Oleh Zippo S Anggara (Penikmat Teh dan Pegiat HAM)
Eksodus pengungsi Rohingya pertengahan Agustus 2017 dari Rakhine menuju Cox Bazar menjadi dasar Myanmar dan Bangladesh berwacana melakukan Repatriasi (Pemulangan) Pengungsi Rohingya secara sukarela dan tanpa paksaan melalui Arrangement on Return of Displaced Person from Rakhine state yang ditanda tangani pada November 2017. Namun, Seiring berjalannya waktu, hingga saat ini pemulangan yang direncanakan tersebut belum juga menemukan jalan terang. Pengungsi Rohingya masih terjebak, terisolasi di Coxz Bazar Bangladesh dan ditambah lagi situasi politik Myanmar yang sedang tidak stabil menambah tipis harapan pemulangan dilakukan.
Kemudian, melihat kondisi politik Myanmar yang kian mencekam usai Junta Militer melakukan Kudeta awal februari lalu yang menggulingkan Aung San Suu Kyi dari kursi kepemimpinan akibat ketidak percayaan faksi Militer Myanmar pada hasil pemilu November 2020. Hingga kini kondisi Myanmar kian memanas, data dari Assistance Association of Political Prisoners (AAPPB) melaporkan 844[1] orang menjadi korban tewas oleh pasukan junta militer sejak kudeta militer 1 Februari 2021.
Merespon kondisi politik Myanmar karena tidak kunjung mereda pada tanggal 24 April 2021, ASEAN melaksanakan ASEAN Leader Meeting di Jakarta dengan pembahasan utama mengenai kondisi yang terjadi di Myanmar saat ini. Salah satu pembahasan yang ada dalam ASEAN Leader Meeting tersebut adalah dukungan untuk melaksanakan repatriasi pengungsi Rohingya serta mencari akar permasalahan yang terjadi di Rakhine, Myanmar. Namun, apa yang menjadi rekomendasi para pemimpin ASEAN ini memunculkan pertanyaan baru, apakah mungkin repatriasi sukarela pengungsi Rohingya dapat dilaksankan ditengah gejolak politik Myanmar yang belum mereda?
Repatriasi harus bersifat Sukarela
Repatriasi merupakan satu dari tiga solusi permanen yang dapat diterapkan untuk pemencahan masalah pengungsi selain resettlement dan Local Integration.[2] Pemulangan pengungsi atau Repatriasi merupakan langkah yang dapat diambil untuk memutus mata rantai pengungsi dan sebagai “as a state-building tool”, serta proses pemulihan hubungan politik antara warga negara, pengungsi dan negara.[3] Prasyarat yang diperlukan untuk kepulangan adalah keamanan dan perlindungan nasional. Syarat ini merupakan syarat mutlak agar repatriasi yang dilaksanakan bertahan lama/permanent dan pengungsi tidak meninggalkan negara asal untuk kedua kali. Selain itu, Repatriasi ini harus dilaksanakan secara sukarela (Voluntary), tanpa paksaan dari pihak manapun. Sehingga dapat dikatakan Repatrasi merupakan hak yang dapat diambil oleh pengungsi secara sukarela ketika terdapat tawaran untuk kembali pulang ke negara asal. Voluntariness Principle atau prinsip sukarela ini harus diberikan oleh negara penerima maupun negara asal sebelum memastikan pemulangan terjadi sebagaimana mandat United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam handbook of Voluntary Repatriation 1966.
Prinsip voluntary merupakan ladasan internasional sehubungan dengan pengembalian pengungsi. Sebenarnya, prinsip ini tidak tercantum secara ekplisit dalam pasal pasal yang terdapat dalam Konvensi Pengungsi 1951, namun merupakan perluasan dari Prinsip Non-refoulement yang terdapat dalam pasal 33 Konvensi Pengungsi 1951.[4] Handbook Voluntary of Repatriation menyebutkan repatriasi yang dipaksakan dalam praktinya akan sama dengan refoulement. Sehingga dalam melaksanakan Repatriasi ini haruslah didasarkan pada prinsip kesukarelaan dan tanpa paksaan sehingga aturan prinsip Non-Refoulement tidak terlanggar dan tetap terpenuhi. Mengingat Prinsip Non-Refoulement sendiri merupakan jus Cogens yang diakui oleh masyarakat Internasional.
Berdasarkan prinsip tersebut, pemerintah Myanmar dan Bangladesh meskipun telah menyepakati Arrangement on Return of Displaced Person from Rakhine state tetap harus mengedepankan prinsip sukarela. Pemerintah kedua negara harus memberikan pilihan kepada pengungsi Rohingya yang berada di Cox Bazar apakah memilih untuk pulang ke Myanmar atau tetap tinggal di Kamp-kamp pengungsian di Cox Bazar Bangladesh. Demi mengedepankan terlaksananya Prinsip Sukarela, pemerintah kedua negara bersama dengan UNHCR harus memberikan Informasi yang benar, objektif, akurat, dan transparent termasuk mengenai masalah keamanan, hukum, hingga keselamatan di negara asal (Myanmar) kepada pengngsi yang akan melaksanakan repatriasi.[5]
Mustahil Repatriasi tanpa jaminan keamanan
Penciptaan kondisi yang aman dan kondusif bagi repatriasi sukarela merupakan tantangan yang besar, tidak saja bagi negara asal tapi juga bagi masyarakat internasional yang dukungannya sangat diharapkan. Hal ini terjadi terutama dalam situasi pasca konflik dimana biaya, usaha dan waktu yang dibutuhkan untuk menciptakan perdamaian, menjamin penghormatan terhadap hak asasi manusia, membangun kembali infrastruktur serta memulihkan kehidupan ekonomi, Politik dan sosial negara, merehabilitasi sistem hukum dan menumbuhkan stabilitas jangka panjang sangat besar. Kenyataan yang sulit ini harus dipertimbangkan dalam menghadapi keinginan banyak negara suaka yang mengharapkan repatriasi sukarela segera dilakukan, terutama jika mereka telah menampung pengungsi untuk waktu yang lama.
Jaminan keamanan dalam melakukan repatriasi merupakan hal yang paling utama dan diutamakan. Handbook Voluntary Repatriation 1966 menggaris bawahi Repatriasi sukarela didasarkan pada prinsip Safety and Dignity. Keamanan negara asal menjadi pondasi utama repatriasi pengungsi secara sukarela, pemerintah negara asal wajib mencari solusi jangka panjang dengan menghilangan akar masalah dari pengungsi dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk repatriasi sukarela. Bentuk Implementasi dari prinsip Safety and Dignity dapat berupa negara asal menyediakan rute kepulangan yang aman dan tidak terdapat ranjau darat di wilayah perbatasan yang sering digunakan pengungsi untuk kembali kenegara asal.[6]
Melihat berbagai persyaratan diatas nampaknya peluang untuk repatriasi sukarela dapat dikatakan tipis dan mustahil. Myanmar saat ini masih dalam keadaan Chaos akibat kudeta militer yang mengakibatkan lebih dari 800 warga sipil tewas, keadaan ini mengindikasikan keamanan Myanmar untuk saat ini dalam keadaan darurat dan apabila repatriasi dilaksanakan sekarang tidak ada yang bisa menjamin apakah pemerintah Myanmar akan mampu melindungi pengungsi Rohingya yang kembali dari Cox Bazar. Selain itu, Pemerintah Myanmar hingga sekarang belum menghilangkan Ranjau darat yang dipasang diperbatasan pada 2017 padahal menghilangkan ranjau darat diperbatasan merupakan merupakan mandate dari UNHCR sebelum melakukan repatriasi sukarela serta memastikan pemulangan dilakukan secara aman dan bermartabat.
Berbekal dari penjelasan tersebut diatas, konsesus untuk mendorong repatriasi Pengungsi Rohingya yang dituangkan dalam ASEAN Leader Meeting tersebut sulit untuk diterapkan. Bahkan peluang terlaksananya Repatriasi Sukarela masih jauh dari kata Ideal bahkan mungkin mustahil dilaksanakan. Untuk itu sebaiknya ASEAN memikirkan ulang rencana dukungan pemulangan tersebut.
*Tulisan ini dibuat untuk memperingati Hari Pengungsi Sedunia yang jatuh pada 20 Juni 2021
[1] Laporan Perkembangan dari Assistance Association of Political Prisoners per 1 Juni 2021, (https://aappb.org/?p=15474)
[2] Achmad Romsan, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional: Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional, ctk Pertama, Bandung: Sanic Offset, 2003.
[3] Laura Hammond, ‘Voluntary’ Repatriation and Reintegration, Oxford Handbooks Online, 2014, hlm. 3
[4] Chapter 2.4, United Nation of High Commissioner for Refugees, Handbook Voluntary Repatriation: Internal Protection, Geneva, 1966
[5] Mandat Executive Committee of the High Commissioner’s Programs, Conclusion on Legal Safety Issues in the Context of Voluntary Repatriation of Refugees No. 101 (LV) – 2004,
[6] Chapter 6.5, United Nation of High Commissioner for Refugees, Handbook Voluntary Repatriation: Internal Protection, Geneva, 1966
Pic Source: Matteo Grandi