Oleh Daniel Triaskusumo
Sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat unsur wilayah, masyarakat atau warga, dan pemerintah disebut negara (Ramadhan, 2021). Negara bisa dikatakan suatu organisasi karena di dalamnya terdapat susunan struktur seperti presiden dan wakil presiden yang dibantu oleh menteri-menteri sesuai bidangnya masing-masing. Syarat utama negara terbentuk harus memenuhi tiga unsur, yakni wilayah, masyarakat, dan pemerintahan. Setiap negara yang ada di dunia memiliki sistem pemerintahan atau paham yang dianut tersendiri. Bentuk-bentuk sistem tersebut terdiri dari Oligarki, Anarki, Mobokrasi, Diktator, dan Demokrasi.
Sejak diproklamirkan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Indonesia menganut sistem pemerintahan yang berbentuk demokrasi. Negara demokrasi merupakan negara yang menganut bentuk atau mekanisme sistem tatanan pemerintahan dengan mewujudkan kedaulatan ditangan rakyat (Rosana, 2016). Selaras dengan pengertian tersebut, Abraham Licoln mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Baity, 2016). Demokrasi memberikan pemahaman, bahwasannya kekuatan dari sebuah kekuasaan adalah dari rakyat (Elly Noviati Dosen Universitas Moch Sroedji Jember Ketua Pusat Kajian Konstitusi Jl Sriwijaya No, 2013). Dalam demokrasi, rakyat dengan suaranya sangat diperhitungkan keberadaannya dalam pemerintahan.
Asas kedaulatan rakyat yang disebut sebagai asas demokrasi, telah dikenal banyak negara dalam konteks konstitusi. Meskipun demikian, setiap negara mempunyai mekanisme atau cara tersendiri untuk mewujudkan asas tersebut. Hal tersebut tertuang dalam penglasifikasian demokrasi yang terbagi menjadi dua, yaitu demokrasi langsung dan tidak langsung. Demokrasi langsung adalah sistem demokrasi yang mengikutsertakan atau melibatkan seluruh elemen rakyat yang dilakukan secara langsung dalam membicarakan atau menentukan arah gerak suatunegara dalam membuat kebijakan atau urusan-urusan negara. Sedangkan demokrasi tidak langsung/perwakilan adalah sistem demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat, pengambilan keputusan suatu negara secara tidak langsung dengan menyalurkan kehendaknya, rakyat memilih wakil yang telah dipercaya untuk menjabat dalam parlemen sebagai penyalur atau penyambung aspirasi rakyat. Demokrasi langsung dapat diimplementasikan dalam keikutsertaan kita dalam pemilu yang tidak diwakilkan oleh siapapun. Begitu juga dengan demokrasi tidak langsung, dapat diwujudkan dengan kita menyuarakan aspirasi tentang kebijakan negara yang akan ditampung oleh parlemen atau perwakilan rakyat yang selanjutnya akan disalurkan ke pemerintah pusat. Sebuah negara demokrasi yang menganut sistem pemerintahan presidensiil akan menggunakan demokrasi langsung dalam bentuk pemilu untuk mewujudkan sistem tatanan tersebut.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang pemilihan umum, NKRI adalah negara demokrasi. Menyelenggarakan pemilihan umum merupakan aspek integral dari sistem
demokrasi ini (Sagita Bela et al., 2023). Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah proses politik yang memungkinkan warga negara untuk secara langsung memilih wakil-wakil mereka dalam lembaga perwakilan, dengan tujuan membentuk pemerintahan yang sesuai dengan keinginan mayoritas (Firmanto & Abadi, 2023). Dalam artinya, pemilu adalah prosedur untuk mencapai demokrasi dan memindahkan kedaulatan rakyat kepada individu tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan publik (Azzahra et al., 2024). Pemilu juga merupakan salah satu unsur pembentuk fondasi utama demokrasi yang ada dalam suatu negara (Purba et al., 2023).
Harapan-harapan rakyat akan terwujudnya sebuah keadilan, keterwakilan, dan keikutsertaan warga negara dalam menentukan nahkoda baru terkandung di dalam sebuah pemilu. Sistem pemungutan suara yang dianut oleh para pemilih umum di Indonesia bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan berkeadilan. Efektivitas pemilu sebagai mekanisme demokrasi untuk mewujudkan kedaulatan yang berpusat pada rakyat telah ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar” (Wicaksana Sarana Komunikasi Dosen Dan Mahasiswa & Krismiyarsi, 2023). Selain itu, terkait pemilu, diatur dalam UUD pada Bab VIIB, Pasal 22 E ayat1 sampai dengan 5.
Peranan penting dan sangat dipertimbangkan dalam menentukan siapapemimpin dalam lima tahun kedepan yang dianggap layak dan mumpuni untuk menjalankan roda pemerintahan terdapat dalam suara rakyat. Berbagai cara akan digunakan pasangan calon maupun partai pengusung yang memiliki kepentingan tertentu untuk mengais suara terbanyak dari rakyat dan melalui tahap-tahap pemilihan sehingga nantinya akan dinyatakan keluar sebagai pemenang. Cara-cara demikian, umumnya disebut dengan kampanye. Mengacu pada Pasal 1 ayat 26 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kampanye adalah kegiatan yang dilakukan oleh peserta untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program yang ditawarkan oleh calon peserta pemilihan umum (Paskah Suatan, 2021). Ada berbagai cara kampanye yang dilakukan oleh calon wakil rakyat untuk meraih suara terbanyak, seperti hibah, bantuan sosial, bantuan keuangan, dan pemberian fasilitas umum. Salah satu jenis kampanye yang sering digunakan oleh peserta pemilu ataupun partai pendukungnya, yaitu pemberian bantuan sosial pada masyarakat.
Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2017 tentang penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai, yaitu berupan bantuan uang, barang atau jasa kepada seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau rentan terhadap resiko sosial. Pemberian bantuan sosial merupakan salah satu program kesejahteraan rakyat. Pada dasarnya, pemberian bantuan sosial berfungsi untuk memenuhi dan menjamin kebutuhan dasar serta meningkatkan taraf hidup penerimanya (Paskah Suatan, 2021). Selaras dengan Permendagri No. 14 Tahun 2016 yang mengatur tentang Bantuan Sosial, disebutkan bahwa bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yan sifatnya tidak secara terus-menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial (Auliyah et al., 2020). Suatu kondisi dimana dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat disebut sebagai resiko sosial. Pemberian bantuan sosial sifatnya tidak wajib sehingga tidak harus dilakukan secara terus menerus setiap tahun anggaran. Khusus untuk partai politik, bantuan yang diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dianggarkan dalam bantuan sosial.
Pada hakikatnya, gejolak yang terjadi dalam setiap proses penentuan anggaran baik pada level pusat hingga pada level lokal memiliki dinamika yang berbeda. Secara faktual jika berbicara pada situasi kondisi lapangan, pihak eliteelite politik yang terlibat dalam proses politik anggaran, yang terjadi adalah bagaimana para elite tersebut melakukan poses negoisasi mengenai besaran anggaran tersebut milik siapa dan kepada siapa anggaran tersebut disalurkan. Lebih memalukan lagi, ternyata masih ada praktik-praktik pemotongan atau korupsi anggaran publik yang disertai dengan rekayasa (mark up) atau manipulasi data untuk meraup pundi-pundi keuntungan pribadi maupun segelintir elit tertentu. Praktik yang cenderung condong melakukan negoisasi, dan melobi kepentingan proyek dalam sub-program yang telah direncanakan sehingga sering kali diwarnai dengan terjadinya negoisasi anggaran publik disebabkan oleh relasi legislatif (Rahmanto et al., 2021). Penetapan berbagai kebijakan tentang proses anggaran yang mencakupi berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya; bagaimana uang publik didapatkan, dikelola dan didistribusikan; siapa yang diuntungkan dan dirugikan; peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negatif maupun untuk peningkatan pelayanan publik disebut sebagai politik anggaran (Habibi, 2017).
Pada masa kampanye menjelang pemilihan, calon legislatif dan calon eksekutif akan cenderung melakukan suap politik yaitu melakukan pembelian suara serta mengambil berbagai macam belanja dan hibah untuk menutupi pengeluaran kampanye yang sangat besar (Habibi, 2017). Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019, Jusuf Kalla, menuturkan bahwa ada muatan politik dalam penyaluran dana bansos dengan melihat tren kenaikan dana bansos yang signifikan ketika hendak mendekati waktu pemilu baik pada skala nasional maupun di level lokal. Penyebab umum dari penggunaan dana hibah dan bansos adalah untuk kepentingan tokoh-tokoh politik tertentu yang sifat programnya populis, sehingga sering digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu dalam pemilihan umum baik pada level nasional maupun pada level daerah. Terlebih lagi bagi seseorang yang diposisikan sebagai incumbent atau petahana dalam pemilihan umum baik presiden, gubernur, bupati/wali kota pada masa krusial, mengingat mereka harus berkompetensi lagi agar tidak lengser dari jabatan politisinya yang memiliki kecenderungan untuk melakukan “politisi anggaran”. Salah satu pos belanja yang dapat dipakai bagi calon incumbent untuk meraih suara dukungan dari masyarakat pemilih adalah Belanja Hibah (BH) dan Belanja Bantuan Sosial (BBS). Mengutip dari Kompas.com, realisasi anggaran bansos dari pemerintah menjelang pemilu 2024 menyentuh angka Rp 496,8 triliun untuk perlindungan sosial (perlinsos), naik sekitar 13,1 persen dibandingkan dengan tahun 2023 yang hanya sebesar Rp 439,1 triliun. Sementara pada tahun 2021 dan 2022, pemerintah mengucurkan Rp 468 triliun dan Rp 460,6 triliun. Anggaran yang dikeluarkan pada tahun ini hampir sama dengan awal pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Tetapi alokasi anggaran di tahun 2024 turun jika dibandingkan dengan awal masa pandemi Covid-19 pada 2020 sebesar Rp 498 triliun.
Negara memiliki tanggung jawab penuh dalam menyejahterakan kehidupan masyarakatnya yang salah satunya dilakukan melalui melalui penetapan kebijakan alokasi anggaran dan penerapan program-program pemerintah. Permasalahan anggaran publik yang terjadi ketika mendekati pemilu apabila disangkut pautkan dengan kajian politik memang menjadi isu yang cukup penting dalam pembahasan oleh para pakar yang ahli dalam bidang politik anggaran. Pelaksanaan anggaran untuk alokasi bantuan sosial perlu diwaspadai menjelang pemilihan terlsepas dari ada dan tidaknya motif politik dalam anggaran tersebut. Pasalnya dana bansos dan hibah merupakan instrument negara yang rawan akan dipolitisasi oleh kandidatkandidat tertentu yang memiliki diskresi tinggi (KARTIKA, 2015). Namun, yang menjadi perhatian akibat politisasi bansos yang jor-joran oleh elite-elite politik adalah kenaikan harga bahan pokok yang melambung tinggi ketika menjelang pemilu 2024 dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh pemerintah yang ugal-ugalan dalan mendistribusikan bantuan sosial (bansos) yang tidak sesuai jadwal dan peruntukannya, bahkan cenderung tidak mematuhi dan mengabaikan prosedur yang ada. (Dilansir dari dpd.go.id) Hal tersebut juga dipertegas oleh Senator DPD Daerah Istimewa Yogyakarta, Gus Hilmy, menurutnya krisis beras sudah terjadi sejak tahun lalu akibat iklim dan masalah pertanian. Meski demikian, menurutnya pemerintah sudah melakukan mitigasi. Sayangnya, mitigasi itu dirusak atas nama bansos ketika masa kampanye pada Pemilu 2024. “Untuk ketahanan pangan kita memang perlu banyak evaluasi, apalagi jika ngomong food estate. Tapi kalau kita lihat, krisis ini sudah sejak tahun lalu dan pemerintah sudah melakukan mitigasi. Tapi sayangnya, pemerintah ugalugalan dalam membagikan bansos. Akibatnya, stok di gudang Bulog menipis sebelum waktunya. Ini pemerintah menyalahi manajemen sederhana antara pasokan dan permintaan,” ujar anggota Komite I DPD RI tersebut dalam siaran
tertulis kepada media pada Kamis (22/02).
Politisasi bansos yang dilakukan secara masif dengan kurun waktu terus menerus akan mengakibatkan kelangkaan bahan pokok di pasar karena para elite akan terus menimbun barang-barang tersebut untuk kepentingan elektoralnya yang nantinya akan dibagikan secara berkala. Hal tersebut bisa terjadi karena akan terjadi kesenjangan antara permintaan dan penawaran yang akan mencekik masyarakat kelas bawah. Mengutip dari Bisnis.com, harga bahan pokok mengalami kenaikan jelang pemilu 2024 yang terjadi pada harga beras, cabai merah kriting, cabai rawit merah, daging ayam, telur, hingga minyak goreng. Data panel harga pangan Badan Pangan Nasional (BAPANAS) pada Jum’at (11/2/2024) rata-rata harga beras premium naik Rp 110 menjadi Rp 15.700 per kilogram (kg), sedangkan harga beras medium turun Rp 410 menjadi Rp 13.280 per kg. Harga cabai-cabaian kompak naik dengan rata-rata harga cabai merah kriting naik Rp 410 menjadi Rp 52.080 per kg dan harga cabai rawit merah naik secara siginifikan 12.06% menjadi Rp 48.400 per kg.
Tren kenaikan harga juga terjadi pada bahan pangan produk unggas seperti daging ayam naik 2,16% menjadi Rp 36.500 per kg dan harga telur ayam hari ini naik 3,23% menjadi Rp 29.380 per kg. Disamping itu, harga minyak goreng kemasan sederhana juga mengalami kenaikan Rp 230 menjadi Rp 17.600 per liter. Sedangkan, harga minyak goreng curah hari ini juga turun di presentase 1,98% menjadi Rp 14.870 per liter. Politisasi bansos selama tahun pemilu di Indonesia menciptakan tantangan serius terhadap integritas demokrasi. Bansos memang hak rakyat yang membutuhkan, bukan salah rakyat ketika menerima bansos. Bantuan sosial seharusnya menjadi instrument negara yang murni bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan meingkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam implementasinya, bansos rentan terhadap politisasi dan personalisasi, yang dapat menimbulkan dampak negatif pada efektivitas, transparansi, dan melukai rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu, partisipasi publik dalam mengawal dan memantau penyaluran bansos serta melaporkan berbagai penyelewengan di lapangan adalah bagian dari mengawal dan menjaga pemilu itu sendiri agar berjalan demokratis, jujur, adil dan berkualitas. Bansos perlu dikembalikan pada khittah-nya sebagai hak masyarakat, bukan kebaikan hati pemerintah, apalagi pemberian politisi. Publik bisa menggunakan senjata media sosial dan viralisasi kecurangan bansos sebagai bentuk sumbangan aktif dalam menjaga bansos dan pemilu.
Ilustarsi: Achmad Fauzan
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!