
Pada musim panas tahun 1994, para pejuang Zapatista mengundang pers nasional dan internasional, para aktivis dan orang-orang yang sekedar ingin tahu, untuk menghadiri pertemuan di hutan Chiapas. Sekitar 600 orang hadir dalam pertemuan tersebut. Kebanyakan yang datang ingin tahu “mengapa ia bersembunyi di balik topeng? Mengapa takut menunjukan wajahnya?”
Merespon keingin tahuan tersebut, Marcos melakukan suatu gerakan seperti hendak membuka topengnya. Kesunyian terasa ditengah hutan, semua orang seperti menahan nafas ingin tahu siapa dibalik topeng tersebut. Tiba-tiba kesunyian terpecah dengan teriakan “jangan..jangan..jangan…”. Dan topeng tersebut tidak jadi dibuka.
Topeng tersebut, bukan hanya penting untuk menghapuskan identitas dirinya sebagai individu, tapi sebagai identitas komunal dari penduduk asli Chiapas yang telah dilupakan, menderita, tapi tidak kehilangan harga diri; sebagai identitas komunal yang baru-komunal perjuangan.
Sejak itu Marcos, melalui internet, mengeluarkan berbagai pernyataan, surat seruan, puisi, dongeng, solidaritas kepada dunia. Tulisan-tulisannya diterjemahkan berbagai bahasa dan menyebar dengan cepat melalui jaringan internet.
Dari cara Subcomandante Marcos bermain dengan kata-kata, perjuangan revolusioner menjadi suatu medium estetik, proses kreatif, yang mungkin tidak lazim dari perpektif teori seni mainstream.
Kisah-kisah dongeng yang ditulis Subcomandante Marcos adalah hal paling menarik. Dongeng-dongeng tersebut adalah suatu bentuk foklor yang terus hidup dari satu generasi kegenerasi. Karena itu dunia dongeng dapat diartikan sebagai suatu penelusuran kemasa lalu guna memberikan suatu ‘identitas historis’ kepada masyarakat ‘bahwa mereka sudah ada, sebelum para penindas ada, dan akan terus ada, ketika para penindas menjadi tidak ada”.
Marcos sudah menggunakan cara bertutur seperti mendongeng sejak awal terlibat dalam perjuangan bersenjata, sekitar tahun 1984. Dongeng pertama ia kisahkan pada suatu senja di bulan Agustus 1984 berjudul “Menanam Pohon Masa Depan”. Dengan dongeng itu ia mengatakan tentang “apa yang ingin dilakukan oleh Zapatista”.
“ Untuk menanam pohon masa depan,
itulah yang kita akan lakukan…
Pohon masa depan adalah ruang bagi semua orang,
dimana setiap orang saling menghormati yang lain…
Jika anda memaksa saya
untuk mengatakannya dengan lebih persis,
Aku akan katakan pada kalian
itu adalah sebuah tempat dengan demokrasi, kebebasan dankeadilan;
itulah yang dimaksusd dengan pohon masa depan.“
Marcos selalu berpesan ‘rakyat yang tidak mempunyai masa lalu tidak akan mempunyai masa depan.” Kalimat ini keluar, untuk merespon politik penguasa yang menganggap ‘penduduk asli’ (baca kaum tertindas) tidak pernah ada, baik dimasa kini, dimasa lalu dan masa depan. Karena itu mereka selalu diabaikan, tidak pernah diajak bicara, berembug, berunding atau menentukan nasib mereka sendiri. Pokoknya dianggap tidak pernah ada.
Dengan dongeng Marcos seperti membuktikan bahwa ‘kami ada’; kami mempunyai sejarah kami sendiri; sejarah yang telah dikisahkan selama ratusan tahun oleh para nenek moyang. Dan keberadaan itu sekarang juga hadir dalam bentuk perjuangan. Perjuangan yang membuat penduduk asli mempunyai masa lalu, masa kini dan tentu saja masa depan.
Masa lalu adalah suatu yang hidup dalam masa kini, hadir dalam berbagai dongeng yang kreatif, penuh dengan ajaran moral, dikdatis, nilai-nilai pengorbanan, harapan dan perjuangan. Uniknya, masa lalu itu sebetulnya sudah dikenal baik oleh semua orang, karena sudah dikisahkan sejak kecil, dan ketika si kecil sudah dewasa, dia mengisahkan kembali kepada anak-anaknya, demikianlah ‘sebuah rantai sejarah’ direkam dalam kepala setiap orang. Inilah salah satu kekuatan bahasa tutur sebuah dongeng, ketimbang literature sejarah akademis.
“ Sejarah dunia yang menciptakan dunia ini
datang dari tempat yang sangat jauh sekali.
Kalian tidak bisa menemukannya tertera di dalam buku
atau terlukis diatas pohon.
Juga tidak ada dalam aliran sungai atau awan-awan yang beterbangan.
Kalian tidak akan dapat membaca sejarah tentang dunia didalam kalender. Sejarah tentang bagaimana kita lahir dan bagaimana kita diciptakan
tidak tersembunyi dibalik tulisan atau didalamnya.
(21 Oktober 1999)
Dalam Catatan editor buku kumpulan tulisan Marcos Our Word is Our Weapon, Juana Ponce de Leon mengatakan bahwa “buku tersebut adalah sebuah kesaksian tentang kekuatan bahasa.” Dengan tulisan-tulisannya subcomandante Marcos telah menjadikan Chiapas sebagai jendela bagi semua orang.
Bahkan menurut Junana Ponce, “kata-kata berbicara lebih banyak daripada revolusi”. Apa yang dilakukan marcos persis seperti yang dilakukan oleh para penulis besar Amerika Latin sekaliber Pablo Neruda, Miguel Angel Asturias atau Gabriel Garcia Marquez. Marcos mungkin agak mirip seperti sastrawan, “ia memadukan keyakinan politik dan sastra untuk menciptakan keindahan bagi pandangan-pandangannya.”
Salah satu hal yang menarik perhatian saya dari dongeng Marcos adalah penggunaan ‘kata kecil” dengan makna yang ‘besar’. Terdapat lima dongeng dengan protagonis utama adalah ‘si kecil”. Intisarinya mungkin bahwa yang kecil belum tentu kalah; bahwa yang kecil belum tentu tidak berarti; bahwa yang kecil justru menjadi awal dari suatu yang besar; bahwa kecil itu juga sebuah kekuatan.
Pemaknaan baru atas hal-hal yang diangap kecil, merupakan suatu dekonstruksi terhadap kesalah pahaman dominan, atau kealpaan banyak orang, yang selalu mengidentikan, menafsirkan sesuatu yang kecil dengan kelemahan, ketakberdayaan, kekalahan, marginal dan sesuatu yang tidak berarti.
Sebuah dongeng tentang “seonggok awan kecil” menjadi contoh, bagaimana Marcos memberi makna yang dalam pada sesuatu yang kecil. Mahluk yang tadinya rendah diri, merasa tidak berguna dan dilecehkan oleh awan-awan yang lebih besar, menemukan jatidirinya, kebanggaan diri, ketika ia menjadi pelopor menyirami sebuah padang pasir dengan hujan rintik-rintik. Ketika dia menjadi berguna bagi yang lain, maka si awan kecil sesungguhnya sudah melakukan sesuatu yang besar.
Pada suatu masa, terdapat sebongkah awan yang sangat kurus, sendirian dan selalu menjauh dari awan yang besar.
Dia sangat kecil, hanya seonggok awan.
Ketika awan-awan yang besar mengubah dirinya menjadi hujan yang melumuri gunung-gunung yang hijau, si awan kecil hanya dapat melayang-layang diatasnya.
Tapi mereka mengejeknya karena dia begitu kecil.
“Kau tidak memberikan apapun”,
begitulah yang selalu diucapkan awan besar kepadanya
”kamu terlalu kecil”
Awan-awan yang lebih besar selalu membuat gurauan lucu tentang dirinya. Lalu, karena begitu sedihnya, si awan kecil mencoba pergi ketempat lain untuk mengubah dirinya menjadi hujan, tapi kemanapun ia pergi, para awan besar selalu mendorongya keluar.
Sehingga si awan kecil tidak pernah berubah. Hingga suatu hari dia datang kesebuah tempat yang sangat kering, begitu keringnya sehinga tidak ada satupun yang dapat tumbuh, dan si awan kecil berkata kepada cerminya.
(Aku lupa mengatakan kepada kalian bahwa si awan kecil ini membawa sebuah cermin, jadi dia dapat berkata kepada dirinya sendiri, ketika sedang sendirian):
“Ini tempat yang pas untuk mengubah diriku menjadi hujan sebab tak ada seorangpun yang pernah datang kemari”.
Si awan kecil melakukan berbagai upaya agar dirinya menjadi hujan, dan akhirnya rintik-rintik kecil berjatuhan.
Si awan kecilpun lenyap dan mengubah dirinya menjadi hujan rintik-rintik.
Sedikit demi sedikit, si awan kecil, yang sekarang menjadi hujan rintik-rintik, mulai berjatuhan.
Dalam kesendiriannya, dia merasakan dan merasakannya, tapi tidak ada satupun yang menantinya di bawah sana.
Akhirnya, rintik hujan memecah seluruh dirinya.
Saat itu padang pasir masih sangat sunyi, hujan rintik-rintik membuat sedikit kegaduhan ketika dia jatuh tepat diatas bebatuan.
Kegaduhan Itu telah membangunkan bumi, yang berujar:
“suara ribut apa ini?”
“ Wakh turun hujan? Ini berarti akan turun hujan!
Hayo semuanya bangun! Hari akan hujan!”
dia berteriak pada tumbuhan yang bersembunyi di bawah batu menghindar dari sinar mentari.
Sang tumbuhan segera bangun dan menggeliat, dalam sekejap seluruh gurun menjadi kehijauan, dan awan-awan besar melihat seluruh kehijauan tersebut dari jauh dan berujar;
“Lihatlah. Disana tampak banyak warna hijau.
Mari mengubah diri kita menjadi hujan di sana itu.
Kok kita tidak pernah tahu disana itu ada yang begitu hijau.”
Merekapun mengubah dirinya menjadi hujan disebuah tempat yang dulunya adalah sebuah padang pasir.
Mereka terus menurunkan hujan tanpa henti dan pepohonan mulai tumbuh membuat semuanya tampak hijau.
“Sangat mujur sekali bahwa kita ada disekitar sini,” kata si awan besar. “Tanpa kita, pastilah tidak mungkin akan sehijau ini”.
“Tampaknya tidak seorangpun mengingat bahwa seonggok awan kecil yang berubah menjadi rintik-rintik hujan yang telah membangunkan semuanya.”Boleh saja tidak seorangpun pernah mengingat, tapi bebatuan tetap menjaga rahasia tentang hujan rintik-rintik itu.
“Dongeng Tentang Seonggok Awan Kecil” 7 November 1997
Waktupun terus berlalu, awan besar pertama sudah menghilang dan pohon-pohon pertama sudah beranjak mati. Tinggalah bebatuan,yang tidak pernah mati,
selalu bercerita pada tumbuh-tumbuhan baru yang muncul dan pada awan-awan baru yang tiba kisah tentang seonggok awan kecil yang berubah menjadi hujan rintik-rintik.
Ini adalah tulisan lama saya yg pernah dimuat dalam Media Kerja Budaya tahun 2003. Tulisan jadul ini sebagai penghargaan untuk ultah ke 37 tahun EZLN (17 November 1983-2020) yang masih konsisten berjuang untuk kedaulatan rakyat melawan neoliberalisme.