oleh Eko Prasetyo
“Kita dapat mengukur kemiripan kita dengan Nabi dengan melihat kepekaan kita terhadap penderitaan sesama” (KH Ahmad Dahlan)
Muhammadiyah tidak mendapat jatah menteri. Itulah berita Koran Tempo (24/12) yang menyengat. Ormas Agama raksasa ini nyaris tidak mendapatkan posisi berarti. Padahal dukungan pada pemerintahan sudah luar biasa: rumah sakitnya kini menjadi penampung pasien Covid-19, lembaga pendidikanya berjuang untuk mencerdaskan anak bangsa dan sumbangan kemanusiaan yang diorganisir oleh badan amalnya bisa menekan angka kemiskinan. Ibaratnya Muhammadiyah sudah melakukan semua kerja pemerintahan tapi tidak ada imbalan yang berarti. Tentu ini kesimpulan yang sederhana, simpel dan pasti bermasalah karena memang Muhammadiyah bukan partai politik. Ormas agama ini punya tujuan lebih mulia ketimbang kursi politik. Peran sosialnya tidak tergantung pada rezim mana yang berkuasa dan tidak pula dari kursi politik yang mampu didudukinya.
Bisa saja orang mengatakan ada banyak kader Muhammadiyah di lingkungan kekuasaan. Duduk sebagai pejabat politik atau aktif menjadi pengurus partai politik. Tapi sampai sekarang harus diakui tidak banyak nama pengurus teras yang berada di pucuk kekuasaan. NU memiliki banyak sekali jabatan: Wakil Presiden yang paling tinggi lalu sejumlah menteri yang anda bisa menyebutkannya sendiri. Bisa saja berdalih apa untungnya hari ini berada di kekuasaan toh kepercayaan rakyat sekarang ini sangat melemah. Tapi harus diakui berada di kekuasaan dapat melakukan banyak hal dan menguntungkan untuk ormas agama yang punya banyak amal usaha. Semua lembaga pendidikan Muhammadiyah memerlukan tangan pemerintah dalam berbagai urusan, semua layanan kesehatan juga memerlukan dukungan serta kebijakan pemerintah dan lebih utama lagi pada saat ini memang pemerintah yang bisa mengambil peran utama. Baik itu karena anggaran, personel maupun mandat. Tapi sekali lagi memang bukan kekuasaan tujuan berdirinya Muhammadiyah.
Muhammadiyah sedari awal memang bukan organisasi politik. Berbeda dengan Sarekat Islam-SI- yang muncul lebih dulu dengan semangat oposan pada Belanda. Walau Haji Misbach dengan Haji Ahmad Dahlan berteman tapi keduanya sangat berbeda: satunya komunis sedang satunya pendidik, satunya tukang mogok sedang satunya pembaharu keagamaan, satunya dibuang, dipenjara dan meninggal di pembuangan sedang satunya bisa berdakwah dalam usia yang panjang. Haji Ahmad Dahlan pernah menuntut pembebasan Haji Misbach pada pemerintah kolonial. Walau beda tapi keduanya bersahabat baik. Keduanya punya kelebihan masing-masing tapi itulah beda Persyarikatan dengan SI: hidup untuk mengubah situasi bukan mengguncang keadaan dan menjalankan organisasi dengan menyesuaian diri bukan memastikan satu ideologi. Jika Haji Misbach meyakini kapitalisme adalah musuh utama ummat sedang Persyarikatan lebih tertarik pada upaya untuk melawan TBC (takhayul, bid’ah dan churafat) yang ada di masyarakat. SI memang kalah tapi jadi sumber inpirasi banyak anak muda, termasuk anak muda Muhammadiyah. Sedang Muhammadiyah bertahan, tumbuh bahkan membesar dengan taktiknya selama ini.
Merintis lembaga pendidikan untuk menyaingi sekolah kolonial bahkan melawan stigma atas Islam. Yang dulu dianggap tradisional, tertutup dan terbelakang. Sampai sekarang tak bisa diingkari sekolah Muhammadiyah mekar dengan kualitas yang tak kalah jauh dengan sekolah negeri bahkan terlibat banyak dalam melahirkan anak-anak brillian. Meskipun kualitas pendidikan di Indonesia masih terpuruk tapi itu bukan salah Muhammadiyah. Begitu pula kemampuan menangani problem kesehatan. Malah kini ada RS apung yang dirintis oleh Muhammadiyah untuk mengatasi kesenjangan layanan kesehatan. Rumah sakitnya berdiri di banyak tempat dengan kualitas layanan yang mengesankan. Walau covid-19 memukul sektor kesehatan sehingga layanan kesehatan nyaris terbenam tapi peran PKU Muhammadiyah sangat signifikan. Andai saja Muhammadiyah tak punya layanan kesehatan pasti situasi pendemi jauh lebih mengerikan dampaknya. Kontribusi besar ini harus diakui oleh rezim siapapun itu yang berkuasa dan sepantasnya ada peran yang diberikan lebih penting untuk Muhammadiyah.
Bukan karena jasa dan kemampuan Muhammadiyah tapi inilah ormas yang menopang stabilitas. Pada waktu guncangan pada rezim berulang terjadi baik karena kontroversi pengangkatan pejabat atau UU yang dilahirkan tetap saja Muhammadiyah memberi dukungan. Muhammadiyah tak pernah sekalipun menyerukan pembangkangan, tak pernah menjeritkan pemberontakan bahkan sekedar mendukung aksi massa. Yang dilakukan oleh pimpinan Persyarikatan hanya memberi pandangan kritis, nasehat dan anjuran. Itupun dengan pernyataan yang lembut, bijak dan arif. Semua itu dilakukan bukan karena Muhammadiyah takut tapi karena Muhammadiyah meyakini bahwa sistem demokrasi adalah pilihan final. Jika tidak setuju bukan menganjurkan revolusi tapi memberi pandangan yang konstitusional. Kalaupun ada pimpinan yang bersuara keras itu dianggap cerminan individu bukan kebijakan resmi persyarikatan. Rezim bertahan diantaranya karena sikap positif Persyarikatan.
Pertanyaanya apakah sikap ini menguntungkan bagi ummat? Terutama ummat Muhammadiyah yang terdiri atas kaum terpelajar dan para intelektual. Jumlahnya besar dengan strata pendidikan yang makin tinggi. Diantaranya adalah intelektual yang gerah dengan demokrasi yang kini dikuasai oleh para oligarki, atau anak muda yang gelisah dengan model pembangunan yang menyita tanah banyak rakyat bahkan mahasiswa Muhammadiyah yang kini terancam masa depanya. Baik karena produk UU Cipta Kerja atau kesenjangan sosial yang makin menganga. Mereka adalah tulang punggung utama Persyarikatan dan karena lapisan itu pulalah Muhammadiyah hidup dengan etos para pemikir. Berhadapan dengan situasi bukan menerima begitu saja tapi berani bertanya dan terhadap perubahan tidak hanya mau berubah tapi bertahan dengan idealismenya. Idealisme tentang keadilan karena itulah yang mampu menopang tatanan dan selalu memihak perkara kemanusiaan, karena itulah yang jadi roh persyarikatan.
Bahkan pertanyaanya apakah sikap ini mampu membawa Persyarikatan pada tujuan mulianya? Membangun masyarakat etis dimana tanggung jawab tidak didasarkan pada akhlak para pejabatnya melainkan tatanan yang mampu dibangunya. Sebab ummat Muhammadiyah juga masyarakat miskin yang kini tanahnya terancam, pekerjaanya bisa hilang bahkan kepastian hukum jadi taruhan. Mereka itu terdiri dari buruh, petani, nelayan hingga kaum miskin. Jumlahnya melejit karena resesi dan makin terpukul jika tidak ada keberpihakan. Persyarikatan pasti memikirkan mereka dan mengembangkan banyak program untuk mereka tetapi hantaman kebijakan mampu membuat program mulia apapun bisa terhempas dengan mudah. Cukup dengan revisi UU KPK maka korupsi sulit untuk menjerat komplotan perampok yang punya kuasa. Hanya dengan lahirnya UU Cipta Kerja maka petaka lingkungan hingga keadilan untuk para pekerja bisa jadi persoalan utama.
Kini Persyarikatan sedang ditantang oleh sejarah untuk memutuskan akan berperan seperti apa: dalam krisis kesehatan yang mengarah pada krisis ekonomi mampukah Persyarikatan menjadi rumah ummat. Terutama mereka yang kini jadi korban pelanggaran HAM, lingkunganya dicemari oleh perusahaan hingga masa depanya sedang terancam. Khususnya mereka yang kini menjadi orang miskin yang terpukul oleh segalanya: pekerjaan, kesehatan hingga harapan. Terutama lagi untuk mereka yang kini sedang melatih diri menjadi kaum terpelajar yang berusaha untuk menegakkan proyek ideal kebangsaan. Itu bukan proyek menciptakan konglomerat atau para pedagang tapi mendorong lahirnya tatanan sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Bangsa yang dihormati oleh bangsa lain karena mutu pendidikan rakyatnya, integritas para pejabatnya dan tauladan para ulamanya. Bangsa yang dihormati oleh rakyatnya karena keadilan yang dihadirkan dan kesejahteraan yang diberikan. Bangga saya dengan Haji Ahmad Dahlan karena melalui karyanya pendidikan Islam tampil terhormat bahkan ummat Islam bukan lagi ummat jajahan. Muhammadiyah memberi kebanggaan bagi ummat dan membawa ummat Islam dalam semangat pelopor kebaikan.
Kini KH Ahmad Dahlan hanya bisa menatap kita yang disini. Andai beliau bisa bertanya tentu akan berkata: bagaimana kalian melihat wajah ummat hari-hari ini? Apakah ummat ini diliputi kemakmuran sehingga sepantasnya bersyukur dengan keadaan? Ataukah ummat ini masih menjadi barisan yang tertindas dan terbelakang? Waktunya KH Ahmad Dahlan bertanya: kebesaran Persyarikatan apakah sudah sesuai dengan kebesaran langkahnya? Jika dulu mampu menciptakan pendidikan murah dan bermutu apakah sekarang gagasan mulia itu sanggup dipertahankan? Kalau dulu dapat merintis layanan kesehatan yang murah dan berpihak apa kini juga mampu melakukannya? Saatnya KH Ahmad Dahlan kembali mengulang pertanyaanya: “apa kalian sudah mampu Hidup-hidupkan Muhammadiyah atau hanya mampu mencari hidup di Muhammadiyah”
Kita hari ini berada di titik mana? Meng-hidupkan ummat Muhammadiyah yang ditindas atau hanya hidup di Muhammadiyah? Biar sejarah menjawabnya dan ummat kelak memastikan kebenaranya?!
Ilustrator: Hisam