Ditulis oleh Adityo Fajar
(penulis yang menetap di kaki lereng Gunung Semeru)
Indonesia U-23 melenggang ke empat besar Piala Asia 2024. Tim Garuda sukses menekuk Korea Selatan. Ini adalah sejarah. Sejarah berukuran besar. Langkah emas yang membuat kesebelasan nasional sejengkal lagi pergi ke Olimpiade Paris. Sebuah pencapaian yang bukan remeh-temeh.
Euforia pun tak tertahankan. Meledak keras-keras. Seribu kali lebih keras dari suara mercon di malam Idul Fitri. Media nasional menggelar perayaan besar-besaran lewat aneka rupa pemberitaan. Netizen mengambil seluruh jenis kegembiraan yang bisa dibuat manusia di muka bumi, untuk disebarkan ke seluruh platform media sosial. Hampir sekujur Indonesia tersenyum. Tapi, saya tidak.
Beberapa jam setelah gegap gempita massal, saya menulis status di WhatsApp, sebuah kebiasaan yang kerap saya lalukan belakangan tahun.
“Seorang teman mengirim meme kegembiraan. Seorang lagi meminta saya untuk menulis keberhasilan tim nasional di medianya. Saya masih sama. Memboikot semua yang berkaitan dengan sepakbola Indonesia. Memori itu tetap di sini, masih terawat, tak peduli sekalipun Indonesia juara dunia. Sepakbola dan Indonesia masih berhutang besar kepada keluarga korban. Dan belum terlihat akan dibayar. 135 bukan sekedar angka.”
Status ini entah bagaimana caranya kemudian dipakai oleh Devi Atok di akun media sosialnya. Devi Atok adalah ayah yang kehilangan sepasang puterinya selama Malapetaka Kanjuruhan. Pria yang pernah mengalami intimidasi kasar kala mengejar keadilan buat kematian buah hatinya.
Sepakbola bagi Devi Atok mungkin sudah tamat sejak 1 Oktober 2022. Tanggal yang tak akan pernah dia lupa. Tanggal penuh darah dan banjir bah air mata. Tanggal yang lamat-lamat telah diabaikan orang, diganti rasa senang yang membuncah hingga ke ubun-ubun, sebab Indonesia tengah berjaya di lapangan hijau.
Saya merasakan absurditas. Sesuatu yang nyaris serupa dengan yang terjadi di Argentina hampir setengah abad silam. Itu tahun 1978, ketika mereka menjadi juara dunia kali pertama. Junta militer yang berkuasa, menutup borok kekejian yang mereka buat di masyarakat melalui kegemilangan sepakbola. Warga negara sontak melupakan ekonomi yang terhuyung. Menjadi pikun sekejap kepada ribuan korban penculikan.
Tiga tahun lalu, saya menuliskan itu dalam buku saya (Ketika Tuhan Meninggalkan Kita). Begini kutipan panjangnya:
“Malam kegilaan dan nasionalisme pun pecah di jalan-jalan Argentina. Orang Argentina serasa hidup di negeri dongeng, setidaknya untuk satu malam. Mereka lupa betapa rusak kehidupan negerinya. Ekonomi yang berantakan makin sempoyongan oleh jutaan dollar yang dibakar demi menghelat kejuaraan. Tak seorang pun peduli.”
“Mereka tak tahu, Leopoldo Luque, -striker yang mencetak gol indah melawan Perancis-, mengendap pilu sebelum turnamen. ‘Saudara laki-laki dari teman dekat saya telah menghilang. Mayatnya kemudian ditemukan oleh penduduk di tepi River Plate dengan beton terpasang di kaki’, kenang Luque.”
“Pesta kemenangan di Monumental sampai juga ke ruang bawah tanah ESMA. Pada malam yang sama, kepala penyiksa Jorge “The Tiger” Acosta memasuki ruangan untuk menyapa tahanan. Dia berteriak, “Kita Menang!, “Kita Menang!,” sembari memeluk tahanan satu persatu. Graciela Daleo seorang tahanan menyaksikan itu dalam balutan perasaan yang berbunyi, ‘jika dia menang, mestinya kami kalah.’ “
“Para penjaga lalu memerintahkan sebagian tahanan menaiki Peugeot 504. Acosta mengantarkan mereka berkeliling kota menyaksikan perayaan. Seorang tahanan melongok keluar mendapati pemandangan yang hiruk pikuk. Tak ada yang mengenalinya. Tidak ada yang menyaksikan ketakutannya. Tak ada yang tahu dia adalah satu dari ribuan orang yang diculik. Korban penculikan di Argentina menghilang dua kali sebelum benar-benar mati. Pertama saat mereka diculik, kedua ketika Argentina juara.”
Mirip Argentina. 135 korban Malapetaka Kanjuruhan mati dua kali. Pertama, saat gas air mata mencekik kerongkongannya. Kedua, ketika gol fantastis Rafael Struick membuat jutaan penduduk mabuk kepayang, melupakan orang-orang yang teraniaya. Dalam sejarahnya, sepakbola bisa menjadi candu yang amat kejam. Menjebak otak kita untuk gagal total menjadi manusia.
Ilustrasi: A nutshell
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!