Mengapa Belajar Online Itu Membahayakan Akal Sehat?

Yang cukup menarik adalah pendidikan telah menjadi salah satu cara yang menjadikan kaum tertindas sangat bisa menerima penjelasan dari penindas.” (Paulo Freire)

Saya orang yang percaya kalau belajar online itu tidak ada manfaatnya. Bukan hanya belajar tipe seperti ini akan membuat orang makin bodoh, tapi juga bisa menjerumuskan akal sehat. Paling tidak kita tidak mampu menggunakan kekuatan intuisi dan daya imajinasi yang sesungguhnya menjadi kekuatan diri seorang pembelajar. Melalui intuisi anak akan menghargai proses berpikir yang itu bisa ditumbuhkan ketika belajar dilalui secara bersama melalui berbagai petualangan. Sedangkan imajinasi mampu tumbuh kalau belajar dilewati dengan menghadirkan tantangan langsung serta anak dilatih memanfaatkan kreativitas yang dimilikinya. Semua itu bisa dilalui tidak dengan online.

Sistem belajar online itu hanya akan menguras lebih banyak biaya. Baik itu kuota internet maupun rangsangan konsumtif yang muncul melalui media online. Media online memang bukan sekolah tapi seperti pekarangan yang berisi banyak sekali hal tak bermutu selain ada sedikit yang bermanfaat. Kalau belajar menggunakan media itu pasti yang kita temui bukan guru tapi siapa saja yang kita sukai. Bahkan semua tahu itulah media tempat orang kini menambang keuntungan dan sialnya pemerintah kini memberikan anggaran luar biasa untuk kuota internet. Keputusan politik yang lebih banyak menguntungkan perusahaan telekomunikasi ketimbang para siswa.

Sistem belajar online makin membuat pelajar malas dan sulit kosentrasi. Lihat saja anak-anak kita yang belajar online dengan menatap HP atau laptop. Sampai seberapa lama mereka betah bertahan menatap layar: 2 jam, 3 jam atau hanya 1 jam? Nyaris tidak lebih atau paling lama 2 jam saja! Setelah itu anak bisa tertidur, bosan atau bahkan memutuskan untuk main mobile legend. Proses yang namanya belajar menjadi hilang karena tidak ada pengetahuan yang bisa didiskusikan dengan bersama, dipelajari dengan cara kerja sama serta dipelajari dalam lingkungan yang dinamai ‘belajar’. Belajar online bisa di tempat tidur, sambil makan bahkan sambil mengerjakan apa saja. Itu yang dinamai dengan multitasking. Kemampuan yang sebenarnya tidak disarankan untuk seorang pelajar. Kita lama-kelamaan makin kehilangan fokus dan susah untuk tenang.

Padahal online makin membuat anak tidak suka membaca. Sifat media online yang cepat, ringkas dan berlimpah membuat anak makin sulit untuk memahami pengetahuan secara mendalam. Ini bukan pandangan asal-asalan. Survei Save the Children Indonesia terhadap 2.232 anak pada Juli 2020 menunjukkan tujuh dari 10 anak belajar lebih sedikit selama pendemi dan empat dari sembilan anak kesulitan memahami pekerjaan rumah (PR) Bahkan 1 persen anak sama sekali tidak belajar. Belum lagi ketiadaan akses teknologi yang membuat kehilangan kesempatan pembelajaran terutama daerah 3 T (terdepan, terluar dan tertinggal). Singkatnya pembelajaran online membawa anak makin jauh dari budaya literasi malah makin kecanduan dengan gadget. Pada sistem belajar online yang diandalkan dan harus dibawa bukan buku tapi gadget. Gadget membuat anak makin terseret dalam dunia virtual.

Di samping itu pembelajaran online menumpulkan kemampuan kritis siswa. Nyaris keluhan siswa dalam pembelajaran online kaitanya dengan aspek-aspek teknis: jaringan terbatas maka penyampaian materi kerapkali mengalami gangguan, beban tugas yang berlebihan malah membuat siswa kian tertekan dan diskusi tidak bisa berlangsung karena waktunya yang tidak banyak. Lebih mengkhawatirkan lagi guru tidak bisa mengetahui respons siswa yang dalam pembelajaran online hanya tampak wajahnya. Sedangkan proses pembelajaran normal siswa yang kesulitan, sedang dilanda masalah atau butuh pendampingan dapat diketahui oleh guru secara langsung. Itu sebabnya pembelajaran online menumpulkan baik guru maupun siswa. Hubungan guru dengan siswa jadi makin jauh, terbatas dan pasif. Apalagi anak makin dijauhkan dari interaksi fisik yang dalam proses pembelajaran itu penting bahkan bisa melatih banyak kecapakan emosional. Minimnya interaksi fisik membuat anak kehilangan banyak kecakapan sosial serta menumpulkan kemampuan empati.

Selain itu belajar online membebani orang tua. Selama ini semua tahu bahwa sekolah diandalkan untuk memberikan pengetahuan pada siswa. Jika ada keinginan untuk menambah jam pembelajaran maka bimbingan belajar atau les dipakai sebagai solusi. Hubungan antara rumah dengan sekolah memang sangat minim, apalagi orang tua sejak dulu tidak banyak dilibatkan dalam proses pembelajaran. Kini situasinya berubah drastis yakni sekolah belum bisa dipakai untuk pembelajaran maka rumah yang diandalkan sebagai pusat pembelajaran. Padahal tak semua orang tua punya kemampuan mendampingi belajar anak. Dalam pemahaman orang tua, tempat belajar anak mereka selama ini adalah di sekolah, sedang rumah memang bukan sekolah. Pembelajaran online mengubah fungsi rumah sebagai pusat pembelajaran yang itu tentu mustahil dilakukan terutama mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu.

Artinya pembelajaran online makin mengeraskan kritik saya puluhan tahun silam: Orang miskin dilarang sekolah. Karena sekolah yang online itu memang berbiaya mahal dan sangat membebani orang tua. Sehingga sejumlah orang tua peladang memutuskan untuk mengajak anaknya berladang ketimbang sekolah online. Di samping akses internet juga orang tua tidak lagi punya kesempatan untuk membantu anak belajar. Karena sistem online itu menuntut anak belajar sembari dibantu orang lain. Pada proses belajar normal mudah saja anak tanya jika materinya tidak dipahami tetapi belajar online menyulitkan itu semua. Tidak semua anak didampingi dan tidak semua yang mendampingi bisa memenuhi kebutuhan anak. Singkatnya belajar online tidak bisa sendiri dan lagi lagi tidak semua orang dengan mudah mendampingi.

Pada akhirnya sistem pembelajaran online membuat kita makin malas berfikir. Pertama, pembelajaran tidak lagi kritis karena sulit untuk diafirmasi setiap keterangan dari guru. Karena pembelajaran didasarkan atas situasi darurat. Tanya-jawab jelas tidak mudah. Di samping keterbatasan waktu juga ruang. Kedua, pembelajaran tidak lagi metodis karena proses pembelajaran tidak berlangsung secara sistematis mengingat model online membutuhkan ketundukan pada logika kerja online: cepat, ringkas dan padat. Ketiga, pembelajaran itu tidak sistematis mengingat kurikulum yang selama ini jadi materi pembelajaran memang tidak didasarkan pada sistem online maka sulit sekali capaian kurikulum tercapai. Desain kurikulumnya untuk pembelajaran normal. Sebab online itu memang bukan metode pembelajaran tapi sarana yang memang tidak digunakan untuk kepentingan belajar. Mengapa sistem online atau interaksi digital bukan metode belajar?

Karena interaksi digital itu membuat pola pandang tidak ‘terpusat’ tapi parsial, maka pengetahuan tidak didasarkan pada kompetensi melainkan keluasan: tiap orang berhak untuk menyatakan pandangan meski tidak memiliki keahlian. Itulah interaksi digital yang komunikasinya dari banyak ke banyak, tidak terikat tempat, horisontal, dan interaksional. Nilai dalam interaksi digital selalu relatif. Maka dalam interaksi digital itu mudah sekali hoaks muncul karena sistemnya menampung apa saja. Akibatnya pembelajaran online bisa menyesatkan karena lingkungan interaksi digital yang dipakai sekarang ini berada dalam suasana yang chaos: semua nilai kebaikan, keadilan dan kemanusiaan dipahami sesuka hati serta dinyatakan dengan caranya sendiri. Sekolah yang dulu bisa diharapkan menjadi suaka akal sehat kini ditutup lalu gantinya adalah interaksi digital yang sebenarnya memang bukan tempat untuk belajar.

Ini semua saya katakan untuk membuka kemungkinan sekolah berjalan kembali. Tentu dengan pengetatan protokol kesehatan serta dukungan kalangan medis. Bahkan kali ini sekolah menjadi tempat terbaik untuk melawan Covid-19 karena inilah lembaga pendidikan yang melatih dan membuat orang belajar bagaimana menggunakan nalar sains. Sains yang dipakai sebagai pedoman interaksi memang bisa dijadikan budaya dalam kegiatan normal sekolah. Jika pabrik dibuka untuk keselamatan ekonomi, gedung bioskop dibuka agar penduduk bahagia bahkan tempat ibadah digunakan supaya masyarakat mendapatkan ketenangan batin lalu mengapa sekolah masih saja ditutup? Sekolah malah bukan hanya menyelamatkan pengetahuan tapi juga melatih anak untuk berfikir yang dimasa pendemi situasinya sangat darurat. Kalau kita biarkan sekolah ditutup dalam jangka waktu lama yang kita pertaruhkan bukan lagi nyawa peserta didik tapi masa depan akal dan pengetahuan. Dua hal ini yang membuat kita bertahan sebagai manusia beradab dan yang membuat kita mampu hidup dengan penuh martabat. Jangan sampai sistem digital itu membuat kita semua kehilangan akal sehat! (EP)


Ilustrator: Hisam

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0