Oleh Nur Izzulhaq
CHAPTER I:
“Negara tanpa ingatan akan sejarahnya adalah negara yang dipenuhi orang gila”
Boedi Oetomo, didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 di Batavia, merupakan organisasi pergerakan pemuda pertama di Negeri Mawar. Gagasan awal pendiriannya muncul dari dr. Wahidin Soedirohusodo, seorang dokter pribumi yang prihatin dengan kondisi bangsa Mawar yang tertinggal di berbagai bidang. Beliau menghimpun para pelajar STOVIA (Sekolah Tinggi Opleiding van Inlandsche Artsen) untuk mendirikan organisasi yang bertujuan untuk memajukan pendidikan dan persatuan bangsa.
Meskipun didirikan oleh para pelajar kedokteran, (seperti dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan dr. Soetomo), Boedi Oetomo tidak hanya fokus pada bidang kesehatan. Organisasi ini memainkan peran penting dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan persatuan di kalangan rakyat Negeri Mawar. Boedi Oetomo mempunyai peran penting dalam perkembangan bangsa ini: Pertama, Boedi Oetomo mendirikan sekolah-sekolah dan kursus untuk meningkatkan taraf pendidikan rakyat Negeri Mawar. Mereka juga menerbitkan majalah dan buku-buku yang berisi pengetahuan dan gagasan kebangsaan. Kedua, Boedi Oetomo memprakarsai Kongres Pemuda I dan II, yang menghasilkan Sumpah Pemuda yang terkenal. Kongres-kongres ini menjadi wadah bagi pemuda dari berbagai daerah di Negeri Mawar untuk bersatu dan memperkuat tekad mereka untuk mencapai kemerdekaan. Ketiga, Boedi Oetomo terlibat dalam pergerakan politik nasional, seperti Volksraad (Dewan Rakyat) dan Parindra (Partai). Mereka memperjuangkan hak-hak rakyat Negeri Mawar dan menuntut kemerdekaan dari para penjajahnya.
Boedi Oetomo telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perjuangan kemerdekaan Negeri Mawar. Organisasi ini telah membangkitkan semangat nasionalisme dan persatuan di kalangan rakyat Negeri Mawar, serta membuka jalan bagi pergerakan nasional yang lebih luas.
Jika kita membaca sejarah, kita akan membaca DNA kita sebagai bangsa. Kita akan mengetahui siapa diri kita dan jati diri kita. Kalau kita tahu menahu DNA kita dan tahu menahu mengenai sejarah kita, kita akan lebih kaya akan pedoman dan perspektif sebagai bangsa. Namun masyarakat Negeri Mawar (khususnya para pejabat) cenderung terbiasa melupakan pengalaman masa lalu, dan malah menganggapnya tak bakal terjadi lagi.
Sejarah bukan hanya kumpulan fakta-fakta yang tersusun berdasarkan tahun dan nama peristiwa. Sejarah seharusnya menggali lebih dalam, menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” di balik peristiwa-peristiwa tersebut. Dengan pemahaman yang mendalam ini, suatu bangsa dapat menganalisis berbagai masalah yang dihadapi dengan lebih baik.
CHAPTER II: “Jika kebebasan berpendapat dirampas maka kita akan menjadi bodoh dan diam. Seperti domba yang digiring ke pejagalan”
Di pojok-pojok gedung tua berlumut, di bawah bayang-bayang pepohonan yang mengelilingi kampus, tersimpan ironi yang menjerat pikiran para penghuninya. Kampus, yang seharusnya menjadi laboratorium demokrasi, kini justru berubah menjadi benteng kokoh yang mengekang suara-suara kritis. Ia adalah miniatur negara dalam bentuknya yang paling getir, sebuah negeri mawar dimana kebebasan perlahan meredup. Dalam lorong-lorong kampus yang sepi, gema represi terdengar nyaring. Mahasiswa, yang seharusnya menjadi penggerak perubahan, terbungkam dalam ketakutan. Diskusi-diskusi dibatasi, seminar-seminar dibubarkan, dan suara-suara kritis dipadamkan dengan ancaman. Mereka yang duduk di kursi-kursi kekuasaan akademik tampaknya lupa akan hakikat pendidikan yang sejati. Rektor yang dulunya adalah pejuang kebebasan berpendapat kini bertransformasi menjadi algojo yang menebas sayap-sayap kebebasan. Kampus yang seharusnya menjadi surga intelektual, malah menjelma menjadi penjara pemikiran, dimana ide-ide segar terjerat dalam belenggu ketakutan dan dogma. (Badala Kampus Miniatur Negara, Wirasena)
Kebebasan berpendapat adalah hak asasi manusia yang mendasar. Hak ini memungkinkan individu untuk mengekspresikan pikiran, ide, dan keyakinan mereka tanpa rasa takut atau dan mengalami represi. Namun, di Negeri Mawar ini, kebebasan berpendapat semakin mahal harganya. Seorang dokter yang mempunyai kapabilitas dan peduli terhadap negerinya, namun suaranya dianggap sebagai sebuah ancaman. Hanya karena suaranya mengganggu tidur sang penjabat, seorang dokter mendapatkan represi dari benteng kekuasaan.
Di negeri ini, kebebasan berpendapat harus dibayar mahal. Ada beragam cara kekuasaan untuk melakukan pengekangan kebebasan berpendapat, mulai dari pembredelan dan pembungkaman media, intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis dan aktivis, hingga regulasi dan undang-undang yang membatasi ruang ekspresi. Itu semua dilakukan dengan dalih menjaga stabilitas nasional, membuat lingkungan yang kondusif, melindungi moralitas, mencegah ujaran kebencian atau mengatakan bahwa budaya kritik bukan budaya kita. Meskipun terdapat alasan-alasan tersebut, pengekangan kebebasan berpendapat tidak dapat dibenarkan. Alasan pertama, pembungkaman suara kritis hanya akan memperburuk situasi dan memicu ketegangan sosial. Lingkungan masyarakat yang sehat membutuhkan ruang untuk berdialog dan berdebat, bukannya dibungkam dan dipaksa untuk tunduk pada satu suara tunggal. Kedua, pengekangan kebebasan berpendapat dapat menghambat suatu kemajuan dan inovasi bangsa. Ketika ide-ide baru dan pemikiran kritis ditekan, maka potensi untuk menemukan solusi kreatif dan memperbaiki keadaan pun menjadi terhambat. Kemajuan hanya dapat tercapai melalui pertukaran ide yang bebas dan terbuka. Apakah memang bangsa ini ditakdirkan untuk menjadi bangsa yang berjalan mundur? Ketiga, pengekangan kebebasan berpendapat merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan melemahkan demokrasi. Di negara-negara demokratis, rakyat memiliki hak untuk menyuarakan pendapat mereka dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Ketika hak ini dikekang, maka rakyat kehilangan suaranya dan demokrasi menjadi terancam.
CHAPTER III:
“Dominasi orang asing yang besar dalam suatu negara dapat menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan dan kemerdekaan negara tersebut”
Miris rasanya ketika ada dokter yang peduli terhadap negerinya dengan cara menolak dokter asing, agar dokter lokal dapat mendapatkan pekerjaan, tetapi suaranya malah disalahartikan sebagai suatu ancaman dan bentuk ketidaksukaan terhadap negara.
Kebijakan mendatangkan dokter asing ke Negeri Mawar menuai banyak kontrovensi. Pejabat Negeri Mawar berdalih kebijakan ini dapat mengatasi kekurangan dokter di beberapa daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. “Misi utama pemerintah mendatangkan dokter asing adalah untuk menyelamatkan sekitar 12 ribu nyawa bayi per tahun yang berisiko meninggal akibat kelainan jantung bawaan.” Kata Menteri Kesehatan Negeri Mawar yang bukan seorang dokter. Kata Menkes yang bukan dokter itu juga mengatakan bahwa dokter asing dan dokter lokal bukan didiskusikan untuk bersaingan. Enggak. Dia juga mengatakan bahwa sekarang kita lagi akselerasi pengisian sumber daya manusianya. Kalau ada alatnya, tapi nggak ada sumber daya manusianya, kan, percuma. Namun apakah ceritanya benar demikian?
Pertama, dampak terhadap dokter lokal. Masalah utamanya adalah kurangnya distribusi dokter yang merata. Jika kita lihat dalam kenyataannya bahwa kita kekurangan dokter di beberapa daerah terutama di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar. Jika di kota-kota besar bisa dikatakan yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu penumpukan dokter. Lantas jika dengan dalih kita kekurangan dokter, apakah dokter asing mau ditempatkan di wilayah terpencil, terdepan, dan tertinggal yang notabenenya kekurangan dokter? Dapat dikhawatirkan dokter asing akan mengambil alih lapangan pekerjaan dokter lokal, terutama jika dokter asing ditempatkan di daerah-daerah kota besar yang sudah cukup atau bahkan kelebihan dokter. Hal ini dapat memperburuk kondisi ketenagakerjaan dokter lokal dan menghambat perkembangan karir mereka. Lalu kenapa banyak dokter lokal yang tidak mau ditempatkan di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar?
Kedua, kualitas dokter lokal sama dengan kualitas dokter luar negeri atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan kualitas dokter luar negri. Namun layanan kesehatan di Negeri Mawar ini kalah dengan luar negeri karena alat kesehatan yang ketinggalan jauh. Di luar negeri, alat kesehatan dan obat mendapatkan pajak yang rendah atau bahkan tidak dipungut pajak, sehingga layanan kesehatannya lebih murah dan berkualitas. Sementara di Negeri ini, alat kesehatan dan pelayanan kesehatan diberlakukan pajak yang besar. Sehingga, rumah sakit tidak mampu membeli alat kesehatan yang canggih. Selain itu, penggelontoran dana kesehatan oleh pemerintah di luar negeri juga besar. Sedangkan di Negeri ini, kesehatan di nomer tigakan sehingga mendapatkan perhatian dan pembiayaan yang sangat kecil. Selain itu, dokter di luar negeri juga tidak perlu memikirkan apakah sang pasien mampu membayar biaya kesehatan karena hampir seluruhnya sudah ditanggung oleh negara. Sedangkan di negeri ini, sang dokter pun masih harus memikirkan apakah si pasien mampu untuk membayar biaya kesehatan ini, apakah asuransi yang dimiliki si pasien bisa untuk mengcover semua biaya kesehatan ini. Dan ini yang masih harus dibenahi dari sistem pelayanan kesehatan di Negeri Mawar. Ketiga, biaya yang tinggi. Mendatangkan dokter asing ke Negeri Mawar pasti membutuhkan biaya yang besar, baik untuk gaji dan biaya lainnya. Lantas apakah dokter asing mau dibayar dengan gaji yang rendah seperti dokter lokal ketika mendapatkan pasien BPJS? Biaya yang tinggi tentu akan membebani anggaran negara (padahal anggaran untuk kesehatan sudah kecil) dan akan mengalihkan dana dari program kesehatan lainnya yang lebih penting.
Seperti kebiasaan para pejabat di negeri ini, yang dimana ketika seseorang yang mengkritik suatu kebijakan pemerintah maka akan dimintakan sebuah solusi atau langkah konkret. Baiklah mari kita penuhi permintaan pejabat di negeri ini. Alih-alih mendatangkan dokter asing alangkah lebih baiknya pejabat di negeri ini fokus pada masalah-masalah internal dan fundamental seperti meningkatkan anggaran negara dibidang kesehatan, mempermurah sekolah kedokteran dan meningkatkan kualitas sekolah atau pelatihan kedokteran, memperbaiki distribusi dokter dengan memberikan intensif bagi dokter yang bersedia bekerja di daerah terpencil, menuntaskan permasalahan-permasalahan bagi dokter yang ditempatkan di wilayah terpencil baik dari segi keamanan, alat kesehatan yang memadai dan paramedis yang memadai, memperbaiki sistem pelayanan kesehatan atau jaminan kesehatan, meningkatkan jumlah dan kualitas alat kesehatan dan masih banyak lagi hal-hal yang lebih fundamental dibandingkan dengan mendatangkan dokter asing ke negeri ini. Dan yang terpenting untuk melakukan kajian yang mendalam dan mempertimbangkan berbagai aspek sebelum menerapkan kebijakan yang berdampak besar pada sistem kesehatan nasional. Dialog yang terbuka dan inklusif dengan semua pihak terkait, termasuk dokter lokal, organisasi profesi, dan masyarakat, sangat diperlukan untuk menemukan solusi yang tepat dan bermanfaat bagi semua. Kebijakan kesehatan harus selalu berorientasi pada kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa. Mendatangkan dokter asing mungkin bukan solusi terbaik untuk mengatasi kekurangan dokter di Indonesia. Penting untuk mencari solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan untuk membangun sistem kesehatan nasional yang mandiri, adil, dan berkualitas bagi seluruh rakyat Negeri Mawar.
Ilustrasi: A nutshell
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!