oleh: Saif Roja
Ketika Francis Fukuyama menulis “The End of History”, –yang menandakan optimisme tentang kapitalisme yang telah merampungkan keunggulan mutlaknya–, sebaliknya, sejarah justru menyiapkan kejutan balik. Sebenarnya tak terlalu tampak sebagai kejutan, bilamana kita cukup baik mempelajari hukum gerak sejarah. Atau setidaknya suka berpikir.
Buku Fukuyama ialah inagurasi kemenangan kapitalisme. Kali pertama terbit pada tahun 1992. Peluncurannya mungkin disambut tepuk tangan di ruang oval Gedung Putih, atau dengan botol champagne yang dibuka di Langley Viginia di sudut pusat kendali CIA, atau diantara jajaran prajurit yang melemparkan topinya ke awan di Brussel pada suatu senja pelataran NATO. Semua perayaan yang pantas. Gorbachev mengenalkan langkah putus asa “Glasnost” dan “Perestroika”, tak lama kemudian Sovyet ambruk. Kejatuhan Tembok Berlin dirayakan lewat tembang “Wind of Change”-nya Scorpion. Aktivis kiri yang tak berbahasa Inggris latah menyanyikannya, hanya karena disana ada kata “Gorky Park”.
Tetapi sejarah tidak berakhir, seperti maksud Fukuyama. Senin kemarin, sebuah artikel muncul di media daring. “Eat the rich! Why millennials and generation Z have turned their backs on capitalism”, judulnya. Ditulis oleh Owen Jones pada kolom media prestisius Inggris, The Guardian. Tulisan dibuka dengan paragraf menarik,
“Yang muda lapar, dan orang kaya ada di menu mereka. Kelezatan ini pertama kali muncul pada abad ke-18, ketika filsuf Jean-Jacques Rousseau konon menyatakan: “Ketika rakyat tidak memiliki makanan lagi untuk dimakan, mereka akan memakan orang kaya!”. Hari ini frasa tersebut ada di seluruh pemandangan Twitter dan media sosial. Di TikTok, video viral menampilkan anak-anak muda berwajah segar yang mengancam mengangkat garpu mereka ke siapa saja yang memiliki mobil bertombol start atau kulkas yang memiliki dispenser air dan es. Jadi, haruskah para miliarder dunia – dan pemilik lemari es – mulai tidur dengan satu mata terbuka? Rasanya tidak. Sudah jelas bahwa kaum milenial (mereka yang lahir antara awal 80-an dan pertengahan 90-an) dan zoomer (generasi berikutnya) tidak benar-benar menganjurkan kekerasan. Tetapi sangat jelas, ini lebih dari sekadar meme viral.”
Pada mulanya adalah kemarahan. Kekecewaan terhadap sistem, semacam karikatur Joker dalam film garapan Todd Phillips. Kemarahan pada Si Kaya yang berkuasa. Kesal oleh hari depan nan buram. Semua tahu, ini adalah jenis kemarahan yang berbeda dari kerusuhan di konser musik. Laporan yang diterbitkan pada bulan Juli oleh Institute for Economic Affairs (IEA), memggambarkan kaum muda Inggris telah mengambil langkah ke tepi kiri. Hampir 80% menyalahkan kapitalisme atas krisis perumahan. Tak kurang 75% percaya darurat iklim merupakan problem spesifik yang ditimbulkan kapitalis.Alih-alih menggemari ekonomi pasar, 72% pemuda mendukung nasionalisasi. Secara keseluruhan, 67% populasi muda ingin hidup di bawah sistem ekonomi sosialis.
Laporan ini seirama dengan rekan muda mereka di Amerika. Dua tahun lalu jajak pendapat YouGov menyebut, 70 persen milenial mengatakan akan memilih kandidat sosialis. Sebanyak 36% diantara mereka menyatakan diri sebagai komunis. Di Austin sekelompok pemuda ber-hoodie hitam menenteng senjata serbu di jalanan sembari membungkus wajahnya dengan kain bermotif palu arit. Mereka menyebut diri sebagai “Pengawal Merah”.
Selama dekade terakhir, sebuah generasi telah diperintahkan untuk pergi ke universitas. Demi meraih gelar dan meraup upah yang baik di masa depan. Mereka terjerat hutang pendidikan (student loan) yang mencekik. Pada tahun-tahun setelah krisis keuangan, dan kebijakan penghematan (austerity), upah pekerja muda yang paling banyak jatuh. Kaum muda diikat tekanan hidup berkepanjangan. Mereka merasakan: semua ini tidak benar, tidak layak diikuti.
Sementara di Twitter dan TikTok, anak muda membuat konten politik yang benar-benar menarik dan dapat diterima. Mereka mengasupnya bersama Internet cepat. Banyak orang muda merasa lebih radikal. Mereka mendapatkan pencerahan, bila kapitalisme dianggap era kegelapan.
Terlampau jauh bila mengatakan kaum muda ini telah berubah menjadi sosialis revolusioner yang berkomitmen. Walau, para milenial Inggris makin akrab saja dengan pria Jerman, Karl Marx. Setengah dari mereka memiliki pandangan positif tentangnya, dibandingkan dengan 40% Generasi X dan hanya 20% Baby Boomer.
Ini bukan seribu kuncup bunga yang sepenuhnya siap bermekaran, andai saja ada yang berharap demikian. Secara historis, di Inggris terdapat sejumlah institusi vital yang telah bertindak menghasilkan, mengirimkan, dan mereproduksi versi pemikiran anti kapitalis dalam skala massal. Serikat pekerja, bersama dengan Partai Buruh, bertindak sebagai gudang akal sehat kelas pekerja. Ia menjangkau lintas generasi dan berfungsi sebagai tandingan yang tidak sempurna namun bermakna terhadap wacana politik arus utama.
Lembaga-lembaga ini telah merosot selama empat dekade terakhir. Keanggotaan serikat pekerja menurun, dari hampir 50% pekerja pada tahun 1979 menjadi hanya 24% di tahun 2021, kebanyakan mereka berada di sektor publik. Di 77% sektor swasta , tidak ada satu pun anggota serikat pekerja. Terlebih lagi, gerakan ini makin menua. 38% anggota serikat pekerja berusia di atas 50 tahun , hanya empat persen lebih muda dari 24 tahun . Seluruh generasi kelas pekerja di Inggris sebagian besar melihat serikat pekerja dan gerakan buruh sebagai peninggalan masa lalu. Mungkin selayaknya benda-benda yang didominasi pikiran yang kurang radikal untuk memahami dunia. Anak-anak muda ini tampaknya meminta lebih. Yang cepat, yang tidak sabaran, yang khas anak muda itu sendiri.
Sebab yang tua terlampau renta, bahkan untuk sekedar marah. Yang ganjil, yang bejat, yang onar, telah dinormalisasi dalam ritus harian orang-orang tua. Asal bisa menutup tagihan, asal berlibur di akhir pekan, dan asal tanaman di pelataran tumbuh menghijau. Sebagian dari mereka ada pula yang berdoa, sembari merindukan kehidupan di luar dunia, sebab dunia makin terasa begitu-begitu saja. Mereka membicarakan Tuhan seolah Dia seorang sahabat yang ikut menyikat kamar mandi, atau yang membayarkan token listrik, atau yang menawarkan film di Netflix. Orang-orang tua terlalu keropos, ciut, dan canggung. Hanya Fidel Castro yang menua ajeg keras kepala.
Yang muda tengah mencari jalannya. Kita tidak tahu itu akan berbentuk apa. Lenin muda menyaksikan abangnya Sasha tewas dan kemudian memulai karir sebagai konseptor ulung Revolusi. Di dekade 1970-an, anak muda seperti Andreas Baader mendirikan Red Army Faction, Renato Curcio membangun Brigate Rosse di Italia, Fusako Shigenobu membentuk milisi kota JRA di Jepang. Semua suka membedil dan meledakkan musuh. Milenial dan Zoomer entah akan melakukan apa untuk mendefinisikan “eat the rich” yang berbeda. Tapi, setidaknya mereka telah menyangkal Fukuyama untuk satu soal besar.
Yang dikira final, kerap kali hanya babak pendahuluan dari epos panjang. Banyak orang tak berbahagia hidup beratapkan kapitalisme. Diantara mereka orang-orang muda. Bukan di Dhaka, Sumenep, atau Kinshaha. Mereka anak-anak muda di sentrum menara kapitalisme berdiri. Kata seorang seniman, “Jangan mengukur sejarah dari usia manusia. Usia manusia terbatas. Sejarah tidak.” ***