Ditulis oleh Zain N. Haiqal
Siapa yang tertidur dalam demokrasi, akan terbangun dalam kediktatoran
Johan Wolfgang Van Goethe
Memasuki Era Kriminalisasi
Beberapa waktu lalu kita sama-sama menyaksikan nama Daniel First Maurits Tangkilisan menguat di media nasional, lokal, maupun internasional. Daniel merupakan aktivis lingkungan hidup yang menyuarakan kondisi aktual pesisir Karimun Jawa yang tercemar akibat maraknya tambak udang ilegal yang mulai beroperasi dari tahun 2017.
Sepanjang sepak terjang tambak udang beroperasi di Karimun Jawa, masyarakat pun merasakan berbagai macam kerugian dari mulai dari cemaran lingkungan berupa air limbah yang mengalir dari tambak, dampak kesehatan berupa gatal, munculnya lumut yang tak biasa sehingga bikin gatal, dan akumulasi ekonomi berupa produksi rumput laut yang menurun hingga ancaman bagi ekosistem pariwisata.
Melalui unggahannya di Facebook pada 12 November 2022, Daniel kemudian di kriminalisasikan dengan UU ITE Pasal 27 Ayat (3) dan 28 ayat (2) Tahun 2016 di Pengadilan Negeri Jepara. Menariknya dari kasus Daniel ini, dalam proses pemeriksaan hingga pemberian keterangan para saksi di pengadilan ketika dihadirkan jaksa penuntut umum terkesan prosesnya sangat tergesa-gesa. Saksi tidak dapat memberikan alasan kuat atas tuduhan mereka pada Daniel,terkesan alibi yang bersifat asumstif karena merasa tersinggung akibat unggahan Daniel tentang kondisi pesisir pantai Karimun Jawa.
Tak hanya menimpa Daniel, kriminalisasi UU ITE ini terjadi pada kelompok buruh di Kerawang bernama Serikat Pekerja Tani Karawang (SEPETAK), Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, tiga petani Pakel Banyuwangi, penangkapan buruh PT Gunbuster Nickel Industri, kritik Rocky Gerung pada IKN, 29 warga Desa Teluk Raya Kecamatan Kumpeh Ulu, dan pelaporan beserta pemanggilan pada mahasiswa Universitas Riau dalam Aliansi Mahasiswa Penggugat yang menyurakan pendidikan mahal oleh pihak kampusnya sendiri.
KontraS telah mencatat dari awal tahun 2022 hingga 2023, terdapat 183 pelanggaran yang menyangkut kebebasan berekspresi; berupa intimidasi digital, penggunaan perangkat hukum, dan serangan secara fisik. Setidaknya 272 orang luka-luka, 967 orang ditangkap, dan 3 orang meninggal dunia dengan ragam unsur kronologi yang berbeda dengan urgensi menyampaikan pendapat di tingkat swasta, lokal, kampus, pemerintahan, digital, hingga ranah privat seperti keluarga.
Memahami Kembali Kebabasan Berpendapat
Sebagai orang muda kita dipertontonkan cemooh dari kontestasi generasi tua bahwa kita tidak dapat menyuarakan sesuatu dengan jelas, dbilang banyak menutut, bermental lemah, ingin serba instan, dan generasi tak tau malu. Kritik ini banyak dilayangkan sebagai awal mula bentuk pembungkaman untuk menjadi kritis dan tajam. Belum berbicara sudah dibungkam, apalagi berbicara panjang. Mungkin stigma yang lahir ini sengaja direncanakan agar kita terus terperangah pada perangkap nircelah. Namun sebelum menguliti lebih banyak tekanan generasi tua, maka ingatlah kembali saat John Stuart Mill yang dikenal sebagai filsuf dan ekonom dari inggris. Ia banyak berargumen tentang kebebasan berpendapat. Mill berargumen bahwa kebebasan berpendapat merupakan dasar paling dalam saat berdemokrasi. Karena berpendapat sangat memungkinkan untuk bertukar silangnya ide dan debat secara terbuka dengan esensi untuk kemajuan intelektual dan peradaban sosial. Ia menekankan baha setiap berpendapat sekalipun minoritas mereka memiliki nilai untuk diterima sebab pembungkaman pendapat merupakan suatu ekspresi yang bahaya atau harm principle. Dikutip dalam karyanya berjudul ‘’On Liberty’’ (1859).
Lalu, Apa itu Harm Principle?
Mill mengemukaakan bahwa satu-satunya alasan yang sah bagi pemerintah atau masyarakat untuk membatasi kebebasan individu, termasuk kebebasan berpendapat. Menurut prinsip ini, kebebasan seseorang hanya boleh dibatasi untuk mencegah kerugian terhadap orang lain. Dalam konteks ini, “kerugian” didefinisikan secara fisik atau materi, bukan sebagai ofensif atau tidak menyenangkan secara moral atau emosional. Prinsip ini menekankan bahwa tindakan pencegahan seharusnya tidak berdasarkan preferensi mayoritas atau tradisi saja, tetapi harus ada justifikasi nyata bahwa tindakan atau ekspresi tertentu membahayakan orang lain. Ini menjadi fondasi penting dalam debat modern tentang kebebasan berbicara versus regulasi dalam masyarakat demokratis.
Keabsahan Berpendapat dari Prespektif Spiral of Silience
Jika Mill mengemukakan pendapatnya sekitar 1 abad yang lalu, maka referensi bebas dan berhak berpendapat dapat kita teladani dari pandangan politolog sekaligus jurnalis asal Jerman bernama Elisabeth Noelle-Neumann. Elizabeth berargumen tentang spiral kekhawatiran atau Spiral of Sillience yang berfokus bagaimana opini publik terbentuk dan bagaimana individu mungkin memilih untuk bungkam dalam situasi di mana mereka percaya bahwa pandangan mereka berlawanan dengan norma atau opini yang lebih dominan di masyarakat.
Menurut Elizabeth, individu memiliki ketakutan alami akan isolasi sosial, dan ini memotivasi mereka untuk terus memonitor lingkungan sosial dan opini yang dominan. Ketika seseorang mempersepsikan bahwa pendapat mereka berbeda dari apa yang mereka lihat sebagai konsensus, mereka mungkin memilih untuk diam untuk menghindari dikucilkan atau diasingkan. Proses ini dapat memperkuat dominasi satu pandangan dan mengurangi keberagaman ekspresi dalam debat publik. Spiral of Sillience sangat relevan dalam konteks media dan komunikasi massa, karena media dapat mempengaruhi persepsi publik tentang apa pandangan yang dominan atau dapat diterima, sehingga mempengaruhi individu untuk berbicara atau bungkam.
Argumen Lain Bahwasanya Kebebasan Berpendapat adalah Mutlak
Selain Mill dan Elizabeth, terdapat beberapa argumen yang dapat mendukung bahwa setiap manusia bebas menyampaikan pendapat dan tidak boleh dikriminalisasi. Argumen Oliver Wendell Holmes Jr yang merupakan seorang hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, menyatakan dalam argumennya tentang Marketplace of Ideas bahwa kebebasan berpendapat harus dilindungi karena masyarakat beroperasi seperti pasar. Dalam “pasar ide”, ide-ide dapat bersaing secara bebas, dan yang terbaik akan muncul dari proses persaingan tersebut. Melalui persaingan bebas ini, kebenaran lebih mungkin untuk ditemukan, sedangkan sensor dan pembatasan hanya akan menghambat proses. Argumen lainnya yang cukup penting datang dari Immanuel Kant tentang Autonomi Individu. Argumen Kant dalam autonomi individu menekankan pada pentingnya kebebasan individu untuk mengungkapkan diri mereka sendiri, yang dianggap sebagai komponen esensial dari otonomi manusia. Menurut Kant, setiap orang harus memiliki hak untuk mengekspresikan pemikiran dan keyakinan mereka tanpa takut akan intervensi atau hukuman oleh negara. Pendekatan ini sangat berhubungan pada pentingnya menghargai kebebasan individu sebagai tujuan moral yang penting.
Selain itu, doktrin hak asasi manusia internasional, seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Pakta Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), secara eksplisit menetapkan kebebasan berpendapat dan ekspresi sebagai hak dasar manusia. Artikel 19 dari UDHR menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk kebebasan opini dan ekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk menyimpan opini tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan ide melalui media apa pun dan terlepas dari batas-batas.
Argumen tentang hak untuk tahu dan berpartisipasi juga dapat dijadikan anda sebagai referensi. Karena argumen ini menekankan bahwa warga negara memiliki hak fundamental untuk menerima informasi dan berpartisipasi dalam diskusi publik yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dalam konteks ini, kebebasan berpendapat tidak hanya merupakan ekspresi individu tetapi juga syarat penting untuk transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.