Artidjo Alkostar: Kenangan Seorang Mahasiswa

Oleh Eko Prasetyo  (Mahasiswa UII angkatan 90)

Mereka yang tak mempunyai api akan sia sia hidupnya” (Rumi)

Di manapun, ketidak-adilan adalah ancaman bagi keadilan dimana-mana” (Martin Luther King)

Cara paling pasti untuk mengungkap karakter seseorang bukanlah melalui kesulitan tetapi dengan memberinya kepercayaan” (Abraham Lincoln)

1992

Saya bergegas datang ke ruang kuliah. Ini mata kuliah perdana yang tak boleh absen. Duduk di posisi agak depan, saya menunggu kedatangan sang dosen. Yang saya ingat itulah kuliah Hukum Acara Pidana dan wajib diikuti. Tak berselang lama datang dosen yang bajunya sederhana, dengan ikat pinggang yang kecil, mengenakan kaca mata tebal: disertai petugas absen yang membawa televisi. Saya bingung ini kuliah atau mau nonton. Dosen itu hanya berkata: saya akan menayangkan film hukum tolong kalian amati dan beri ulasan atas film ini. Kami lega, gembira dan tak percaya. Kali ini kuliah tak lagi bicara pasal dan tak perlu menghapal. Kita hanya diminta nonton film. Itulah kenangan pertama saya tentang bang Artidjo. Dosen yang mengajarkan ilmu hukum dengan gaya puitis. Kadangkala kami diberi tugas membaca novel John Grisham. Berdikusi tentang novel itu dan ujianya lebih banyak kami diminta memberi pandangan. Hukum Acara Pidana baginya bukan tentang pasal tapi pemahaman tentang keadilan. Film, novel dan puisi adalah aroma yang ditiupkan di ruang kuliahnya. Jujur saya menyukai sastra karena gaya mengajar bang Artidjo.

1995

Saya diminta pak Mahfud-saat itu pembantu Rektor-untuk meriset kualitas dosen UII. Saya diberi kebebasan untuk mewancarai siapa saja. Salah satu orang yang harus saya wawancara adalah bang Artidjo. Di kantor pengacaranya yang letaknya di jalan Godean saya sudah ditunggu. Kantor yang sepi dan sederhana. Ia selalu tepat waktu dan irit bicara. Menjawab dengan singkat dan menyatakan sesuatu secara terang: ia kecewa pada dosen hukum yang tak bersikap saat menyaksikan ketidak-adilan, baginya tugas seorang pengajar itu bukan mengisi kuliah tapi mengasah kepekaan mahasiswa dan kekuatiranya dosen bisa jadi stempel rezim jika tidak memahami peran sucinya. Ia menceritakan pengalamanya waktu melakukan riset tentang gelandangan. Kelak hasil riset itu diterbitkan oleh LP3ES: cerita mengenai kemiskinan struktural yang dialami oleh kaum miskin kota. Bang Artidjo ‘terjun’ menjadi orang miskin untuk mengalami apa yang mereka alami, merasakan denyut kehidupan mereka dan memahami gejolak mereka. Ia kemudian bercerita tentang pengalamanya dalam membela keadilan: kasus penembakan misterius hingga pembelaan untuk tahanan politik. Hari itu saya menyaksikan wujud dari harapan Antonio Gramsci: Intelektual Organik.

1996

Suasana politik lagi memanas. Soeharto mulai meneror. Tapi suara masyarakat sipil bangkit dengan berani. Terobosan politik yang dilakukan adalah membentuk organ pemantau pemilu independent. Saya bersama sejumlah kawan kemudian membuat pertemuan. Kami membuat komite pemantau pemilu untuk pertama kalinya. Ada banyak aktivis Jogja berkumpul. Digerakkan dari Jakarta kemudian ditindak-lanjuti untuk pembentukan di Jogja. Tiap pertemuan selalu didatangi aparat hingga kami melakukan itu semua dengan cara sembunyi. Tuduhan dialamatkan dengan cara yang khas Orba: menganggap komite itu ancaman stabilitas. Illegal dan musuh negara. Tak banyak akademisi yang bicara dan bang Artidjo mengambil sikap yang berani. Mendukung bahkan menganggap inisiatif politik ini adalah partisipasi yang demokratis. Lagi-lagi bang Artidjo menempatkan diri sebagai intelektual organik: mendorong demokrasi sebagai dasar tata kelola pemerintahan. Ia berdiri bukan di hadapan mahasiswa  saja tapi rezim yang mulai kehilangan etika bernegara. Kantor LBH Jogja hari itu jadi suaka perlawanan. Bang Ar memimpin kantor ini. Saat itu ia memutuskan untuk berperan sebagai pelindung pada tiap inisiatif politik yang berani. Saya mengalami perlindungan darinya ketika kegentingan politik mulai meledak di masa-masa itu.

1999

Reformasi bukan hanya mengganti Soeharto tapi menampilkan berbagai kekisruhan sosial. Saat itu ada kasus pencurian kayu jati yang mana banyak petani jadi tersangka. Saya masih di LKBH UII dan bersama tim diminta turun ke lapangan untuk advokasi. Kala itu petani berhadapan dengan serdadu. Isu HAM sedang menghangat. Bang Artidjo memberi saran untuk melaporkan kasus ini ke publik. Kami saat itu berada di kawasan yang dikepung oleh aparat. Publikasi bisa dilakukan jika kami bisa membawa keluar petani dari sana. Mereka harus menjadi saksi hidup represi. Taktik yang kami tempuh seperti yang dianjurkan oleh bang Artidjo: keluar pada fajar, menggunakan mobil secara terpisah, berkedok sebagai pedagang yang akan berjualan dan langsung menuju ke ibukota propinsi. Bang Artidjo juga meminta agar semua jurnalis dikontak. Semua itu harus dilakukan secara cepat: sehari selesai semua dan petani diberi perlindungan setelahnya. Saya diminta bicara ke media dan bang Artidjo memberi arahan umum apa yang saya katakan. Nyatakan siapa pelaku pelanggaran HAM, bagaimana kronologinya dan tuntutan apa yang diajukan. Hari itu untuk pertama kalinya saya mendapatkan pujian darinya. Katanya: terima kasih bagus kamu bicara! Itulah ucapan sederhana, indah dan masih saya kenang hingga kini. Saya tahu bang Ar orang yang tidak gemar mengumbar pujian. Perkataan singkatnya itu memupuk nyali kami pada saat itu.

2000

Itulah tahun yang bersejarah. UII akan mendirikan Pusat Studi HAM. Bang Artidjo didaulat untuk menjadi Ketuanya. Pengalaman, dedikasi dan reputasinya akan menciptakan atmosfer tersendiri. Saya menjadi salah satu stafnya. Bang Ar datang ke kantor dengan sepeda motor butut, lalu duduk di ruangan dan habiskan waktu dengan menulis atau membaca. Tiap kali rapat selalu mendorong bagaimana kantor ini memiliki pengaruh tak hanya disini tapi juga masyarakat International. Waktu itu Amnesty International belum berdiri di Jakarta tapi bang Artidjo selalu menugaskan kita untuk membuat kontak dengan lembaga HAM international itu. 20 tahun kemudian saya ikut terlibat pada peluncuran kantor Amnesty karena ingin memenuhi saran bang Ar. Seorang yang percaya kalau HAM dengan Islam itu tak ada pertentangan. Seorang yang meyakini bahwa menjadi aktivis HAM itu perlu punya kemampuan untuk mengembangkan jaringan seluas-luasnya. Meski tak lama duduk sebagai ketua PUSHAM UII tapi memorinya selama berkantor disana sangat mengakar: HAM itu bukan pengetahuan tapi komitmen keberpihakan dan upaya untuk berjuang menegakkan HAM adalah bagian dari Iman. Katanya pejuang HAM itu harus pintar dan berani. Kalau pintar kita tak gampang dimanipulasi dan keberanian membuat kita tak takut jika diteror.

2000

Saya hari itu dimintai tolong. Koleksi tulisan bang Artidjo akan diterbitkan. Semua tulisanya dikumpulkan. Topik yang diangkat seputar hukum, HAM dan politik kebijakan. Jujur saya agak kerepotan karena tulisan bang Artidjo ternyata melimpah. Produktif dan disiplin itu yang tampak sekilas dari ragam tulisanya. Tapi sudut pandangnya selalu sama: krisis nilai, kediktatoran hukum dan kekerasan adalah asal muasal ketidak-adilan. Keberpihakanya terang dan diungkapkan dengan kalimat yang garang. Pada soal penembakan misterius bang Artidjo menyoal keculasan elite dan aparat. Gema tulisanya itu menjadi ungkapan abadi dirinya: idealis, berani dan romantik. Saya menemukan kutipan kalimat para novelis seperti Victor Hugo yang karyanya sering jadi anjuranya untuk dibaca: Les Mirables. Novel yang mengungkapkan dengan memukau akan arti menjadi manusia yang sesungguhnya. Pada tulisanya saya tidak menemukan pria yang sederhana tapi dosen yang kaya: kaya nurani, kaya bacaan dan kaya Iman. Tiap kali saya ke rumahnya dan itu bertepatan dengan adzan bang Artidjo selalu mengajak sholat bersama. Rumahnya di Godean masih saya ingat persis perabotnya: kursi sederhana dengan buku serta koran yang berserakan. Ia kutu buku yang suka beribadah. Negara Tanpa Hukum adalah rekaman gagasanya sebagai pengacara jalanan.

KINI

Saya bersyukur pernah menjalani kuliah dengan dosen seperti dirinya. Saya bangga punya atasan seperti dirinya. Bahkan saya ingin menyampaikan rasa terima kasih atas peran besarnya selama ini. Ia tidak sekedar mendidik tapi memberi tauladan. Ia bukan sekedar menjabat tapi berjuang. Waktu di Mahkamah Agung saya bertandang ke ruanganya: berkas kasus Soeharto yang menumpuk tinggi diperlihatkan pada kami. Itulah tempat perjuangan baru yang kelak akan menorehkan profil dirinya sebagai hakim yang benar-benar ‘agung’. Ruangan kantornya punya tempelan unik: tidak menerima tamu. Seolah ia mengikrarkan diri untuk menjaga marwah keadilan dengan tidak sembarangan menerima tamu. Dari dulu hingga kini bang Artidjo selalu berusaha untuk menjaga diri. Mungkin itu sebabnya di almari bukunya ada buku Al Ghazali. Bang Ar dari dulu memilih zuhud sebagai ideologinya.

Terakhir kami bertemu saat bang Suparman Marzuki mantu. Ia masih bertanya bahkan resah tentang kondisi kehidupan kampus. Tak lagi mengambil peran kritis, tidak lagi berani ambil posisi bahkan tak lagi mengabdi pada kepentingan rakyat. Baginya kampus harus bisa memberi sumbangan bermakna, baik bagi perbaikan tata kelola negara maupun mendidik calon pemimpin bangsa. Mungkin agak utopis tapi itulah bang Artidjo yang saya kenal: pikiranya mengembara dalam nilai-nilai ideal dan langkah pragmatisnya membuatnya sulit untuk mencari titik kompromi. Yang saya ingat kenangan tentangnya saat menjadi pengacara: berdiri di pekarangan sendiri ketika menunggu sidang sambil membaca Qur’an kecil yang selalu ada dalam tasnya. Ia pengaggum Muh Iqbal yang gagasanya sering dikutipnya. Kata Iqbal: Jika dunia tidak selaras denganmu, bangkit dan tantang ia! Bang Ar menghidupkan ruh pesan itu dalam hidupnya.

Itulah bang Artidjo: melawan tiap penyelewengan, percaya pada nilai-nilai ideal dan bertahan dengan keyakinan agungnya. Kini Tuhan memanggilnya. Tuhan ingin dirinya bergabung dengan pendekar keadilan yang sudah dipanggil lebih dulu. Di alam baka ada cak Munir, ada Baharuddin Lopa, ada Daniel S Lev, ada bang AE Priyono, ada bang Said Tuhuleley, ada HJ Princen serta banyak kolega LBH yang dulu pernah berjuang bersamanya. Bang Ar seperti syuhada: ia tidak pergi jauh tapi hidup di alam yang berbeda. Sebagaimana hidupnya-selama ini- yang memang punya nilai yang jauh berbeda dibanding kita. Kita yang pragmatis bang Ar yang idealis; kita yang materialistik dan bang Ar yang spiritualis. UII kini jadi rumah kepulanganya. Kini Allah memberi pesan yang pas pada kita untuk mengenang bang Ar: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati, karena (sebenarnya) mereka itu hidup tetapi engkau tidak menyadarinya (QS al Baqarah: 154)

Bang Ar terima kasih dan selamat jalan.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0