
Penulis: Panji Nugroho
“Oposisi bukan budaya kita”, demikian ucap mantan jenderal yang diberhentikan dengan tidak hormat dari satuan militernya, atau bahasa halusnya dipecat!
Prabowo menegaskan dirinya sebagai bukti tidak terbantahkan—ketika gagal menjadi oposisi di hadapan mantan lawannya di dua kali kompetisi calon presiden—akhirnya merapat ke kolam kekuasaan.
Selain memang tarian maut Mulyono a.k.a Jokowi yang membuat Prabowo tertarik masuk ke kolam istana, sekaligus menjadi pelindung terkuat Jokowi dari segala serangan. Rupanya dia bukan cuma bertugas Menjadi Pertahanan bagi bangsa ini, namun juga menjadi Menteri Pertahanan pribadi Jokowi. Sebagai seseorang yang dipungut dari luar kekuasaan, kini Prabowo sebagai anak baik, kini belajar menarikan tarian yang sama dengan Jokowi, pendahulunya—untuk menarik semua oposisi masuk ke kolam kekuasaan.
Matinya Demokrasi dan Oposisi
Tak bisa disangkal, dari berbagai penelitian teranyar melaporkan kondisi demokrasi Indonesia, di mana saat ini demokrasi Indonesia tidak saja stagnan, namun juga mengalami kemunduran (backsliding/regresion), bukan saja sakaratul maut, kini sudah di dalam peti mati dan sisa dibawa ke pemakaman. Di Pilkada 2024 makin terbukti dengan kehadiran jumlah kotak kosong di lebih dari 40 daerah di Indonesia. Dalam pandangan Ian Wilson, tanpa keputusan MK kemarin bisa sampai 200 daerah hanya satu paslon, ini merupakan hasil dari kartelisasi partai politik yang bertujuan menutup kompetisi. Langkah sistematis Mulyono mengkremasi demokrasi Indonesia.
Dalam buku How Democracies Die, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menjabarkan kematian demokrasi di berbagai belahan dunia. Selain itu, dalam buku ini diterangkan bahwa soal kematian demokrasi tidak saja melalui kudeta oleh jenderal militer, namun kisah kematian demokrasi yang monumental justru datang dari proses paling demokratis. Konstitusi dan lembaga-lembaga berlabel demokratis masih tetap ada, dan rakyat tetap memberikan suara mereka. Namun penguasa otoriter melalui pemilu mempertahankan penampilan demokrasi sambil menghabisi substansinya.
Kematian demokrasi melalui jalur elektoral yang tampak demokratis seringkali tidak disadari oleh warga. Banyak yang tetap percaya mereka hidup dalam sistem demokrasi, meskipun tanda-tanda kediktatoran sudah terlihat jelas di depan mata. Hegemoni kekuasaan memoles gincu kekuasaan begitu cantik dan berhasil menipu banyak mata.
Mengutip Juan Linz, Levitsky dan Ziblatt memberi empat ciri tanda bahaya kematian demokrasi yang kini sudah tampak dengan mata telanjang di tempat kita: 1) Menolak aturan main demokrasi, baik melalui ucapan maupun tindakan, 2) menyangkal legitimasi lawan politik, 3) mendukung atau mendorong penggunaan kekerasan, 4) menunjukkan kesediaan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.
Empat ciri tersebut perlu menjadi alarm bagi rakyat Indonesia, dari otoritarianisme Mulyono menuju otoritarianisme 2.0 si Gemoy plus nepobaby-nya.
Prabowo dan Oposisifobia
Di Rakornas Partai Amanat Nasional (PAN) pada Kamis, 9 Mei 2024, Prabowo berkata—“jika tidak ingin gabung pemerintahan, jangan mengganggu. Kita mau kerja”. Bayangkan, Prabowo tidak ingin diganggu pemerintahannya. Doi lupa bahwa tugas rakyat adalah mengawasi dan juga mengkritik jalannya pemerintahannya—sebab rakyat kadung mati rasa kepada wakil rakyat di Senayan – yang sudah berhasil ditaklukkan oleh Raja Jawa yang kebetulan menjadi Presiden sebelum dirinya.
Sebelum Prabowo dilantik, perhatikan cara DPR hendak mengevaluasi putusan MK yang secara konstitusi jelas bersifat final dan mengikat alias tidak dapat diganggu gugat. Ini malah DPR sekonyong-konyong hendak menganulir putusan MK dan sok-sokan hendak merevisi RUU Pilkada. Perlu diingat sembari dibayangkan, dalam sejarah pembahasan rancangan UU yang pernah ada, proses pembahasan RUU Pilkada paling singkat dan menutup ruang partisipasi publik.
Agenda pembahasan revisi UU Pilkada digelar pada 21 Agustus 2024, pukul 11.00 Baleg DRP membentuk panitia kerja DPR dan pemerintah untuk melakukan pembahasan lebih lanjut. Pada pukul 17.00 sudah dihasilkan Keputusan atas hasil tingkat I bahwa revisi UU Pilkada akan dibawa ke rapat paripurna atau pembahasan tingkat II sebelum kemudian disahkan. Perhatikan betap kilatnya prosesnya. Bayangkan RUU PRT dan RUU Masyarakat Adat yang dibiarkan mangkrak belasan tahun.
Sesaat setelah bahasan revisi RUU Pilkada yang tak ubahnya bak perampok di tengah malam, esoknya berbagai elemen mahasiswa dan rakyat di berbagai daerah turun ke jalan dan menyatakan protesnya. Demontrasi di berbagai tempat berlangsung beberapa hari meski represifitas aparat di beberapa kota juga tak kalah beringasnya.
Belum tuntas amarah rakyat di demo akbar RUU Pilkada yang lalu. Prabowo seolah melanjutkan dan menegaskan fobianya terhadap oposisi. Hal itu disampaikan Prabowo dalam pidatonya di Kongres III NasDem pada 27 Agustus 2024. Prabowo menekankan budaya Indonesia adalah saling bekerja sama sesama anak bangsa.
“Kita harus kerjasama. Kita harus kolaborasi, jangan kita mau ikut-ikut budaya lain. Budaya barat atau budaya mana itu mungkin suka oposisi-oposisi, gontok-gontokan, oposisi, nggak mau kerjasama itu mungkin budaya mereka,” kata menantu Soeharto itu.
Ketika Prabowo menyebut diri hendak bekerja, yang dimaksud bekerja sama oleh Prabowo ialah, bekerja sama dalam merampok kekayaan alam Indonesia, bekerja sama merampok anggaran, bekerja sama memperkaya diri dan keluarga. Prabowo lupa bahwa nafas dari konstitusi adalah partisipasi rakyat dalam mengawal jalannya pemerintahan. Denyut nadi demokrasi adalah kebebasan berpendapat.
Mencermati pernyataan Prabowo tersebut, secara hermeneutis, keluar dari konteks dirinya yang tengah mempersiapkan –ibarat calon pengantin—hari bahagianya, sebuah hari yang dinanti dari ribuan purnama. Dalam kacamata hermeneutik kecurigaan, pernyataan Prabowo tersebut membunyikan tanda bahaya kematian berkali-kali demokrasi.
Regresi Indonesia atau disebut juga backsliding democrazy salah satu penandanya ialah kematian oposisi dalam satu pemerintahan. Alat gebuknya tak main-main, selain aparat, juga termasuk regulasi busuk bernama UU ITE. Ibarat sudah jatuh, tertimpa Jokowi dan kini bonus tubuh gemoy Prabowo. Sialan!
Ilustrasi: A nutshell
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!