Penulis: Karaeng Pettawaranie
Pagi ini, di atas trotoar, berbaring seorang juru parkir lanjut usia.
Dia baru saja mengarungi malam yang dingin.
Berbaring di atas selembar karton.
Tak jauh dari tempatnya, tampak beberapa remaja tengah menyantap sarapan paginya,
remaja berseragam itu tak lain adalah pelajar yang bersiap untuk menghadiri upacara Peringatan Proklamasi.
Upacara,
Entah apa yang didapat dari warisan Orde Baru itu,
selain mewarisi gaya militer.
Kecuali ada yang berpikir bahwa mengikuti upacara begituan bisa meningkatkan kadar nasionalisme dalam diri kita.
Itu baru pemikiran..
yang ngawur!
Hari Kemerdekaan,
Saya lebih suka menyebutnya peringatan Proklamasi, sebab memang tak kemerdekaan di 17 Agustus.
sebab peringatan 17 Agustus itulah ku saksikan buruh-buruh hotel berhamburan ke luar hotelnya berpakaian pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia, tengah merayakan momentum Proklamasi dengan lomba-lomba.
Aku berjalan kembali,
ku saksikan seorang bapak dengan becaknya yang berisi tumpukan karton, tengah berhenti sejenak, menatap pengendara yang melintasi jalanan di pagi yang ramai ini.
Sedangkan di kejauhan sana,
tersiar kabar dari ibukota baru Indonesia yang memakan anggaran puluhan triliunan.
Ditambah kendaraan yang digunakan datang ke tempat upacara memakan duit puluhan juta.
Kabar ini sungguh merobohkan akal sehat, menghina kemanusiaan dan tentu saja keadilan, dan tentunya semangat juang bagaimana membacakan Proklamasi kala itu diupayakan.
Para pendiri bangsa memutuskan untuk memproklamirkan kemerdekaan agar menghentikan semua praktik penjajahan yang menginjak-injak peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Namun sekarang, lihat sekelilingmu,
Lihat dengan nurani yang bening,
Tengok ke dalam realitas konkrit.
Di mana letak kemerdekaan yang hakiki itu?
Aku tanya padamu.
Masih di alam ide.
Belum ada di bumi bernama Indonesia.
Perhatikan kekayaan yang menumpuk di segelintir orang yang ber-KTP Indonesia, di satu sisi berevoluasi menjadi penjajah baru.
Merampas tanah, menggusur warga lain demi alasan gigantik Pembangunan, investasi dan semua bualan politik lainnya.
Dan pada hutang negara yang makin membengkak itu,
negara berhutang pada juru parkir di pagi ini dan semua rakyat Indonesia yang diperlakukan sebagai turis di halaman desanya sendiri–bernama Indonesia.
Rasanya, aku pun tak bernafsu berpekik MERDEKA.
Kini, ingin ku terikkan saja: MEREKA!
Buanjingan!
Di kolong langit Djokdja,
Tanggal tujuh belas,
Bulan agustus,
Tahun dua ribu dua puluh empat.
Ilustrasi: A nutshell
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!