Oleh Nalar Naluri
“Kecenderungan saling membantu dalam diri manusia memiliki asal yang begitu jauh, dan terjalin sangat dalam dengan semua evolusi masa lalu umat manusia, yang telah dipertahankan oleh umat manusia hingga saat ini, terlepas dari semua sejarah.” (Pyotr Kropotkin)
Saya punya kenangan tersendiri dengan keberadaan FPI (Front Pembela Islam). Jika selama ini banyak orang melabeli FPI sebagai organisasi intoleran, suka kekerasan, dan kerap memusingkan pemerintah, itu tidak salah. Akan tetapi, mencoba menghapus kiprahnya dalam aksi solidaritas kemanusiaan, terutama saat terjadi bencana besar (kecuali pandemi sekarang)―yang pernah menyambangi negeri ini, justru semakin mempertebal sikap kepongahan kita sebagai manusia.
Pada tanggal 28 September 2018, Palu dan sejumlah kabupaten di sekitarnya, mengalami bencana alam yang dahsyat. Tiga kehancuran dalam satu paket tiba dengan kejutannya: gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi. Begitu sulit untuk dilupakan. Menurut Gubernur Sulawesi Tengah, Longki Djanggola, korban jiwa mencapai hingga 4.340. Meninggal 2.657, hilang 667, tak teridentifikasi 1.016 orang.
Saat itu sekitar pukul 18:02 WITA (waktu Indonesia tengah). Azan magrib sudah bersiap akan dikumandangkan, toa-toa di masjid telah melantunkan ayat-ayat suci. Namun ada juga orang-orang di sekitar pantai Talise terlihat banyak berkerumun untuk sekadar menikmati keindahan saat-saat matahari tenggelam. Beberapa di sekitar pantai juga banyak menanti dimulainya pertunjukan perayaan akbar hari jadi Kota Palu yang ke-40.
Dengan sekejap, bingkai kemajemukan keindahan itu sirna. Gempa bumi berkekuatan 7,4 MW datang tanpa permisi dan mengakibatkan tsunami hingga ketinggian 5 meter. Orang-orang yang sedang menikmati matahari tenggelam, orang-orang yang menanti azan magrib dari serambi masjid apung pinggir pantai, dan orang-orang yang menunggu panggung semarak perayaan hari jadi Kota Palu yang genap berumur empat dasawarsa itu, lenyap ditelan air. Berhamburan mencari tempat ketinggian, berlari sekencang mungkin menghindari ombak yang menyalip nyawa.
Sejumlah ilmuan geologi mengemukakan, tsunami ini terbilang tak biasa, jika tsunami umumnya kita kenal adalah akibat patahan/gesekan lempeng tektonik, yang terjadi di teluk Palu berbeda. Terjangan air laut setinggi anak pohon kelapa tersebut, mengamuk akibat longsoran dari tebing-tebing di dalam laut teluk Palu.
Tak cukup disitu, beberapa pemukiman yang berada di Perumnas Balaroa (Palu), Petobo (Palu) Jono Oge (Sigi), dan Tanambulava (Sigi) lenyap ditelan likuefaksi. Sejumlah korban selamat yang kami temui mengatakan, “Rasanya seperti diaduk dalam satu blender raksasa yang berisi campuran lumpur, rumah-rumah tak berbentuk, gelonggongan pohon-pohon kelapa, dan mayat manusia.” Likuefaksi ini merupakan likuefaksi terbesar dan pertama dalam sejarah manusia yang menelan banyak korban. Mereka yang selamat dari kocokan lumpur tersebut menambahkan, “Kami disedot lumpur beberapa saat, lalu bumi memuntahkan kami. Namun, sebagian besar manusia masih tenggelam di dalam lumpur, mereka tak berhasil keluar dari adonan bubur neraka tersebut.”
Suram. Situasi itu semakin buruk kala listrik, jaringan seluler, dan berita terkini mengenai kondisi bencana dari lapangan tak terakses hingga 3 hari lamanya. Kepanikan pun melanda orang-orang di lokasi bencana, juga keluarga mereka yang tidak berada di lokasi bencana. Rumah-rumah masyarakat banyak yang rata dengan tanah, lenyap ditelan lumpur, hancur diterjang tsunami, mereka juga kesulitan akan kebutuhan pangan dan obat-obatan.
Gempa banyak mengakibatkan longsor, membelah tanah, dan kekhawatiran lainnya. Beberapa jalanan darat perbatasan propinsi terputus, korban bencana di perbatasan semakin brutal (menjarah bantuan berupa sandang dan pangan yang ingin masuk ke jantung bencana), bandara beserta landasan pacu rusak, begitupula jadwal kapal yang sepi di pelabuhan, sehingga membuat bantuan kemanusiaan nyaris tersendat.
Seperti yang akan mudah kita tebak, naluri kepekaan survival pun tumbuh pada diri manusia kelaparan. Banyak warga lari ke kebun memetik jagung, pisang, mencabut umbi-umbian atau sekadar menjarah swalayan, minimarket, supermarket, pasar, dan mall untuk memenuhi sandang dan bahan pangan. Tak ada yang mampu menghentikan tindakan ini, pemerintah pusat pun tak berkutik banyak, dan dalam beberapa waktu kemudian (setelah ramai dalam pemberitaan) pemerintah seolah bermaklumat “membolehkan warga menjarah”. Namun, kita melihatnya ini lebih merupakan ekspresi rasa frustasi akut, karena ketidakmampuan menanggulangi bencana (lari dari tanggung jawab), sebagaimana juga tercermin dalam mengurusi pandemi sekarang ini.
Saat bantuan kemanusian berjalan sunyi tersebutlah, sekelompok ormas islam yang berbendera FPI, masuk begitu cepat ke Palu dan daerah-daerah bencana lainya. Dengan rasa solidaritas tinggi, unik, dan kadang acuh pada keselamatan diri mereka sendiri. Saya menyaksikan langsung, banyak relawan mereka (FPI), ketika mengevakuasi mayat yang telah membusuk, atau kerangka-kerangka manusia dari liang entah, tidak dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai.
Meski tak mengenakan (mungkin tak tersedia/terkakses) kaos tangan medis, masker medis, kacamata medis, atau sepatu boot dan APD lainya. Tak menghentikan langkah mereka untuk mengevakuasi mayat yang kemudian mereka mandikan, kafankan, dan kuburkan dengan layak sebagaimana prosesi penguburan secara islam. Sedang kondisi mereka sendiri, jarang terdengar terinveksi karena serangan bakteri dari mayat-mayat korban bencana. Yang lebih unik lagi, mereka melakukan semua tata cara pemulasaran apa adanya, secara islami, tanpa menelisik lebih jauh, apa agama si mayat. Padahal, mayat-mayat korban likuefaksi yang dibawa oleh lumpur ke sungai-sungai desa sekitar Jono Oge misalnya, masyaraktnya hampir 90% beragama kristen.
Bentuk solidaritas kemanusiaan FPI, yang mengevakuasi mayat-mayat korban bencana di Palu bukanlah yang pertama kali. Tumiran, seorang relawan bagian dari tim kami saat itu, yang juga mantan relawan kemanusiaan saat bencana tsunami Aceh 2004 mengatakan, “Sewaktu bencana tsunami Aceh, saya menyaksikan sendiri laskar-laskar FPI memunguti mayat satu per satu, yang organ-organ tubuhnya sudah tercerai berai. Kemudian mereka kumpulkan bagian-bagian tubuh si mayat, disusun dan cocokan seadanya, lalu dimandikan, membalutnya dengan kafan, dan kuburkan secara islam. Lelah mereka tak surut, militansi mereka nyata saat semua relawan mundur (tak terkecuali tim relawan bentukan pemerintah) karena tak mampu mengevakuasi mayat. Habib Riziek Syihab mengomando langsung dengan megaphone portable di tanganya, ia turun ke tanah-tanah becek bekas linangan air laut, bercampur genangan jasad manusia, dan daging-daging mayat yang telah membusuk. Imam Besar FPI itu, juga tak sungkan tidur di perkemahan laskar FPI yang beralaskan tanah pekuburan yang di bawahnya adalah tempat orang-orang mati.”
Belajar dari kebencananaan yang menimbulkan korban jiwa besar, setelah bencana itu berselang beberapa hari, bantuan berupa pangan dan obat-obatan segera tiba. Tetapi untuk soal evakuasi korban hilang, terjebak, dan mengurusi mayat, jarang kita temui tim relawan yang piawai, memadai, dan terkoordinasi secara baik menanggulanginya. Selain berisiko tinggi, banyak di antaranya menganggap bahwa perkara orang mati sudah “tidak penting”, karena semua bantuan terfokus pada yang selamat. Sedangkan bagi FPI, orang-orang yang mati itu juga penting, maka FPI mengambil peran yang “sunyi” diminati tersebut, karena menganggap ini sebagai sebuah tanggunggung jawab sebagaimana kepercayaan dalam ajaran islam, jasad seseorang bisa mati tapi roh selalu hidup. Maka mereka memperlakukan orang mati sebaik mungkin. Selain itu, aksi mulia pemulasaran mayat ini sangat mengobati psikologis korban selamat yang keluarganya hilang, meninggal, akibat sulit dan sepinya aksi relawan mengevakuasi mayat.
Oplosan solidaritas kemanusian yang unik, menjadi ormas vigilante, dan di jalan konservatisme islam, menjadikan FPI salahsatu organisasi yang paling absurd dan kontradiktif di negeri ini. Ian Wilson menambahkan, terlepas dari orientasi ideologis atau politiknya, kelompok-kelompok vigilante di Indonesia menyediakan jejaring solidaritas, identitas, dan struktur kesempatan untuk memenuhi kebutuhan material dan konteks lingkungan sosial-ekonomi yang tak memberi banyak pilihan.
Aksi kemanusiaan FPI yang unik dan ghoib itu, selain sulit ditiru oleh pemerintah juga seolah sulit ditimbang (dalam kacamata buram) jika melihat jejak gerakan politik mereka. Yang suka main hakim sendiri, razia maksiat, aksi kekerasan, bersikap intoleran, dan sejarahnya lahir dari Pam Swakarsa yang menjadi pelindung rezim Orba penindas.
Oh ya, solidaritas dan sederet pernyataan Imam Besar FPI yang tak boleh juga kita lupakan ialah, soal penolakanya terhadap Omnibuslaw. Meski di setiap aksi mereka tak pernah bergabung dengan barisan pro-demokrasi yang juga menolak Omnibuslaw, tetapi hanya pernyataan dari Imam Besar FPI inilah gemuruhnya berasa, sempat membuat gerakan islam populisme bangkit di setiap pelosok paling terpencil di negeri ini, ikut aksi mengkritisi kebijakan yang timpang (atas nilai sosial-lingkungan), yang tadinya mereka itu begitu sibuk cekcok dengan “cebong” persoalan remeh temeh tak esensial.
Soal tindakan FPI dalam wujud relawan kemanusiaan, mengevakuasi mayat-mayat korban bencana, rasanya tak cukup hanya mengapresiasinya, tapi juga musti banyak mengasosiasikan diri kepada serpihan tubuh “sunyi” FPI lainya, yang jarang dilihat orang banyak sebagai tindakan mulia. Sebagaimana juga asosiasi kita pada aksi Solidaritas Pangan Jogja (SPJ), yang menginspirasi sejumlah aksi solidaritas lainya di sejumlah daerah, berbagi pangan di tengah pandemi, dengan sebuah pesan yang seolah menistakan peran negara (tak tanggung jawab), “rakyat bantu rakyat”.
Kini, setelah Imam Besar Habib Riziek Syihab dijebloskon ke penjara, karena dinyatakan bersalah akibat kasus kerumunan di tengah pandemi, organisasi ini kembali menelan pil pahit. Tanpa prosedur pengadilan, FPI telah disetujui oleh pemerintah, melalui Surat Keputusan Bersama 6 Pejabat Tertinggi, Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNPT. Menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang. Disinyalir karena organisasi itu anti Pancasila dan deretan keterlibatan mereka dalam mendukung sejumlah gerakan terorisme tersbesar di dunia: ISIS.
Sungguh cobaan berat bagi FPI dan para simpatisannya. Saya pikir, tidak perlu bersedih hati berlebihan, maupun mengemis legitimasi dari negara. Ya, semuanya membuat kita coba-coba memprediksi, bagaimana nasib organisasi ini kedepanya. Sejauh mana umur organisasi ini bertahan, dan yang paling penting, seberapa bertahan kualitas solidaritas kemanusiaanya jika itu tanpa komando langsung dari sang Imam Besar.
Namun, bukankah sudah menjadi konsekuensi besar dan ajek menimpa pada semua gerakan. Yang bertumpu pada pengkultusan kaku, mengandalkan sistem hirarkis yang mempunyai patronase kuat, yang kehadiranya bak seorang dewa, memberinya semua kekuasaan mutlak, meminjam kegilasahan Orwel: patuh dan mengikuti semua aturan “bung besar”. Yang bila suatu saat ditundukan oleh penguasa, maupun dilenyapkan olehnya, maka gugur pulalah suatu gerakan itu. Sebagaimana Aidit dan PKI nya.
Ketergantungan akan kehadiran langsung “bung besar” dalam menentukan jalan gerakan, adalah sebuah kegagapan kita melaksanakan amanat kemanusiaan. Maka dengan itu pula menjadi titik lemahnya serta ketakberdayaan langgengnya sebuah gerakan. Kala tokoh karismatik (pemimpin utama) sudah ditundukkan oleh penguasa, sudah selayaknya kita memikirkan kembali bagaimana menyematkan kepemimpinan itu pada diri kita masing-masing. Dan saya kira dengan cara begitu misi-misi kemanusiaan tak akan tersendat, bisa terus berjalan, dan selalu diberkahi.
Model gerakan yang mengedepankan sistem hirarki terpusat, menihilkan otokritik, menyepelekan peran, apresiasi, dan partisipasi para anggotanya, di zaman modern seperti sekarang telah banyak terbukti bangkrut secara kualitas. Meski jumlahnya masih banyak kita temui.
Maka ada baiknya para tokoh, pemimpin, “bung besar”, apa pun namanya, mulailah memprakarsai sebuah gerakan dengan bangunan dan “roh” kolektivitas. Satu di antara banyak sosok, saya merekomendasikan banyaklah belajar pada Kropotkin.
Ilustrasi oleh Hisam