Oleh Fajar Adityo (Penulis yang tinggal di Lereng Semeru)
Tungku itu telah berumur. Renta dan berjamur. Disebelahnya ada enam buah kelapa, mereka yang tampak tergolek menanti dikupas. Alat pengupas kelapa, -yang hanya berupa tegakan besi berujung runcing- berdiri kokoh dengan penutup serpihan sabut. Lama sudah tungku menganggur. Wajah jeleknya makin mengusam ditindih potongan kayu dan kotoran. Andai punya mulut, mungkin dia hendak menggerutu, di tangan manusia segala piranti hanyalah sementara, tak ada cinta abadi dalam kebutuhan. Serupa bangkai tank tua, selepas melewati Perang Dunia, segera ia dimuseumkan.
Sejak zaman kemodernan menjelang dan Jusuf Kalla mempidatokan konversi minyak tanah ke gas, tungku akhirnya menerima ucapan selamat tinggal. Mengumpulkan atau membeli kayu tidak efiesien lagi. Membelahnya sama saja, tangan saya di usia belia sempat terluka dibuatnya. Maka diantara lubang kayu dan susunan batu bata tungku, ada rentangan waktu membentang. Melewati perjalanan hidup tiga generasi. Di sana, tersebut kisah nenek, ibu, serta angkatan saya. Pada masing-masing tempo.
Sepanjang peristiwa 65 berjalan, tahun kaya ketegangan serta simbahan darah, tungku menyimak kasak-kusuk lenyapnya selera makan. Sungai berwarna merah, orang-orang diangkut truk untuk kepalanya dipenggal. Nenek saya menanak nasi dalam bayang-bayang mayat berserakan atau bersesakan mengapung di sungai. Sepanjang operasi Petrus, ibu sembari mengolah sayur kacang berkuah santan, bercerita perihal ditemukannya sesosok mayat dalam karung. Jidatnya ditanami pelor. Ada uang ditinggalkan. Dan tentu saja, ada beribu ketakutan. Tapi tungku tak takut.
Di hadapan tungku yang sama, saya sempat pula berdebat filsafat. Atau menyeringai paman saya. Sesosok pria yang dalam vonis saya, baju keshalehannya tampak terlampau indah sekaligus menor, semua demi membungkus perilaku amis koruptifnya. Dari tungku, saya mencecap sayur nangka yang dimasak berkali-kali hingga berhari-hari. Orang desa menyebutnya ‘Jangan Blenderang’. Bila hari Idul Adha tiba, fungsi tungku tetiba beralih guna jadi pemanggang sate dadakan. Kita akan merasakan sate rasa abu kayu. Nikmat, namun tak layak dipasarkan. Waktu berkelebat, ada seratus satu kuliner tak terpisah dari tungku, betapapun kompor gas telah menyisihkannya sebagai Si Tua tak berguna. Umur saya, lebih dari setengahnya terikat oleh piranti tradisional ini. Tumbuh bersama tungku. Membina hubungan satu arah. Dia bisu, saya yang mendungu, berharap-berharap kami dimungkinkan bertukar cerita.
Di desa saya, termina tungku sebetulnya jarang diucap secara khusus. Penyebutannya menyatu dalam kata ‘pawon’ alias dapur. Pawon mewakili tiga entitas sekaligus: ‘dapur, tungku dan perempuan’. Di sini, siapa saja bisa membaui aroma patriakhi dalam pengertiannya yang paling pekat. Di desa pula, lelaki tidak dianjurkan menyambangi pawon secara rutin. Dia hanya pantas tiba semisal bila ingin menyedu wedang kopi, menagih masakan atau menghangatkan badan dalam lamat kobaran api. Dapur, kasur, sumur disalibkan ke tubuh perempuan. Trias domestifikasi. Kaum yang bukan propenen, ornamen dalam lanskap paham tua. Kemudian, masa melaju cepat, sungguh cepat, tanpa hirau seberapa jauh manusia menyadarinya. Nenek telah pergi bertahun silam. Ibu sudah menjadi nenek, dan juga menyusul pergi. Saya pun menua. Trilogi ‘dapur, kasur, sumur’ mulai ditinggalkan sebagian kalangan. Dan tungku makin dilupakan. Terkulai, tak terpakai. Membisu bersama kenangan yang pernah didekap. Dia tak punya kata.
Namun ada yang merangsek kembali, datang dari gulita masa silam. Bilamana tungku telah dikenal semenjak raja-raja memerintah, sepotong cerita uzur dari masa itu pun nongol kembali. Republik telah berdiri, model purba kekuasaan nyaris direplikasi. Sejarah bagai didesak mundur ke halaman paling belakang. Di tangan seseorang, anak lelaki tertua menjadi wapres. Menantu didapuk sebagai walikota. Anak bungsu satunya lagi dilapangkan jalan dalam Pilgub, usai menjabat ketua partai dengan cara yang lebih ngebut dari mengurus STNK. Oya, keponakannya kini bertengger di perusahaan minyak negara. Seseorang merasa dirinya raja Jawa, sehingga pantas memperlakukan Republik dengan gaya Machiavellian.
Dulu di sekitar tungku, saya pernah mengajak teman-teman dari kota berkerumun. Membicarakan perubahan apa yang semestinya bisa dimenangkan demi kemuliaan negeri ini. Kami menyebutnya, revolusi, dengan huruf besar serta tanda seru. Itu kisah kaum muda, yang menjulang impiannya, merasa berdaya memanjat gunung moralitas tertinggi. Aktivis-aktivis kota yang kini menua. Sebagian telah memiliki banyak hal. Segalanya. Kecuali kebenaran yang pernah mereka pegang. Hidup menjadi lebih praktis. Panduannya menjadi menunggal belaka: cuan. Sebagai suami dan ayah yang baik, semestinya mendahulukan kemakmuran keluarga, ungkapnya. Rakyat boleh menunggu giliran, lima abad lagi mungkin tak terlalu lama. Toh mereka sudah teruji betah menderita. Pekik revolusi mati. Dikubur dalam sunyi. Diganti pertemuan-pertemuan bersama donor internasional atau petinggi-petingi negeri. Kosakata sentralnya bukan lagi nasib rakyat, melainkan nasib kita. Saaatnya mengenakkan diri. Melawan dengan nyaman, ujarnya. Eufemisme dari pelacuran. Pada benak anak desa ini, tungku ialah sobekan sejarah. Dari epos sebuah negeri, dalam sudut pandang keluarga desa yang telah lewat. Pada api dan abu yang sempat mampir di sana. Ada berlembar cerita. Pahit, manis, kenangan. Hidup ini.
Ilustrasi: A nutshell
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!