Oleh Wilson Obrigados
Perjuangan Kultural Zapatista di Mexico
“Adalah kata-kata
yang menciptakan kita.
mereka yang membentuk kita“ (Subcomandante marcos)
Membaca tradisi penulisan para tokoh revolusioner, kepala kita seperti berdenyut-denyut dengan kata-kata teknis tradisionil kaum revolusioner yang mengebu-gebu disana-sini, dan tentu saja provokatif.
Sampai suatu hari, dunia dikejutkan oleh aksi para gerilyawan Zapatista di Chiapas, Mexico. Dari model gerakan, mungkin itu adalah plot klasik kaum revolusioner diberbagai tempat. Sebuah insureksi yang dipersiapkan matang atas kekuasaan negara. Tidak ada yang baru dari plot tanggal 1 januari 1994.
Hal baru yang dibawa adalah ‘gaya kepemimpinan’ dan metode perjuangan yang unik dari para gerilyawan bertopeng “yang tanpa suara/tanpa wajah/tanpa nama” tersebut. Perjuangan petani dan masyarakat adat suku indian yang bergabung dalam gerakan Zapatista ternyata tidak hanya dengan angkat senjata. Bahkan setelah peristiwa insureksi yang menggegerkan dunia pada tahun 1994, perjuangan bersenjata tidak lagi menjadi satu-satunya strategi perjuangan. Seperti dikatakan oleh pimpinan mereka ”letusan senjata harus dihentikan, agar suara-suara dapat didengar.” Zapatista mengkombinasikannya dengan perjuangan politik dan budaya.
Pimpinan perjuangan mereka yang dijuluki Subcomandante Marcos ternyata menggunakan perjuangan budaya untuk memberikan identitas revolusioner dan memajukan perjuangan budaya kepada para pendukungnya. Bahkan gerakan Zapatista, setelah insureksi di Chiapas, lebih banyak memajukan strategi perjuangan politik dan budaya untuk menarik dukungan dari dunia internasional.
Subcoamandante Marcos menggali ideologi pembebasan dari kearifan lokal, budaya rakyat dan bahkan dari berbagai dongeng yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indian dan petani miskin di Chiapas. Dari sinilah muncul slogan baru gerakan Zapatista bahwa ”kata-kata adalah senjata”.
Membaca dokumen dan seruan dari Subcomandante Marcos, kita seperti sedang membaca sebuah karya sastra. Kutipan puisi, dongeng, kata-kata indah bertaburan bagaikan kristal–kata-kata seperti berubah wujud menjadi seperti sinar yang terang benderang.
Salah satu contoh yang paling luar biasa adalah pidato pembukaanya dalam Konfrensi Internasional Anti Neoliberalisme di bulan Juli 1996. Berbeda dengan para peserta yang mengungkapkan pendapatnya dalam bahasa teoritis, data-data ekonomi yang pelik tentang penindasan pasar bebas, subcomandante Marcos membawa suasana lebih cair dan teduh. Ia membuka acara dengan kata sambutan berbentuk puisi panjang. Sesuatu yang sukar kita bayangkan bila itu akan dilakukan oleh Fidel Castro atau Lenin, atau para pimpinan gerakan revolusioner diberbagai belahan dunia.
Dengan indah ia mengenalkan diri:
Inilah siapa kami
Tentara pembebasan nasional Zapatista
Suara-suara yang mempersanjatai diri agar bisa didengar
Wajah-wajah yang disembunyikan agar tidak terlihat
Nama-nama yang tidak mau diberi nama
Ekspresi politik dalam bentuk puisi, drama, dongeng dan foklore memang memenuhi berbagai pernyataan politik Subcomandante Marcos. Semua ekspresi estetik tersebut memberikan suatu roh baru dalam pernyataan-pernyataan politik kaum revolusioner-keindahan. Sesuatu yang ‘agak baru’ dalam tradisi politik kiri, yang selama ini dipenuhi dengan bahasa teroritis, sloganistik, provokatif dan polemis.
Beberapa pemimpin gerakan kiri seperti Mao Tse Tung, Ho Chi Minh, Aidit atau Xanana (yang saya kenal ) juga menulis puisi. Namun puisi-puisi mereka adalah ‘dunia lain’, tidak menjadi bagian langsung dari ‘perang propaganda politik’. Sementara Subcomandante tidak membagi ‘dunia estetik’ dan ‘dunia politis’ sebagai dua wilayah yang berbeda—keduanya hadir dalam saat yang bersamaan, saling memperkuat dan saling memberi isi.
Permainan kata-kata memang mendapatkan perhatian serius dari Subcomandante Marcos. Kata-kata ia beri roh perjuangan dan harapan. Menjadi suatu alat yang hidup, bahkan senjata yang paling utama.
“Adalah kata-kata yang memberi bentuk pada sesuatu yang masuk
dan keluar dari diri kita.
Adalah kata-kata yang menjadi jembatan untuk menyeberang ketempat lain…
ketika kita diam, kita akan tetap sendirian.
Berbicara, kita mengobati rasa sakit.
Berbicara, kita membangun persahabatan dengan yang lain.
Para penguasa menggunakan kata-kata untuk menata imperium diam.
Kita menggunakan kata-kata untuk memperbaharui diri…
Inilah senjata kita saudara-saudaraku.”
(12 Oktober 1995)
Di Chiapas, Tentara Pembebasan nasional Zapatista menciptakan suatu ‘tradisi’ unik, dimana proses kreatif dan kualitas estetik muncul dari kawah perjuangan itu sendiri. Dari perjuangan tersebut lahir puisi-puisi, dongeng dan kata-kata indah yang ditujukan kepada pendukung, sahabat, anak-anak, perempuan, kaum buruh, kaum tani, masyarakat adat dan juga musuh-musuh rakyat.
Perjuangan Subcomadante dan kawan-kawan telah meningkatkan kualitas keindahan dari alat kontemplasi, apresiasi, perenungan, menjadi suatu ‘roh’ yang menjadi satu kesatuan dengan kehidupan revolusioner. Jadi kita tidak mungkin bisa membayangkan kerja estetis Subcomadante tanpa perjuangan revolusioner, dan begitu pula sebaliknya.
Tentu saja, pemahaman kata-kata adalah senjata, harus ditempatkan dalam konteks perjuangan, bukan dalam kamar kaum seniman soliter, jurkam atau tukang obat. Bisa jadi, kalau kata-kata ini dicabut dari konteksnya dunia ini akan dipenuhi para pengkikut NATO (Not Action Talking Only).
Kata-kata menjadi senjata bila ia menjadi bagian dari perjuangan pembebasan, kata-kata tidak menjadi apa-apa bila ia hanya sekedar kata-kata. Dan memahami kata-kata sebagai senjata harus dimulai dari perjuangan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista.
Perjuangan rakyat Chiapas yang monumental dan menjadi titik balik penting adalah dimalam tahun baru 1994, tepat dihari pertama implementasi dari NAFTA. Bagaikan kisah dongeng, ribuan gerilyawan tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) dibawah pimpinan seorang laki-laki dengan topeng ski, dan pipa cangklong diatas bibirnya menguasai kota San Cristobal de las Casas dan kota-kota kecil sekitarnya.
Pesan politik dari aksi tersebut cukup jelas yaitu mengingatkan pemerintah Mexico dan dunia tentang nasib masyarakat adat yang disengsarakan, ditindas, terusir dan dilupakan. Namun yang lebih penting lagi, hari itu adalah sebuah pembatisan dari sebuah permulaan ‘perang global’ menentang neo-liberalisme. Dan gerakan tersebut dipimpin oleh seorang tokoh misterius dengan mata hijau yang bersinar dari balik topeng skinya.
Ketika para jurnalis bertanya “siapakah anda ?” laki-laki bertopeng itu menjawab. “Saya adalah Subcomandante Marcos”.
Penampilannya yang misterius menimbulkan berbagai spekulasi tentang siapa sebenarnya pria karismatik ini?
Sesuatu yang serba misterius memang mengundang keingin tahuan orang, apalagi para jurnalis. Tidak heran, nama Subcomandante Marcos menjadi suatu daya tarik, semacam teka-teki, dimana semua orang ikut bermain dan dengan bersahaja mencoba menebak-nebak wajahnya, atau sekedar membagi kerinduan dan impian. Pokoknya tidak ada suatu penafsiran tunggal tentang sosok misterius dibalik topeng tersebut. Setiap orang bebas membangun impiannya sendiri, bahkan setiap orang juga bebas menjadi Subcomandante Marcos itu sendiri.
Berbeda dengan berbagai perjuangan revolusioner lainnya, dimana wajah para pimpinanya sangat dikenal publik. Subcomandante Marcos berhasil membangun semacam tradisi baru, dimana identitas pimpinan adalah suatu yang anonim; sosok yang ada tapi seperti tidak ada; hadir tapi seperti tidak hadir; dikenal, tapi orang tidak mengenalnya; bersembunyi tapi semua orang dapat melihatnya.
Identitas anonim Marcos mungkin ingin menjelaskan suatu prinsip, bahwa rakyat yang utama, rakyat yang nyata, rakyat tidak anonim, rakyat yang punya sejarah, rakyat yang memiliki penderitaan dan rakyat pula yang memiliki perjuangan, bukan para pimpinanya. Karena itu biarlah para pimpinan dikenal sebagai sesuatu yang anonim, sebab mereka bukanlah hal yang paling penting dalam perubahan atau sebuah perjuangan. Nama sebagai sesuatu identitas pribadi atau individu baginya adalah omong kosong, sebab“sekarang kita mempunyai nama kolekktif”.