Mau bagaimanapun kita tidak akan pernah lepas dari kematian, kita sungguh makhluk lemah yang terperangah keruntuhan dalam selimut hitam, kelak terpecah padaberbagai episode. Sungguh episode paling miring mecuat dalam epilog kebuntuan demokrasi, ancaman kepunahan keenam, melemahnya mata uang rupiah, siklus iklim siklon saat lebaran, dan wacana pecahnya perang dunia ketiga. Tidak bisa disangkal, kemerosotan itu meroket tajam, cukup jelas, dan tak terhiraukan. Segala sesuatu yang erat hubungannya satu dengan lainnya. hewan dengan hewan, manusia dengan manusia, tumbuhan dengan tumbuhan sampai mikrospesies paling kecil yang terhimpun dalam satu himpunan dalam gejolak ekologis maha dahsyat di abad ke 21.
Mau tak mau, resultante dari perbuatan sumber daya keputusan yang diputuskan terdahulu kian nyata yang konon mendorong peristiwa saat ini dengan banjir bandang peristiwa besar yang amat merugikan banyak pihak yang hidup di masa kini. Lantas untuk memecah pernyataan kenyataan yang tak terkordinir ini, saya memulai dengan maklumat sebuah pertanyaan tentang ‘’Apa yang membuat sekelompok lebah dapat mengkoordinir gerakan dalam kehidupan mereka? Kemana para lebah akan berterbangan? Kapan waktunya para lebah untuk bekerja, melawan, berlindung serta beristirahat?
Sehingga dengan maklumat awal ini, dapat dengan tepat dijawab dengan analisa sederhana yaitu mengamati sekawanan lebah yang tinggal tanpa membayar rental dilorong atas rumah. Dimana para lebah akan secara terlihat bersamaan berkerja, berkelok, berlindung dalam satu tujuan bahkan disepersekian waktu yang sama. Lebah dengan kemampuan kolektifnya itu juga pula sama halnya dengan sekerumunan bebek, gajah, monyet ekor panjang, piranha, merpati, jalak, flamingo dan lainnya. Tentunya mereka para hewan hanya mampu melakukan antitesa dengan bahasa ‘’mempertahankan kelangsungan hidup’’ dengan mencari makan, atau mungkin juga mereka menuju lingkungan dan ruang yang lebih baik. Sekaligus bertahan diri dari ancaman dari para predatornya. Setiap dari mereka sama seperti sebagian manusia kini, mereka sama sama mempunyai kemampuan yang cerdas dalam bekerja sama tim, ada yang memegang tongak pemimpin, penjaga, berburu, pelindung, penggedor secara historis tidak tertulis. Mereka secara natural dapat beradaptasi dengan membandingkan kemampuan sebelumnya, lagi lagi untuk melangsungkan hidupnya. Sehingga mereka dapat mencapai semua partikel paling semampai dengan posisi yang optimal.
Maklumat selanjutnya merupakan sebuah pertanyaan tentang ‘’Apakah kita dengan gamblang sedang kehilangan nalar naluri akal sehat kita?’’ Sebagai kaum muda yang hidup di Indonesia dan lahir dalam kumparan generasi sandwich, generasi Z, dan generasi Y. Dalam hal demikian bukan lintas provinsi alias tantangan lintas generasi. Bagaimana manifestasi ini telah terang terangan menjadi boomerang bagi mereka yang cepat sadar berdiri di pihak yang tertindas, dipihak yang termarjinalkan, dipihak terinterfensi, termakan politik pecah belah, dipihak miskin kota, dipihak korban kekerasan dan kecacatan hukum. Berita kelam ini kerap hadir hampir setiap harinya, menyibak siapa saja yang hidup di Negara ini. Berita ini itu yang semakin mencekik sebagai raungan renungan dalam peringatan yang kembali; mencuat. Berita ini adalah makanan bagi siapapun yang masih dapat terpejam namun masih memungkinkan membuka matanya keesokan harinya. Seperti mimpi buruk saat tertidur sekilas. Negara yang belum lama merdeka ini, pecah secara kongsi dalam kekuatan sipilnya. Kekuatan sipil yang didorong habis, dalam badai kemunduran, ketika alat negara seperti polisi dan tentara mulai menduduki kembali jabatan sipil. Mereka kini merupakan alat negara yang paling tidak dapat diandalkan. Sebagian dari mereka bertingkah laku sangat aneh, sombong, bengis, egois, gelap mata, juga bodoh karena semata-mata dapat lisensi menggunakan senjata sehingga dapat menormalisasi kekerasan. Kehormatan mereka pernah wangi dan diidamkan bagi sebagian orang, juga melekat bau busuk pada jajaran panglima hingga jajaran pangkat paling rendahnya. Namun tentang saja, masih banyak generasi tua konservatif dan sebagian keluarga yang mendorong buah hati atau keponakannya untuk masuk dalam bagian penting ini. Saya sempat berdialog dengan keponakan saya yang sudah memasuki tingkat dua sekolah menengah dan sedang di sibukan hari-harinya untuk melakukan bimbingan jasmani dan belajar ala kedinasan, saya bertanya tentang ‘’Kenapa kamu ingin menjadi polisi?’’ lantas ia menjawab dengan santai ‘’Saya ingin cepat kaya’’. Setelah itu saya hanya termanggu-manggu mendapatkan jawaban seperti itu.
Tentu saja proses ini dipengaruhi oleh bos besar dalam balut gelar Presiden. Gelar kehormatan yang dianggap besar ini hanyalah titipan dari rakyat sipil untuk mengemban amanah dengan cara yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan serta membawa ke titik kluminasi dalam bernegara. Namun semua hal berbau kepresidenan akan menjadi ambigu ketika sang Presiden terpilih terpincut dalam fantasi keberlanjutan. Keberlanjutan atas kekuasaan, keberlanjutan untuk memerintah, keberlanjutan untuk tetap menyejahterakan keluarga maupun kelompok pendukungnya. Gejolak ini adalah gejolak yang paling buruk yang akan dihadapi rakyat sipil ketika fantasi keberlanjutan diterapkan dan mulai berlangsung secara terang-terangan. Karena tidak mungkin proses ini terjadi dengan sangat singkat, tentunya dengan proses politis dan polarisasi berbagai hal yang telah direncanakan secara matang dalam monumen-momentum krusial yang kemudian hari akan sangat fatal. Jika dari tendensi ini terjadi, dimulai dari tingkat pimpinan paling eksklusif yaitu pimpinan eksekutif seperti presiden yang dengan berani melakukan tindakan tidak benar ini, bagaimana dengan bagian tingkat pimpinan paling mikro di daerah; pastinya akan terbentuk kondisi hirarkis populis yang sangat ekstrem.
Sadar tidak sadar pengaruh dalam keterpengaruhan akan perilaku di luar batas ini akan mencangkul ladang demokrasi yang subur paska reformasi selesai. Sehingga menjelma kondisi amat kritis dan kondisi yang sungguh miris. Fakta bahwa kaum pro demokrasi yang lahir dari masa lalu, mulai merubah haluannya dan terang-terangan menjelma menjadi sebagai iblis kecil yang berani bermesraan dengan setan-setan oligarki, political fraud, capital whisperer, penjahat HAM, pembalak hutan, pemburu suaka margasatwa, perusak sungai, karst, tanah, udara, laut, dan cadangan air tawar yang tersisa. Shame on them, karena tidak ada kemaluan yang ditinggalkan dalam diri dan martabat dalam hatinya.
Kini sudah saatnya, juga waktu yang amat tepat, untuk kaum muda yang masih waras agar tidak perlu mempercayai dan menghiraukan tipu daya, gerak gerik, serta nasihat dari generasi tua dan terdahulu yang tersisa. Bukan sok pintar, tetapi percaya tak percaya, faktanya akumulasi atas masalah sosial tepat berdatangan berkali-kali lipat makin banyak dan menakutkan akibat perbuatan dan perliaku generasi tua yang notabanenya sangat tidak konsisten. Meski banyak dari kaula kaum muda, ng hidup di tengah kutukan gemerlap kota dengan tendensi perpindahan tubuh dan ekonomi yang serba cepat, serta gempuran artifisial inteligensi, dan gejolak FOMO sehingga banyak dari mereka yang terjebak dalam dogma kolot dan konservatif ala American Great Empire berupa hustle culture namun sangat mengimani work life balance yang berhasil diwariskan dengan sistemik.
‘’Dombakan diri, gunduli kami.. Bagai seekor Domba, mbe.. ‘’ dan ‘’Selalu beri janji, untuk hal yang tak pasti.. kau hanya terilhami dengan musik indie’’ seperti lirik yang hadir dalam besut lagu berjudul Merusak Kesenangan yang dinyanyikan oleh Dongker. Dalam liriknya ini, mereka melegitimasi banyak individu yang tak digembala, menolak di gembala. Namun hakikatnya individu itu bergembala oleh kemauannya sendiri dengan dorongan berbagai kecemasan yang berlindung pada penyakit mental yang sedang renda. Penyakit berbekal dengan otentikasi kemahksyuran pada pertahanan diri jangka panjang, dengan diagnosa berbekal pengetahuan dari internet secara gamblang. Wajar bila individu-individu hari ini terjerat dan selalu ingin mengedepankan diri sendiri ketimbang kepentingan banyak orang. Bahkan budaya yang lahir sangat mengherankan ialah sebuah budaya yang lahir atas dorongan Money will alias jika ada uang baru gerak. Hal ini amat menganggu ekosistem gerakan atas keterpurukan sistem kolektif yang who works for great thing without being paid atau secara volunter dengan sukarela. Ini adalah fakta yang sedang dihadapi dalam kebanyakan ekosistem gerakan hari ini yang tengah termakan sihir kapitalisme. Lantas mau makan pake apa jika bergerak namun tidak ada uang untuk menghidupi diri? Jawabannya yang dapat menjadi nilai tawar ialah membangun ekonomi mandiri. Selain dapat menanggalkan beban individu maupun beban secara kolektif. Lagi pula amat jarang ditemukan gerakan yang berani mengurus ekonomi mandirinya secara kolektif, gerakan ini lebih banyak dipopulerkan oleh kalangan anarkis. Kelompok anarkis adalah yang paling terdepan dan berani mengambil langkah lebih dalam dan jauh untuk merencanakannya. Mensejahterakan kelompok dengan basis kolegial dengan mengedepankan semangat kebersamaan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan menyogsong ide alternatif dengan visi panjang secara kreatif. Entah itu dengan membangun kebun pangan bersama, marketplace online alternatif, kedai teh maupun minuman yang banyak digemari, publisher zine dan buku independen, bank sampah dan recycling center, menjual merchandise dan pernak-pernik seperti makrame, kayu, sulam, dan benang rajut, bimbingan belajar, mencetak buku seperti kumpulan cerita anak; kumpulan puisi; dan kompilasi cerita pendek dari setiap individunya serta buku foto, mejual ramuan rempah dan makanan, membuat kelompok musik dan seni alternatif dengan menjual album maupun karyanya serta sebagainya. Tentunya hal hal ini harus didukung dengan pengembangan karakter setiap individu dengan memaksimalkan imajinasi yang ada hingga terus bertumbuh. Kendati demikian, ini sungguh tamparan bagi gerakan sosial yang selalu bicara perubahan namun ketinggalan dalam hal upaya kemandirian dari kelompok anarkis. Tentunya pertama-tama harus melepaskan kelompok dari upaya yang dibangun oleh individu-individu yang mempunyai kondisi yang menempatkan dirinya dirinya paling penting, sangat membutuhkan perhatian, dan kekaguman berlebihan. Yang kedua ialah menindak keras kepada individu yang sering kali menempatkan masalah dan kepentingan pribadinya dalam gerakan. Yang ketiga pilihlah pemimpin dalam gerakan yang dapat dipercaya untuk meraih visi panjang perubahan. Yang terakhir ialah memberikan pemahaman bahwa gerakan dibangun tidak seperti membangun anomali legendanya Candi Prambanan yang dibangun hanya satu malam untuk memuaskan Roro Jongrang. Namun tak terlepas dari itu, banyak individu dalam gerakan yang ingin segalanya serba cepat namun tanpa effort yang sebanding.
Kebanyakan dari mereka, dengan melakukan banyak tabir yang dilakukan kebanyakan orang adalah hal yang sudah benar tanpa mau melakukan pengecekan ulang secara berkala dan berusaha lebih keras. Jangankan dapat berbicara tentang berusaha atau melakukan secara berkala, proposi hidup serba instan adalah maklumat sederhana zaman kini yang harus dituruti, harus diindahkan oleh anda. Jika tidak maka zaman akan meninggali anda lebih jauh dari apa yang anda kira sebelumnya. Tidak hanya zaman, sangat memungkinkan bahwa orang orang disekitar dan tatanan sosial di sekeliling anda akan menghindari anda karena anda bukan sesuatu hal pegas yang dapat diayomi, didekati, dan diajak untuk melakukan sesuatu yang mengasyikkan karena hanya tidak dapat berserah dengan kehidupan sosial yang semakin membingungkan ini. Tapi itulah nyatanya, itulah faktanya, itulah yang anda harus telan mentah mentah kebenarannya.
Berbicara regenerasi sipil, ialah berbicara pendidikan karena hal ini ialah hal paling mutakhir dan dibutuhkan banyak pihak untuk memperbaiki nasib. Namun kenyataan pahit, bahawa semua orang tidak akan pernah dapat pendidikan secara merata semakin menguat ketika mitos dapat dipatahkan bahwa pendidikan adalah sebuah bisnis yang sangat mengiurkan dan menguntungkan. Dengan penemuan yang lebih memuaskan pada penemuan baru bahwa pendidikan diciptakan untuk mengontrol, untuk membodohi, untuk menekan anda. Sejauh apapun anda membela pendidikan, maka pendidikan akan semakin cerdas melawan dan mensiasati anda. Pendidikan sekarang bukan sesuatu yang menciptakan sebuah proses, bukan sebuah penghayatan ilmu, dan bukan sebagai pelatihan untuk menandakan anda telah berpikir. Pendidikan ibarat sebuah alat perkakas, itu kata kuncinya; tak peduli anda setuju maupun tidak. Pendidikan sebab alat perkakas yang dapat memperbaiki bahkan sangat merusak. Ketika mengingat tragedi penghancuran kota Hirosima dan Nagasaki saat Perang Dunia ke II silam, betapa dapat dibayangkan betapa masifnya kerusakan akibat penemuan tentang hukum relativitas dan pengembangan pada bahan peledak yang diperkasai oleh tuan Oppenheimer. Namun sebaliknya, saat menerima kenyataan tentang kekalahannya, Jepang lantas langsung mengumpulkan guru dan pegawai kesehatan yang tersisa akibat kejadian menyeramkan itu. Pilihan tidak bijaksana bagi sebagian orang yang memandangnya. Kenapa tidak mengumpulkan tentara yang tersisa, mereka yang mempunyai kemampuan bela diri dan menggunakans senjata untuk melakukan perlawanan. Oppenheimer sebagai kepala proyek Manahatan pun menyesalinya seumur hidup, mesikipun banyak yang terselamatkan akibat menyerahnya sekutu dan dikalahkannya pasukan elite Nazi, tanggannya akan terus berserak darah yang pekat seumur hidup dan setelah kematiannya. Sebuah genosida yang tercipta dan tersulut akibat buah pemikiran untuk perubahan. Begitu na’as jika direnungkan nasibnya Oppenheimer.
Bagaimana tidak gerakan sosial memiliki peran yang penting dalam mendorong perubahan di masyarakat bukan malah sebaliknya. Namun, agar gerakan sosial dapat bertahan dan mencapai tujuan jangka panjang, perlu adanya regenerasi yang mendalam dan berkelanjutan. Regenerasi ini harus mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan visi peradaban paling utopis yang dipercayai secara fundamental. Pertama-tama, regenerasi gerakan sosial harus memperkuat fondasi hak asasi manusia. Hal ini mencakup memperjuangkan hak-hak dasar setiap individu, seperti hak atas keadilan, kesetaraan, kebebasan berpendapat, dan hak atas kehidupan yang layak. Dengan membangun gerakan sosial yang kuat di sekitar prinsip-prinsip ini, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Selanjutnya, regenerasi gerakan sosial juga harus mengintegrasikan perspektif peradaban jangka panjang. Ini berarti melihat dampak dari tindakan anda saat ini terhadap generasi masa depan dan lingkungan alam. Gerakan sosial harus memperjuangkan keberlanjutan dalam semua aspek kehidupan manusia, mulai dari ekonomi hingga lingkungan hidup tanpa terkecuali.
Dalam konteks ini, regenerasi gerakan sosial perlu memperkuat kolaborasi antarorganisasi dan jejaring yang memiliki visi yang sejalan. Melalui kerjasama yang solid dan sinergis, gerakan sosial dapat memperkuat pengaruh mereka dan mencapai tujuan mereka dengan lebih efektif. Selain itu, regenerasi gerakan sosial juga memerlukan kepemimpinan yang inspiratif dan inklusif. Para pemimpin gerakan harus mampu memotivasi dan memobilisasi massa dengan menyampaikan visi kuat yang membangun solidaritas di antara anggota gerakan. Terakhir, regenerasi gerakan sosial harus mendorong partisipasi aktif dari berbagai kelompok dan komunitas, termasuk kaum muda, perempuan, dan kelompok minoritas. Dengan memastikan representasi yang adil dan inklusif, gerakan sosial dapat menjadi lebih kuat dan lebih efektif dalam menghadapi tantangan yang kompleks dan beragam.
Lantas dengan melakukan pendidikan sebagai pilar utamanya dalam pembangunan gerakan sosial yang inklusif dan berkepastian. Namun, di tengah dinamika zaman yang cepat berubah, pendidikan perlu mengalami regenerasi agar tetap relevan dan efektif dalam mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan masa depan.
Karena regenerasi pendidikan sepatutnya memerlukan pembaruan kurikulum yang mengakomodasi kebutuhan dan dapat beradaptasi dengan tuntutan zaman. Kurikulum harus dirancang untuk mengembangkan keterampilan untuk merespon abad terkini yakni abad ke-21, seperti keterampilan berpikir kritis, melakukan effort dengan sebanding, kolaborasi, komunikasi, dan pemecahan masalah. Ini memungkinkan untuk mendidik individu yang adaptif dan agresif dalam menghadapi perubahan yang cepat. Regenerasi pendidikan juga membutuhkan transformasi dalam metode pengajaran dan pembelajaran. Pendekatan yang berpusat pada individu, kolaboratif, dan berbasis masalah sosial yang sedang berlangsung demi memperkuat keterlibatan individu dalam proses transformasi ilmu.
Regenerasi pendidikan juga harus mencakup metode adaptif dengan pendekatan imajinasi tak terbatas yang dapat memadai secara inklusif. Pendidikan bagi semua lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, orientasi seksual maupun geografis, merupakan prasyarat utamanya.
Dalam menghadapi semua tantangan ini, mari beramai ramai mendorong generasi muda untuk memperkuat solidaritas dan keberanian mereka. Dengan memahami kompleksitas situasi dan merespons dengan kebijaksanaan dan ketegasan, mereka dapat mengambil peran yang aktif dalam menciptakan perubahan yang positif. Meskipun jalan ke depan mungkin sulit dan penuh dengan ketidakpastian, tetapi dengan tekad yang kuat dan semangat yang tak kenal lelah, generasi muda memiliki potensi untuk membentuk masa depan yang lebih baik, di mana kehidupan dan kematian bukanlah rintangan, tetapi titik awal atas sesuatu yang mungkin baik.
Penulis: Zain N. Haiqal
Ilustrasi: A nutshell