Merebut Wacana Sejahtera: Menolak Pengukuran dan Pematokan Tanah di Desa Wadas

Peralihan titimangsa di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, tidak ditandai dengan letupan kembang api atau riuh-rendah terompet tahun baru. Alih-alih, warga disambut dengan kabar akan dilanjutkannya rencana pengukuran tanah di lahan produktif seluas 114 ha, yang selama beberapa waktu telah digunakan sebagai area galian tambang batu andesit. Sesuai rencana Proyek Strategis Nasional (PSN), batuan andesit tersebut akan digunakan sebagai material dalam pembangunan Bendungan Bener di Desa Guntur, sekitar 10,5 km terpaut jaraknya dari Desa Wadas. Kabar akan dilanjutkannya pengukuran tanah itu diunggah oleh laman Instagram @wadas_melawan pada 5 Januari 2022. Dalam postingan tersebut, tampak surat permohonan personil pengamanan pelaksanaan pengukuran yang dilayangkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Surat bertanggal 27 Desember 2021 itu ditujukan kepada Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak, Yogyakarta.

Menanggapi kabar ini, warga Wadas tidak tinggal diam. Selepas beredarnya surat tersebut, segera warga berkonsolodasi untuk melakukan aksi lanjutan di depan kantor BPN, Purworejo dan kantor BBWS Serayu-Opak, Yogyakarta. Mengendarai sejumlah mobil dan angkutan umum, massa aksi bergerak dari titik kumpul di Desa Wadas menuju kantor BPN dan kantor BBWS Serayu Opak pada Kamis (6-1). Ini merupakan ketiga kalinya warga Wadas mendatangi kantor BBWS Serayu Opak. Seperti aksi sebelumnya, tuntutan mereka masih sama, yakni untuk menghentikan segala kegiatan penambangan batu andesit di Desa Wadas. Lebih spesifiknya, warga menuntut untuk dibatalkan rencana pengukuran dan pematokan tanah, terlebih jika ia dilakukan dengan mengerahkan aparat bersenjata. Meski pihak BBWS Serayu Opak berdalih bahwa apa yang mereka lakukan bukan penambangan melainkan eskavasi, warga Wadas tidak bisa dibohongi mengingat krisis lingkungan yang telah mereka rasakan dampaknya.

Masih lekat di ingatan, tatkala April tahun lalu, warga mengalami bentrok dengan aparat. Musababnya, terjadi pengukuran dan pematokan tanah secara sepihak yang melibatkan sekompi aparat polisi dan TNI. Aksi warga yang menolak pengukuran dan pematokan tanah itu dibalas dengan represi oleh aparat. Walaupun warga melakukan aksinya tanpa kekerasan, bahkan melafalkan zikir dan selawat di sepanjang aksi, aparat tetap memperlakukan mereka seakan-akan pemberontak yang bisa mengancam kedaulatan negara kapan saja. Surat yang dikeluarkan oleh BPN, sekaligus juga ancaman terhadap warga. Muncul kekhawatiran, akan kembali terulang kekerasan aparat setahun silam. Kekerasan aparat jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Sebab, sesuai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, setiap manusia memiliki hak atas hidup, keamanan, dan kebebasan.

Meski sekilas tampak sebagai perebutan basis materiil berupa lahan produktif, perlawanan warga Wadas tidak lepas dari perang wacana berebut makna kesejahteraan. Perlawanan warga merupakan manifestasi dari komitmen untuk menjaga lingkungan demi ekosistem yang kondusif bagi kegiatan pertanian. Ini merupakan tradisi turun-temurun yang tidak dapat lenyap begitu saja lantaran direbut oleh agenda penambangan batu andesit demi pembangunan bendungan yang hampir-hampir tidak ada manfaatnya bagi warga setempat. Sejatinya, proyek tersebut hanya diorientasikan untuk menopang infrastruktur Rencana Induk Pariwisata Terpadu Borobudur-Yogyakarta-Prambanan, yang dikeluarkan Kementerian Pembangunan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 31 Maret 2020.

Itu sebabnya, tak pelak perlu digaungkan solidaritas terhadap perjuangan merebut kembali ruang hidup di Desa Wadas. Alasan mendukung warga, terletak pada kepentingan ekologis untuk menjaga keberlangsungan lingkungan. Selama beberapa tahun ke belakang, warga telah merasakan dampak langsung ditambangnya batuan andesit di Desa Wadas, yakni krsis air bersih untuk kebutuhan irigasi dan domestik. Lebih jauh, eksploitasi yang tidak sesuai takarannya, hanya akan menguntungkan sejumlah kecil elite di satu pihak, tetapi menjadi bencana bagi warga kecil di pihak lain.

Merespons situasi ini, Akai Kamisan Yogyakarta menyatakan sikap:

  1. Menuntut dihentikannya segala kegiatan penambangan batuan andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purowerojo
  2. Mengecam segala kegiatan represif yang telah dilakukan aparat terhadap warga dalam mengawal kegiatan penambangan.
  3. Mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bersolidaritas dengan warga Wadas dengan turut menyuarakan sikapnya melalui Aksi Kamisan, atau medium apa pun yang dimungkinkan.

Kamis, 13 Januari 2022

atas nama


Aksi Kamisan Yogyakarta

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0