini dimulai dari insiden kecil yang terjadi di Masjid As-Sa’adah, Tanjung Priok. Pada 8 September 1984, Sersan Hermanu, seorang anggota militer, masuk ke masjid tanpa melepas sepatu, sebuah tindakan yang dianggap nggak sopan oleh jamaah. Kejadian ini memancing amarah warga, karena masjid adalah tempat yang suci bagi umat Islam, dan tindakan Hermanu dianggap sebagai pelecehan. Motor Hermanu dibakar, dan situasi makin panas. Insiden ini hanya percikan kecil, tapi seperti bensin yang dilempar ke api, kejadian ini memicu kerusuhan yang lebih besar.

Empat hari kemudian, tepatnya pada 12 September 1984, suasana makin panas. Jamaah masjid, yang merasa bahwa insiden ini bukan hanya soal sepatu di masjid, tapi juga simbol ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat, menggelar protes. Massa bergerak di depan Kantor Komando Militer Jakarta Utara, menuntut keadilan. Namun, situasi yang sudah panas ini malah meledak ketika bentrok dengan aparat militer terjadi. Penembakan massal terjadi. Berdasarkan catatan, 24 orang tewas dan 54 lainnya luka-luka. Namun, angka-angka ini masih simpang siur hingga saat ini, karena beberapa laporan menyebut jumlah korban lebih banyak.

Kalau kita mau jujur, peristiwa Tanjung Priok ini adalah salah satu contoh nyata bagaimana populisme dan otoritarianisme di masa Orde Baru berjalan beriringan untuk menekan aspirasi masyarakat. Pemerintah Orde Baru saat itu, di bawah Soeharto, sedang gencar menerapkan kebijakan Asas Tunggal Pancasila. Kebijakan ini dipaksakan ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk komunitas Islam, yang merasa bahwa ideologi mereka terancam. Populisme yang digunakan pemerintah adalah retorika tentang “stabilitas nasional,” seolah-olah apa pun yang dianggap berlawanan dengan Pancasila harus dibungkam.

Situasi ini menciptakan ketegangan di kalangan masyarakat, terutama komunitas Islam yang merasa hak-hak mereka dirampas. Ketika masyarakat merasa nggak didengar, protes dan kerusuhan menjadi jalan terakhir. Peristiwa Tanjung Priok bukan hanya sekadar bentrokan spontan, tapi bagian dari ketidakpuasan masyarakat terhadap otoritarianisme yang menyusup dalam setiap aspek kehidupan. Di sini, kita melihat bahwa populisme yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan sering kali berakhir dengan pelanggaran HAM.

Kegagalan Negara Melindungi Warganya

Setelah peristiwa itu terjadi, harapan akan keadilan untuk korban dan keluarga mereka mulai muncul. Namun, seperti banyak kasus pelanggaran HAM lainnya di Indonesia, proses hukum terhadap peristiwa Tanjung Priok berlangsung sangat lambat. Pada tahun 2003, atau hampir 20 tahun setelah peristiwa terjadi, baru ada upaya nyata dari pemerintah untuk mengadili kasus ini lewat Pengadilan HAM Ad Hoc. Sayangnya, hasil dari pengadilan ini jauh dari memuaskan. Banyak keluarga korban merasa bahwa prosesnya nggak transparan, dan pelaku-pelaku yang terlibat hanya dijatuhi hukuman ringan atau bahkan dibebaskan.

Peristiwa Tanjung Priok menunjukkan bagaimana erosi kepercayaan terhadap institusi negara bisa terjadi. Ketika negara gagal melindungi warganya, atau bahkan menjadi pelaku kekerasan, maka rasa percaya itu hilang. Di sini, kita bisa belajar bahwa demokrasi yang sehat nggak hanya tentang kebebasan berbicara atau pemilu, tapi juga soal bagaimana negara memastikan keadilan bagi semua warganya.

Salah satu faktor yang sering dilupakan dalam peristiwa Tanjung Priok adalah ketidaksetaraan sistemik yang melatarbelakangi kemarahan warga. Di Tanjung Priok, yang notabene adalah daerah buruh dan kelas pekerja, ketidakpuasan terhadap pemerintah sudah lama terpendam. Kebijakan ekonomi Orde Baru yang lebih menguntungkan elite politik dan ekonomi, membuat masyarakat di bawah merasakan dampaknya secara langsung. Ketidakadilan ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal representasi politik. Masyarakat merasa bahwa mereka tidak punya suara, dan ketika suara mereka akhirnya disampaikan melalui protes, respon yang mereka dapatkan adalah peluru.

Ketidaksetaraan seperti ini sering kali menjadi pemicu konflik. Ketika satu kelompok masyarakat merasa tertindas atau diabaikan, maka kerusuhan bisa dengan mudah terjadi. Peristiwa Tanjung Priok menjadi salah satu bukti bahwa ketidaksetaraan yang dibiarkan tanpa penyelesaian hanya akan berujung pada kekerasan.

Di negara demokratis, hak-hak minoritas harus dilindungi. Namun, peristiwa Tanjung Priok menunjukkan bagaimana hak-hak ini sering kali diabaikan, bahkan oleh negara. Pada masa Orde Baru, kelompok-kelompok yang dianggap berseberangan dengan pemerintah sering kali ditekan. Komunitas Islam di Tanjung Priok adalah salah satu kelompok yang merasa bahwa mereka dipinggirkan. Tindakan Sersan Hermanu di masjid, meskipun mungkin terlihat sepele bagi beberapa orang, adalah simbol dari pengabaian terhadap hak-hak minoritas untuk menjalankan ibadah mereka dengan tenang.

Ketika pemerintah menggunakan kekerasan untuk meredam protes, maka hak-hak dasar, seperti hak untuk hidup dan kebebasan berkumpul, dilanggar. Peristiwa Tanjung Priok adalah pelanggaran HAM berat yang seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua, bahwa hak-hak minoritas harus dihormati dan dilindungi, apapun keadaannya. Apa yang terjadi di Tanjung Priok pada 12 September 1984 adalah bentuk nyata dari manipulasi norma demokrasi. Pemerintah Orde Baru menggunakan retorika stabilitas nasional sebagai alasan untuk menekan protes dan pembangkangan. Mereka berusaha menjaga citra bahwa negara dalam keadaan damai dan terkendali, padahal di balik itu, suara-suara yang tidak setuju dibungkam dengan kekerasan.

Penggunaan militer untuk menghadapi warga sipil yang melakukan protes damai adalah pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Pemerintah seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan pelaku kekerasan. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa ketika kekuasaan dipusatkan tanpa kontrol yang cukup, maka norma-norma demokrasi bisa dimanipulasi untuk membenarkan kekerasan.

Epilog

Jika kita melihat ke belakang, peristiwa  Tanjung Priok seharusnya tidak perlu terjadi. Insiden ini menunjukkan bagaimana kebijakan yang diskriminatif dan respons militer yang brutal hanya akan memperparah situasi. Lebih dari itu, peristiwa ini juga mengajarkan kita bahwa dialog dan pemahaman antar kelompok masyarakat adalah kunci untuk mencegah kekerasan.

Kini, setelah lebih dari 40 tahun berlalu, sudah seharusnya kita merenungkan apakah kita telah belajar dari kejadian ini. Apakah kita sudah memperbaiki sistem hukum kita agar kasus seperti Tanjung Priok tidak terulang lagi? Atau apakah kita hanya mengulang kesalahan yang sama? Banyak keluarga korban masih menunggu keadilan, dan hingga kini, penyelesaian kasus ini masih jauh dari harapan.


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0