“Agama merupakan fenomena menakjubkan yang memainkan peran kontradiktif dalam kehidupan masyarakat. Agama bisa menghancurkan atau menghidupkan kembali, menina-bobokkan atau membangkitkan, memperbudak atau membebaskan, mengajarkan kepatuhan atau pemberontakan” (Ali Syariati)
Ledakan bom itu seperti lagu lama. Kejadianya di Baqdad. Persisnya 4 Maret 2004. Sepuluh Muharam dalam penanggalan Islam. Bertepatan dengan hari Asyura. Hari yang dikenang dengan penuh kemuliaan. Tragedi Karbala yang menjadi inti keyakinan kaum Syiah. Bom itu diledakkan oleh Al Qaeda. Teroris Sunni yang punya permusuhan abadi dengan Syiah. Bingkai perseteruan itu abadi serta melahirkan banyak perbuatan keji. Buku ini mengusut kisah tragis setelah Rasulullah SAW wafat. Tidak hanya mewariskan Qur’an dan sunnah tapi juga ummat yang menjelma menjadi kawanan yang mengobarkan perseteruan. Sebuah tragedi yang banyak ditulis oleh berbagai kalangan tapi buku ini bercerita dengan cara peyampaian provokatif. Bahan ceritanya diramu dengan cara meyakinkan dan tiap peristiwa dimaknai dalam kisah politik yang padat intrik.
Kita bukan melihat sejarah Islam dalam alur garis lurus. Tetapi sebuah peristiwa yang sarat konflik, saling bersekongkol dan tampak lebih manusiawi. Sehingga retorika kembali pada masa sahabat jadi lebih mirip seperti bualan. Karena buku ini bisa mengguncang cerita kita tentang orang suci. Mereka yang dulu menjadi sahabat Nabi bisa seperti seorang politisi yang lihai dan manipulatif. Mungkin anda sebagai pembaca harus bisa memaknai buku ini sebagai pemaknaan atas silang sengketa politik ketimbang fakta religius yang tak bisa ditafsirkan sama sekali. Lesley Hazleton bisa membuat anda terperangah dengan ceritanya yang dituturkan mirip dengan novel detektif. Babaknya dimulai ketika Nabi sakit dan terbaring di kamar Aisyah, istri termuda yang dicintainya. Aisyah bukan saja pintar, rupawan dan setia tapi juga perempuan mandiri yang punya jejak seorang feminis.
Feminis dalam artian keyakinan bahwa posisinya itu setara, punya kebebasan untuk menyampaikan pandangan yang berbeda dan terlibat dalam urusan publik. Lezley bukan membentangkan kepribadian Aisyah tapi perangainya yang kala itu memicu kontorversi. Saat kalungnya hilang sehingga kasus itu sampai membuat wahyu turun. Gosiip menerpanya ketika masuk kota Madinah menaiki unta yang dituntun oleh seorang pria, Safwan. Padahal Aisyah sebelumnya ikut terlibat dalam ekspedisi perang. Perananya sebagai pendukung yang biasanya diungkapkan melalui ucapan-ucapan yang dikatakan dengan intonasi keras, provokatif dan berada di belakang pasukan. Saat pulang kembali pulang ke Madinah dan mampir untuk istirahat disanalah kalungnya hilang. Kalung hadiah dari Rasulullah saat menikah. Aisyah meninggalkan haudah-kursi rotan berkanopi yang diletakkan diatas unta-untuk mencari kalung itu di pagi buta.
Pasukan tidak tahu kalau haudah Aisyah kosong. Mereka pulang balik ke Madinah tanpa membawa Aisyah. Lesley menuliskan suasana saat Aisyah tahu kalau dirinya tertinggal dengan bahasa yang hangat: Aisyah tidak mengejar rombongan Kafilah, meskipun di tahu rute yang dijalani cukup familiar. Dia bahkan tidak berjalan menyusul mereka, meskipun belum terlalu jauh disana. Unta yang dimuat beban berat peralatan dan perlengkapan tidak bisa bergerak cepat……Sebaliknya Aisyah memilih menunggu, ia berkata: ‘aku mendekap tubuh dengan pakaian luar yang kupakai dan duduk disana, karena aku tahu saat mereka sadar aku ketinggalan mereka pasti kembali (h.53) Sebuah cerita yang menyiratkan watak Aisyah: percaya diri, yakin dan tahu dirinya istimewa. Hingga ketika dirinya akhirnya pulang bersama anggota pasukan lain, Safwan: gossip lalu menyebar tentang dirinya.
Rasulullah SAW jelas bukan sekedar nabi: seorang pria, yang punya rasa cemburu sekaligus rasa sayang pada Aisyah yang panggilan kesayanganya: Humayra-sayangku. Tapi gossip itu seperti hoax yang beredar tak berkesudahan dan Ali menantu Nabi memilih untuk menanggapi ini dengan sikap pragmatis. Ali dulu besar di bawah perlindungan Khadijah-istri pertama Rasulullah yang terkenal santun, baik dan pelindung. Ali kini melihat Aisyah tak lebih sebagai gadis cilik yang manja, kenes dan selalu ingin dapat perhatian. Lisley membuat kita merasa bahwa Ali dan Aisyah memang tak pernah punya kecocokan. Bara konflik diantaranya keduanya makin meluap saat gossip menerpa Aisyah. Nabi yang sudah lama dekat dengan Ali-menantunya sekaligus sosok yang selalu dianggap sebagai pintu pengetahuan-ingin mendapat saran. Ali kali ini memberi petuah yang mungkin didasari oleh anggapan kalau soal ini sudah mirip sinetron yang kisahnya tak berkesudahan. Ali berkata: ‘Banyak wanita seperti dia, Allah membebaskanmu dari masalah ini. Gampang mencari penggantinya’ Saran yang akhirnya diketahui oleh Aisyah dan membuatnya makin membenci Ali. Benih itu sudah disiapkan sejak Nabi masih hidup.
Allah turun tangan dengan menurunkan Surat An Nur ayat 11-17: menyapu semua gossip tentang Aisyah dengan mengatakanya sebagai fitnah, berita bohong. Wahyu ini memperkuat posisi Aisyah tapi tidak membuat semua jadi mereda. Otoritas Ilahi hanya menghapus berita bohongnya tapi suasana sosial sudah keruh dan itu makin memuncak saat Nabi menjelang wafat. Figur yang selama ini telah jadi pemimpin segalanya kini terbaring kesakitan hingga merebak kekuatiran mengenai siapa penggantinya. Di dalam kamar itulah suasana agak ribut dan komentar bersahutan hingga Nabi sedikit kesal dan meminta untuk tinggal sendiri. Suasana hari itu menyiratkan ada ketegangan yang coba ditengahi Umar dengan kalimatnya yang lugas: ‘Rasulullah kesakitan, tetapi kita memiliki Al Quran kitab Allah, dan itu sudah cukup buat kita’. Peryataan Umar ini kelak akan diulang-ulang sehingga seperti deklarasi untuk mengatasi tiap kebuntuan politik.
Padahal memang situasinya buntu: Rasulullah wafat 8 Juni 632 yang menggemakan kesedihan luar biasa. Satu jam setelah wafat mulai muncul kasak-kusuk: penduduk Madinah merasa penting untuk mencari pengganti dengan menggelar majelis Syura, tradisi musyawarah antar suku. Abu Bakar dan Umar sudah merasa ini bahaya dan mengintervensi pertemuan itu. Berakhir bukan dengan kesepakatan tapi baku hantam. Ali yang masih merawat jenazah Nabi memang diminta untuk datang tapi pasti dirinya enggan dan jijik. Rasulullah SAW belum dimakamkan tapi meledak keributan mengenai siapa pemimpin berikutnya. Aroma perdebatan dengan retorika yang berbunga-bunga mulai muncul dari semua orang hingga Abu Bakar akhirnya dipilih dalam sebuah insiden yang disengaja: Umar mengambil alih forum dengan selekasnya melantik Abu Bakar (h.127) Abu bakar ayah Aisyah kini jadi Khalifah dan tentu ini bukan kabar sedap untuk Ali yang akhirnya memutuskan untuk memakamkan Nabi secara diam-diam. Ali tak ingin pemakaman Rasulullah menjadi prosesi pelantikan Abu Bakar. Sebuah keputusan cerdik tapi menjadi petanda ketidak-stabilan politik.
Guliran cerita Lisley bagi yang sudah tahu berisi pergolakan selama masa Khalifah. Perseteruan antara Ali dengan Aisyah muncul lagi dalam perang Unta. Sebuah peperangan yang merupakan dampak dramatis dari kematian Umar. Kematian Umar sendiri dituturkan dalam sebuah kisah gelap: tewas dengan tikaman setelah sebelumnya dikutuk oleh warga Madinah dengan tuduhan garang. Aisyah bahkan menciptakan bumbu dengan berorasi di Mimbar melalui peragaan sandal Nabi sembari mengutuk Umar yang dianggap tidak adil. Suasana ketegangan pada masa Umar digambarkan dengan cara yang brutal sebagaimana gaya Garbriel Garcia Marquez-novelis disukai oleh Lisley-sehingga kita seperti diajak berada dalam suasana persekongkolan. Umar dikelilingi bukan oleh sahabat tapi penjilat serta Ali yang sudah tak mampu lagi menjadi juru penengah pada situasi yang sudah kelam. Marwan, salah satu orang dekat Umar dan orang terbuang di masa Rasulullah, punya peran yang licik. Dianggap sebagai dalang dibalik berbagai peristiwa sadis dan dituduh kaki tangan Muawiyyah. Kita seperti menyaksikan Umar-yang dulu dikenal sebagai sahabat paling kaya, menantu nabi yang rupawan-sebagai kakek tua yang mulai lemah dan tak lagi mampu meredakan ambisi serta tipu muslihat sekitarnya. Pembunuhanya adalah awal dari sebuah tragedi berdarah yang kelak akan mengalir melalui kelokan waktu yang panjang.
Semua tahu Ali yang ditunjuk sebagai pengganti Umar sudah tidak lagi bisa atasi gejolak. Menantu Rasulullah yang dikenal berani, bersih dan saleh ini berada dalam suasana politik yang panas. Kematian Usman menyisakan dendam tak berkesudahan, apalagi baju berdarah dan potongan jari istrinya dijadikan miniatur di Masjid Damaskus ibukota kekuasaan Ummayah. Baju dan jari itu menjadi pemupuk dendam yang sengaja dipakai Muawiyah untuk ajakan perang. Perang urat syaraf itu sudah dimulai tapi Ali masih harus hadapi Aisyah yang menolak baiat padanya. Perang yang berkobar antara Ali serta Aisyah yang dikenal dengan nama perang Unta dibawakan dengan cerita yang membuat kita meratap. Unta yang dipakai kendaraan oleh Aisyah itu akhirnya rebah oleh anak panah dan Aisyah harus takluk oleh pasukan Ali yang dipimpin oleh saudara tiri Aisyah: Muhammad Abu Bakar. Puncak adegan yang dramatis karena Aisyah kini seperti menjadi tawanan, dan Ali memperlakukanya dengan penuh kesopanan. Aisyah kembali ke Basrah, lukanya diobati dan penuh penyesalan Aisyah berkata: ‘Ya Allah, sekiranya hamba Mu ini mati saja dua puluh tahun yang lalu daripada melihat apa yang terjadi hari ini’ (h. 223)
Usai perang unta Ali harus hadapi Muawwiyah. Berbeda dengan Aisyah yang kekuatanya terbatas sedang Muawiyah panglima perang, politisi bahkan ibunya Hindun pernah merobet perut paman Rasulullah secara sadis. Riwayat keluarganya yang keji serta dirinya yang merasa istimewa membuat pikiranya selalu dipenuhi oleh aroma licik. Nanti saat menjelang sekarat Muawiiyah sempat-sempatnya memberi pesan: mayatnya dibungkus dengan pakaian pemberian Rasulullah serta potongan kuku Nabi yang disimpanya untuk ditumbuk lalu ditaburkan ke kuku dan matanya (h. 307) Ia tahu siksa akan menjemputnya tapi ingin bersiasat dengan para Malaikat penyiksa dengan membawa sisa-sisa jubah Nabi. Tampak Muawiyyah bukan penguasa saleh tapi politisi yang licin. Anaknya Yizad lebih keji lagi karena pada era kekuasaanya cucu Rasulullah Husein dibantai di Karbala dan kepalanya dipotong. Muawiiyah dan keturunanya itulah yang membawa Syiah sebagai kekuatan politik laten sekaligus terus berusaha menyuarakan apa yang telah jadi gema perjuangan Ali serta keturunanya yakni keadilan.
Syiah yang membesar karena kisah Karbala bukan sekedar sebuah ajaran tapi sikap politik radikal yang terus-menerus menolak status quo. Buku ini membuat kita bisa lebih memahami bukan pada perbedaan Sunni dan Syiah tapi bagaimana kebangkitan sebuah ide religius yang coba ditaklukkan oleh ketamakan. Diseret kita oleh suasana runcing yang penuh gejolak antar sahabat, saudara dan bahkan para pemimpin. Islam tampil secara historis bukan dengan kisah kelam tapi peristiwa manusiawi yang kita bisa semua bergetar. Tak mirip dengan Mahabarata tapi jantung kisahnya nyaris serupa: perang saudara. Bagi mereka yang begitu fanatik memuja masa lalu buku ini jadi sarana penyeimbang rasio sedang untuk mereka yang merasa tak mau melihat gejolak buku ini bisa menjadi upaya memperoleh keimanan secara matang. Iman yang tidak didasari oleh fanatisme, kebencian dan permusuhan tapi sikap untuk lebih terbuka pada masa lalu. Sebuah buku unik, memikat dan sayang jika anda tidak membacanya. (EP)