Peran Aktivis Mahasiswa Sebagai Aktor Perubahan Terhadap Penegakan Demokrasi Di Indonesia

Oleh Daniel Trisakusumo

Sejak tahun 1945 Indonesia menyatakan dengan kemerdekaannya. Sejak saat itu Indonesia mulai mengatur sendiri pemerintahannya. Dimulai dari yang awal sistem parlementer yang dibentuk pertama kali oleh presiden Soekarno pada masa awal kemerdekaan RI hingga sampai saat ini yang menggunakan sistem pergantian kepresidenan serta pergantian jabatan pada pemerintahan di Indonesia. Pergantian sistem semacam ini tidak lepas dari Indonesia yang menganut sistem negara demokrasi. Menurut Abraham Licoln demokrasi adalah pemerintah yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam demokrasi rakyat dengan suaranya memiliki kekuatan yang sangat diperhitungkan dalam pemerintahan itu sendiri. Demokrasi menyediakan ruang untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat untuk rakyat. Tindakan semacam mengkritik pemerintah adalah hal yang wajar dalam demokrasi.

Demokrasi di Indonesia sekarang memasuki fase yang disebut demokrasi cacat (flawed democracy). Menurut Indeks Demokrasi 2021 yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). “Kalau kita lihat hasil survei atau sigi dari banyak lembaga dunia, termasuk The EIU, indeks demokrasi kita masih termasuk kategori flawed democracy”. Bagaimana tidak demokrasi sekarang dimanfaatkan untuk kekuasaan, bukan alat perjuangan. Demokrasi berubah menjadi mobokrasi. Dalam hal ini demonstrasi merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk menegakkan demokrasi yang ada di Indonesia.

Demonstrasi diartikan sebagai sebuah hak dari masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya di depan umum. Dalam berdemonstrasi, para demonstran bebas untuk menyuarakan pendapatnya melalui orasi dan juga media gerak seperti aksi teatrikal. Tetapi demonstran juga harus mengetahui bagaimana cara berdemo dengan benar, maka dari itu para demonstran juga bisa memahami apa tujuan dari demo itu, fungsi dari berdemo itu sendiri, agar aspirasi para demonstran dapat diterima oleh pemerintah. Kita coba melihat masa lalu dimana ada rezim yang muncul setelah pembacaan dekrit presiden 5 Mei 1959 yang di mana rezim tersebut berkuasa anatarAkurun waktu 1960-an hingga 1966, ya itu demokrasi terpimpin atau yang mungkin kita kenal sekarang adalah orde lama.

Orde lama merupakan istilah yang muncul di zaman presiden Soeharto yang merujuk pada zaman Soekarno. Orde lama sendiri tidak jauh dari yang namanya otoriter, ya otoriter. Soekarno dengan licik memanfaatkan demokrasi untuk alat politiknya dengan cara memusatkan seluruh kekuasaan yang ada di negara kepada dirinya sendiri. Soekarno tidak segan-segan memenjarakan orang-orang yang dianggap sebagai oposisi atas pemerintahannya. Salah satu dari sekian banyaknya orang yang pernah dikurung dalam jeruji besinya Soekarno adalah Buya Hamka. Buya Hamka dipenjarakan karena mengkritik Soekarno di akhir kekuasaannya. Keotoriteran itu terus berlanjut hingga tiba di tahun 1965 peristiwa besar terjadi.

Peristiwa yang menewaskan 6 jenderal 1 perwira dalam 1 malam yang mati di lubang yang tidak berguna, hanya ada di sejarah Indonesia. Pasca peristiwa G30S/ PKI meketus demonstrasi besar-besar an terjadi di pusat ibu kota. Demonstrasi yang diinisiasi oleh para mahasiswa dari berbagai kesatuan aksi itu menuntut Soekarno untuk membubarkan PKI dan ormas-ormasnya, membersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G30S/PKI dan menuntut untuk menurunkan harga barang atau perombakan ekonomi yang tertunag pada Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Efek dari demonstrasi itu akhirnya membuat Soekarno mengeluarkan surat intruksi pada 11 Maret 1966 yang diberikan kepada Letjen Soeharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) yang berisi mandat agar Jenderal Soeharto mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam mengatasi situasi keamanan, kestabilan pemerintahan, dan jalannya proses revolusi. Surat itu bernama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Supersemar juga menjadi tonggak pergantian dari orde lama ke orde baru.

Kita bisa menilai dari peristiwa di atas bahwa kekuatan gerakan mahasiswa dalam menegakkan keadilan demokrasi di negara ini sangat diperhitungkan dan selalu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Mahasiswa sebagai agen of change yang bergerak di kontrol sosial harus menjadi perantara antara pemerintah dan masyarakat.

Peran mahasiswa sebagai aktor perubahan pun terlihat lagi ketika rezim Soeharto atau yang biasa kita sebut dengan orde baru berkuasa. Zaman yang di mana zaman paling otoriter berkuasa di Indonesia antara tahun 1966-1998. zaman yang di mana semua aspirasi dan kritik dibungkam. zaman di mana praktik Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) menjadi hal yang lumrah. Zaman di mana semua aktivis HAM hilang atau bahkan mati tak berdosa. Mungkin kalimat-kalimat itulah yang pantas untuk mendeskripsikan zaman orba. Banyak kejadian demonstrasi yang dilakukan masyarakat sipil terlebih mahasiswa untuk menumbangkan rezim tersebut tetapi juga banyak kejadian pelanggaran HAM yang disebabkan oleh demonstrasi tersebut. Seperti Peristiwa Malari (Malapetaka Lima belas Januari) yang terjadi pada 15 Januari 1974, Peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang menewaskan sekitar delapan belas orang dan banyak tokoh politik dipenjara, Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang menewaskan 4 mahasiswa Universitas Trisakti. Puncak dari rentetan peristiwa itu terjadi pada 13-15 Mei 1998 atau kerusuhan Mei 1998 yang dilatar belakangi oleh krisis finansial Asia yang terjadi sejak tahun 1997. Saat itu, banyak perusahaan yang bangkrut, jutaan orang di PHK, 16 bank dilikuidasi dan berbagai proyek besar juga dihentikan. 18 Mei 1998 mahasiswa kembali melakukan aksi di Gedung MPR/DPR untuk menuntut Soeharto agar turun dari jabatannya dan mereformasi demokrasi yang ada di Indonesia. Tidak banyak juga mahasiswa yang sampai menaiki atap Gedung MPR/DPR sebagai aksi simboliknya. Akhirnya pada 21 Mei 1998 di Istana Negara dengan didampingi wakil presidennya B. J. Habibie, presiden Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya dari presiden RI setelah berkuasa 32 tahun.

Akhirnya masyarakat Indonesia telah terbebas dari kerangkeng otoriter dan dapat merasakan kembali yang namanya demokrasi walaupun belum sepenuhnya. Bagaimana tidak, rezim yang berlindung di sebalik nama “Pancasila” akhrinya telah tumbang ditangan para aktivis terlebih mahasiwa. Meskipun era orde baru telah berakhir, mahasiswa masih memiliki peran penting dalam memperjuangkan hak- hak demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Peran mahasiswa sebagai penegak demokrasi tetap relevan hingga saat ini.

Semenjak reformasi 1998, demokrasi di Indonesia masih dalam tahap transisi. Meskipun masyarakat Indonesia sekarang bisa bernafas lega dengan hak-hak demokrasinya, tetapi masih banyak PR yang harus dikerjakan demi kestabilan negara ini. Para elite politik pun terus berupaya membuat kebijakan-kebijakan baru dari era presiden Habiebi hingga presiden Joko Widodo. Di era presiden sekarang pun ternyata masih banyak para elite poltik yang masih bermain dengan kekuasaannya. Entah itu korupsi, menjual jabatannya demi perut sendiri atau bahkan parktik nepotisme seperti zaman orba. Upss.

Seperti kabar yang sedang tren akhir-akhir ini tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin, 16 Oktober 2023 lalu yang menggemparkan warga Indonesia. Di putusan tersebut MK mengabulkan uji materiil Pasal 169 UU Pemilu mengenai usia minimal calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re.

A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/20223. Secara garis besar isi dari putusan ini adalah MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan putusan MK tersebut. Tetapi kita coba lihat kebelakang dulu tentang isu bahwa ada anak dari presiden Joko Widodo yang bernama Gibran Rakabuming Raka yang sekaligus juga mempunyai paman yang menjadi ketua di Mahkamah Konstitusi yang kabarnya menjadi salah satu kandidat cawapres pasangan Prabowo. Hal itulah yang salah dari semua ini. Pasalnya menurut UU di MK bahwa Anwar Usman harus mudur dari pemutusan laporan tersebut karena yang bersangkutan masih mempunyai hubungan darah dengan kedua orang tersebut. Tetapi semuanya sudah telat karena sejatinya putusan MK itu final dan mengikat. Hal itulah yang membuka lebar dan memuluskan jalannya Gibran untuk ikut kontestasi di Pilpres 2024. Mendengar kabar buruk tentang demokrasi kita, membuat para mahasiswa dari berbagai universitas, aliansi dan elemen masyarakat melakukan unjuk rasa pada 20 Oktober 2023 di Patung Kuda Arjuna Wiwaha, DKI Jakarta. Aksi tersebut sekaligus untuk memeringati 9 tahun periode kepemimpinan Joko Widodo yang dirasa sudah melampaui demokrasi Indonesia.

Hal-hal seperti itulah yang merusak dan melukai demokrasi kita. Hak-hak rakyat yang susah payah kita perjuangkan terutama dari golongan mahasiswa, malah habis dibunuh oleh
para elite politik yang haus akan kekuasaan. Para mahasiswa yang hanya bermodalkan almamater dan keberanian rela mati dibunuh oleh tindakan represif aparat yang menjaga kandang tikus demokrasi. Dengan demikian betapa pentingnya peran aktivis mahasiswa sebagai agen perubahan

dalam menegakkan demokrasi di Indonesia.  Melalui dedikasi, partisipasi dan Upaya mereka, diharapkan bahwa konstribusi aktif ini akan terus memperkuat fondasi demokrasi, menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, dan membentuk masa depan Indonesia yang demokratis dan berkeadilan. 

Hidup Mahasiswa!!! Hidup Rakyat Indonesia!!! Hidup Perempuan Yang Melawan!!!

Daftar Pustaka:

Baity, Nur Anni dan Agus Satmoko Adi. 2016. PERSEPSI AKTIVIS MAHASISWA 1998 TENTANG DEMONSTRASI TAHUN 1998 DALAM RANGKA MENURUNKAN SOEHARTO. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya

Utama, Andrew Shandy dan Sandra Dewi. 2018. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA INDONESIA SERTA PERKEMBANGAN IDEOLOGI PANCASILA PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN ERA
REFORMASI.
Pekan Baru: Universitas Lancang Kuning

F Pakazeni, Irmaline dan Cindy Nabila. 2020. ANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA PADA DEMOKRASI DI ERA SBY DAN JOKOWI. Palembamg: Universitas Indo Global Mandiri, Indonesia.


Salim, Lydiana dan Akhmad Ramdhon. 2020. DINAMIKA KONFLIK KERUSUHAN MEI 1998 DI KOTA SURAKARTA MELALUI PERSPEKTIF KORBAN. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Purnamawati, Evi. 2020. PERJALANAN DEMOKRASI DI INDONESIA. Palembang: Universitas Palembang.

Amri, Ahmad Syaiful. 2023. Peran Mahasiswa sebagai Agen Perubahan di Masyarakat. Samarinda: Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, Indonesia


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0