Bukan hal yang tidak mungkin ketika terjadi kegaduhan atau tragedi yang berkaitan dengan kemanusian seperti penggusuran, perampasan paksa bahkan pembunuhan, selalu menimbulkan korban. Dan lalu kita dipaksa untuk menelan sajian narasi yang lebih condong pada versi pemerintah. Sekalipun hal tersebut terkadang tidak masuk secara akal, nalar dan logika. Karena bisa jadi narasi yang utuh dan benar berkebalikan dari apa yang di reproduksi oleh pemerintah. Apalagi kalau hal tersebut melibatkan unsur – yang dipersenjatai – yang seharusnya melindungi dan menjaga keamaan malah berbalik menjadi teror yang sangat menakutkan.
Kisah-kisah yang dituturkan dalam buku “BERITA KEHILANGAN; Antologi Cerita Pendek Penghilangan Paksa” seolah ingin melihat ulang dan protes pada beberapa kejadian yang pernah terjadi di masa lalu tersebut. Dengan ragam penyajian yang sastrawi, beberapa penulis bahkan mampu menarasikan dengan lebih baik dan masuk akal daripada narasi yang sudah terlanjur di konsumsi masyarakat sebelumnya. Tentunya karena pada cerita-cerita tersebut diolah berdasarkan pengalaman penulis yang berangkat dari tempat peristiwa itu terjadi; Dari Aceh sampai Papua; Dari tahun ’65 sampai peristiwa reformasi ’98. Ataupun dari olahan data dari banyak peneliti sebelumnya.
Setidaknya, buku ini mengingatkan kita pada persitiwa yang pernah terjadi. Benar atau tidak, hal itu bisa di sinkoronkan dengan data yang ada. Seperti yang di tulis Seno Gumirah Ajidarma dalam ‘Tragedi Kandang Babi’. Hal ini mengingatkan kita pada peristiwa keji dimana seorang pendeta mati di tembak dan dibacok lalu kemudan mayatnya di buang di kandang babi. Papua, seperti yang ditulis oleh Seno, seolah menjadi tempat bagi aparat mempraktekkan ilmu dan nafsu membunuhnya. Seakan tidak ada bedanya antara baik dan buruk yang terjadi di Papua, baik tentang gerilyawan pemberontaknya, masyarakatnya, ataupun kaum rohaniawannya. Semua dipandang seolah-olah adalah ‘benalu’ bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga dengan mudahnya nyawa bisa melayang kapanpun. Walaupun sudah numpang tinggal, numpang maka, kebutuhan dilayani dan sebagainya. Kisah pendeta Reyedipa adalah contoh bagaimana aparat dengan buas dan ganas bisa menghabisi siapa saja yang dianggapnya ‘musuh negara’ walau hanya sangkaan perasaan, dan tanpa bukti nyata. Dalam kisah pendeta Reyedipa ini juga memperlihatkan betapa aparat justru yang paling tidak berperikemanusiaan dengan dan atau apapun alasannya. Seperti orang yang tidak tahu berterimakasih tapi tetap ingin dikatakan gagah berani, luar biasa dan hebat. Bermodalkan pakaian dinas dan senapan lalu dilegitimasi oleh pemerintah, maka di tanah Papua mereka menegakkan keadilan ala ’koboi’; tidak senang maka mati.
Atau ada juga Mardian Sagian dalam cerpen ‘Ikan-Ikan Yang Menggelepar’ yang mengingatkan kita pada persitiwa Pasukan Gerilya Rakyat Serawak atau Pasukan Rakyat Kalimantan Utama (PGRS/Paraku). Dimana slogan ‘Ganyang Malaysia’ dengan mudah berganti menjadi ‘Ganyang Komunis’. Hal ini berangkat dari dilatihnya beberapa rakyat di Kalimantan Utara yang berbatasan dengan Malaysia untuk terlibat dalam konfrontasi Soekarno dengan Malaysia. Rakyat semula dilatih oleh tentara. Dididik untuk unggul dalam bertarung, menggunakan belati bahkan menembakkan senapan. Tapi pada saat konfrontasi itu usai, lalu tampik kepemimpinan beralih ke Soeharto, maka dengan cepat isu berganti dengan menganggap PGRS/Paraku sebagai Gerakan Tjina Komunis (GTK). Para pasukan yang tadi dilatih untuk dipakai dalam konfrontasi di perbatasan Indonesia-Malaysia medio 1963-1965 kemudian mulai diburu aparat dan masyarakat Dayak sendiri yang pernah tergabung dengan PGRS/Paraku tapi kemudian berhasil di hasut aparat dengan propaganda palsu. Semua yang tidak mau menyerahkan senjata, harus di kejar dan dihabisi satu persatu. ‘…Gosip dari militer itu membuat warga waswas dan waspada. Di remang pondok masing-masing, mereka menghitung kepala anggota keluarga, membayangkan entah malam ini atau besok, seseorang dari mereka akan lenyap disekap komunis. …Cerita tentang orang hilang yang ditemukan menjadi mayat tersiar di segala penjuru. Senjata para tentara itu bukan lagi senapan dan belati, melainkan lidah, yang pada kondisi seperti ini, lebh tajam dan bisa membakar’. Penulis ingin mengatakan bahwa aparat bahkan dengan liciknya bisa merubah narasi yang seperti kehendak mereka. Alih-alih memberikan apresiasi pada rakyat yang membantu dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia, malah rakyat sendiri di habisi dengan kejam.
Dan yang tak kalah mirisnya ialah cerita tentang pembunuhan aktivis Ita Martadinata yang secara keji dilakukan sehari sebelum sidang PBB terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi tahun 1997-1998. Ita – dalam cerita ‘Bolu Jahe dan Hari Orang Hilang’ yang ditulis oleh Aoelia M – diceritakan sedang menginvestigasi kasus ’98, dimana peristiwa tersebut menyasar pada kelompok etnis tertentu. Pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain. Tentu ini bukan kasus perorangan. Akan tetapi melibatkan sistem yang ada. Hasil olah data dan fakta itulah yang kemudian akan dilaporkan dalam sidang PBB. Tetapi hal itu tak pernah terjadi. ‘…Sandyawan Sumardi membawa kata-kata seberat batu bata di hadapan para reporter nasional. Berita utama; Ita Martadinata telah mati dan beberapa anggota tim pencari fakta, hilang. Di dalam apartemennya ia temui Ita Martadinata, tanpa busana, tergorok sepenuhnya. Hanya berjarak satu hari sebelum sidang PBB. Tidak ada yang sanggup berkata-kata pada darah yang menggenang di lantai, atau tentang dua puluh satu kabar hilang pada satu malam yang sama’.
Itulah sebagian cerita-cerita pendek yang dihimpun dalam buku ‘Kabar Kehilangan’ ini. Buku yang menarik dan penting untuk dibaca semua kalangan. Terutama mereka yang menaruh perhatian pada permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM). Dan masih banyak lagi cerita-cerita lainnya termasuk yang bersifat satir dan sebagainya yang disajikan dalam buku ini. Buku ini seolah ingin menyatakan bahwa narasi negara terlalu banyak kebohongannya dibandingkan dengan fakta yang sesungguhnya. Buku ini mengingatkan kita Milan Kundera, bahwa ‘perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa’. Dan itulah yang coba dilakukan oleh buku ini.
Narasi sejarah yang di ceritakan dalam bentuk sastra seperti ini memang bukan yang pertama. Sebut saja Pramoedya Ananta Toer – sastrawan – yang banyak menuliskan sejarah melalui novel-novelnya yang legendaris; Tetralogi Pulau Buru. Atau Ahmad Tohari dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya yang juga menyerempet tema pada medio 65-66. Dan masih banyak lagi yang menulis serupa.
Membaca sastra dengan narasi kesejarahan tentunya berbeda seperti membaca hasil penelitian. Penelitian memang dimaksudkan untuk memperkuat data dan menegaskan fakta sehingga bisa dijadikan referensi sahih dalam kajian-kajian ilmiah. Sementara sastra, meskipun tidak bersifat ilmiah, namun dapat menambah khazah pengetahuan dan memperluas horizon berpikir kita tentang suatu peristiwa atau kejadian.
Dan membaca buku ini jelas membuat kita dihadapkan pada pesan bahwa kejahatan kemanusiaan bisa menimpa kita kapan dan dimana saja. Protes terhadap kebijakan negara atau menyangkut proyek ‘kepentingan negara’ bisa menjadikan kita korban juga. Luka-luka atau bahkan mati secara cuma-cuma. Proyek-proyek pertambangan, kasus-kasus agraria ataupun lainnya hampir memakan korban semua. Hanya saja tidak banyak yang menjadi konsumsi pemberitaan secara luas. Dan melalui buku ini – meskipun hanya antologi cerpen – telah memberikan kita pemahaman yang kritis bahwa ‘harapan habis ketika apa yang adil dan tak adil di selesaikan dengan dalih dan dusta’.
Pertanyaannya, apakah kita harus tunduk dan takut? Itu saja.