Memori, Giuliani

Penulis: Adityo Fajar (Penulis menetap di lereng Gunung Semeru)

20 tahun pasca kematiannya, ribuan orang berkumpul di alun-alun Piazza Alimonda. Seorang ayah yang menjadi pengurus serikat buruh sayap kiri (CGIL) berbicara di depan kerumunan. Massa menghormatinya sebagai keluarga martir. Tugu peringatan mungil di atas rerumputan alun-alun dan puluhan mural di tembok kota dibuat untuk mengenangnya. 

Carlo Giuliani masih berusia 23 tahun ketika pistol carabinieri melesatkan peluru menembus jidat. Ia tewas dalam rangkaian protes selama KTT G8 di Genoa tahun 2001. Dia seorang mahasiswa sejarah. Pemuda badung, dan sedikit berandalan. Lebih doyan menyambangi kawasan kumuh, daripada menyamankan diri di kediamannya. Aktif dalam kegiatan sosial, di usia belia Giuliani memberanikan diri mengadopsi anak lewat pengasuhan jarak jauh. 

Seorang anarkis berplakat hitam yang siap berkelahi. Akhirnya tewas dalam perkelahian akbar antara kuasa modal dan amarah publik. Anak muda yang sudah dirasuki tekad memang tak punya obat, termasuk yang bernama Giuliani. Perihal kematiannya, foto yang diambil Dylan Martinez dari Reuters, ditampilkan secara mencolok di media Italia dan internasional sehari setelah penembakan. 

Di gambar itu Giuliani membungkus kepala dengan balaclava. Merangsek ke mobil polisi dengan tabung pemadam kebakaran yang digendong. Tangan dari dalam van kemudian menjulur, menembak. Dor! Demonstran muda itu tersungkur ke tanah berlumuran darah. Foto-foto lebih lanjut menunjukkan van melindas kaki Guliani setelah ditembak. 

Seribuan pelayat tiba di prosesi pemakaman. Gualiani di taruh di peti mati berhias kembang pakis dan bendera AS Roma, klub sepakbola kesayangannya. Dalam lagunya Bily Joel melantunkan bait, “I’d rather laugh with the sinners than cry with the saints. You know that only the good die young.” Hanya orang baik yang mati muda, walau mungkin dia pendosa.

Adapun di saat itu suasana memang tak tenang. 300-an ribu pengunjuk rasa bertekad menyetop KTT, melawan apa yang mereka sebut agenda globalisasi kapitalisme. Sebagian mereka terinspirasi pemberontakan Zapatista di Meksiko, tujuh setengah tahun sebelumnya. Sebagian lagi mungkin dipengaruhi teori ‘de-globalisasi’ dari Walden Bello, ekonom dan ekologis yang tulisannya sedang mendapat perhatian.

Tentu saja itu bukan jenis protes yang damai. Mobil lapis baja berderet di sekujur kota. Ribuan orang memakai masker anti gas air mata dan tameng, mengimbangi atribut milik polisi. Batu terlontar dan api menjalar selama berjam-berjam. Sembari membentangkan poster warna warni, orang-orang jelas terlihat sangat murka. The Guardian melabeli nya sebagai ‘The Bloody Battle of Genoa’. 

Saya menulis peristiwa ini di tahun yang sama untuk pamflet kacangan yang kami cetak lewat fotokopi. Pamflet yang kami edarkan di kampus. Tulisan yang saya buat ini disebut buruk pun belum pantas. Kabar dari Genoa yang saya ketahui dari koran dan warnet terlalu menarik untuk diabaikan, jadinya saya bergiat menuliskannya. Judulnya, ‘Api dari Genoa: Dunia Yang Lain itu Mungkin’. 

Judul boleh terkesan menggoda, tapi paragrafnya amat berantakan. Struktur kalimatnya banyak yang awut-awutan. Sebagian lagi dibikin tampak canggih, buat bergaya, tapi malah sulit dicerna. Sebetulnya saya hanya ingin bilang di tulisan tersebut, “kapitalisme itu tai, ayolah melawan seperti di Genoa!”. Sedangkal, dan sekaligus semurni itu. Khas mereka yang muda.

Tentu saja saya akan membawa peristiwa di Genoa dalam cerita-cerita kedai kopi, serta orasi-orasi demonstrasi. Seolah saya ada di peristiwa tersebut.  Di tembok kamar kos saya tertancap gambar Che Guevara. Lemari baju ditulisi dengan spidol dengan slogan terkenal protes Genoa: ‘Another World is Possible’. Saya bukan satu-satunya anak muda yang saat itu sungguh-sungguh ingin melihat kapitalisme roboh.

Dua dasawarsa pun berlalu. Kapitalisme tak lagi sama sejak krisis 2008. Ribuan orang masih berkumpul di Piazza Alimonda, Genoa. Menghidupkan nama Giuliani yang jasadnya sudah lama dikremasi. Film tentangnya dibikin

di tahun 2002, dikirim ke Festival Cannes, walau kemudian ditarik. “Ini bukan kenangan retoris, ini tentang (kehidupan) yang kekurangan keadilan”, terang aktivis komunis dalam acara peringatan tahun ini.

Pada negeri kita, orang tewas di tangan negara juga bukan sekali semata. Namun kontrasnya begitu tajam. Coba mintalah aktivis-aktivis itu menyebut nama pemuda-pemuda yang tewas sepanjang penolakan revisi undang-undang yang bermasalah. Besar kemungkinan mereka perlu dibantu Google untuk menjaganya. Orang Indonesia tak memiliki sejarah. Ingatannya rapuh. Tukang melawannya saja tak ingat kawan melawan yang gugur. Sebetulnya mereka melawan untuk apa?


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0